Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Wiraswasta - Insan Pembelajar

Agung MSG adalah seorang trainer dan coach berpengalaman di bidang Personal Development dan Operasional Management, serta penulis buku: Be A Rich Man (Pustaka Hidayah, 2004), Retail Risk Management in Detail (IMan, 2010), dan The Prophet Natural Curative Secret – Divinely, Scientifically and Naturally Tested and Proven (Nas Media Pustaka, 2022). Aktif mengajar di Komunitas E-Flock Indonesia di 93 kota di 22 provinsi di Indonesia, serta memberikan pelatihan online di Arab Saudi, Ghana, Kamboja, Qatar, dan Thailand. Agung juga dikenal sebagai penulis lepas di berbagai majalah internal perusahaan, blogger di Medium.com, dan penulis aktif di Kompasiana.com. Dengan pengalaman memberikan pelatihan di berbagai asosiasi bisnis, kementerian, universitas, sekolah, hingga perusahaan publik di 62 kota di Indonesia, Agung MSG mengusung filosofi hidup untuk mengasihi, menyayangi, berbagi, dan berkarya mulia. @agungmsg #haiedumain email: agungmsg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Wiski, Menteri, dan Janji yang Memabukkan

25 Agustus 2024   07:16 Diperbarui: 25 Agustus 2024   08:13 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemimpin mabuk janji, rakyat mabuk realita. Sadar adalah langkah pertama menuju perubahan. | Foto: getty - Steve Prezant

"Ketika pemimpin lebih memilih mabuk di atas kemewahan, kita dipanggil untuk sadar dan berjuang. Jadilah suara yang merdeka, bukan bisikan di antara janji palsu dan fatamorgana."

Di suatu negeri yang gemah ripah loh jinawi, ada seorang pejabat yang sedang lucu-lucunya. Dia memakai baju kuning keemasan nampak sangat sibuk ulang-alik, dari kantor pejabat ke kantor golongan rakyat. Meski terkesan tengil, tapi di mata raja peran dia tidaklah kecil.

Suatu hari, beliau terlihat asyik menenggak wiski mahal. Katanya, itu bukan sembarang wiski, tapi seharga lebih dari tujuh kali Upah Minimum Regional (UMR). Menurut kabar burung, beliau sedang mencari inspirasi sebagai menteri. "Inspirasi apa?", pikir rakyat kecil. Usut punya usut, sayangnya, ternyata inspirasi itu lebih sering berakhir di dasar gelas daripada di kepala. Terhenti di wacana, daripada mewujud di aksi nyata.

Kata sekretarisnya sih, bapak tadi sedang pusing. Karena, ada banyaj urusan raja juga menjadi beban di pundak dan lidahnya. Tak heran, kadang ekspresinya bikin gemas para komika di jagat maya.

Ya, negeri ini memang unik. Saat rakyatnya berjuang mencari sesuap nasi, para petinggi justru sibuk mencari merek wiski terbaik. Mungkin karena terlalu kenyang, mereka lupa pada kenyataan. Tapi, apa mau dikata? Seperti wiski yang lama tersimpan dalam tong kayu ek, janji-janji politik pun semakin tua semakin memabukkan. Bedanya, yang mabuk janji bukanlah yang meneguknya, melainkan kita - rakyat jelata yang setia menunggu janji ditepati.

Seorang sahabat saya pernah bilang, "Kalau menteri kita terlihat mabuk, itu bukan karena kurang minum air, tapi mungkin karena terlalu banyak minum 'janji-janji'. Akhirnya, ia lebih mengedepankan janji yang menghasilkan emas daripada yang harus menjadi prioritas".

Saya hanya bisa mengangguk setuju, sambil sedikit tersenyum pahit. Apa mungkin wiski mahal adalah sumber kebijakan luar biasa negeri ini? Jika ya, mungkin kita harus berinvestasi lebih banyak dalam 'minuman keras' agar kebijakan kita bisa lebih tajam dan bertenaga.

Namun, muncul pertanyaan yang lebih menggelitik: Jika harga wiski lebih dari tujuh kali UMR, seberapa banyak UMR yang dibutuhkan untuk 'menyadarkan' seorang menteri? Setiap kali seorang menteri meneguk wiski mahal, satu malaikat kehilangan sayapnya. Atau setidaknya, rakyat kehilangan sedikit lebih banyak harapan. Betapa ironisnya, di era digital ini, menteri mabuk pun jadi konten. Tapi sayangnya, konten ini bukan untuk inspirasi, tapi lebih kepada 'cerminan realitas' yang menyedihkan.

Dalam satu kesempatan, seorang wartawan bertanya kepada menteri , "Mengapa Anda memilih minum wiski mahal?". Sang menteri menjawab dengan tenang, "Untuk mengenang janji-janji yang sudah habis kadaluarsa." Sebuah jawaban yang mungkin diharapkan bisa memancing tawa, tetapi justru wartawan itu bertambah pilu. Juga kehilangan selera untuk bertanya padanya. Bagaimana tidak? Kalau harga wiski bisa lebih dari tujuh kali UMR, mungkin menteri kita sedang latihan matematika anggaran: bagaimana membagi angka besar dalam gelas kecil.

Begitulah, cerita ini hanyalah sebuah refleksi kecil dari fenomena besar yang kita hadapi. Dengan segala kerendahan hati, semoga cerita kecil ini bisa memberikan hiburan yang besar bagi pembaca. Sebab, seringkali sahabat-sahabat saya mengajak untuk berpikir kritis tentang fenomena sosial dan politik yang sedang terjadi. Namun, yang didapat justru segala rasa yang miris abis.

Tapi sudahlah... Nasi sudah jadi wiski, eh, bubur... Mungkin ke depan, kita bisa kembali atur. Sampai jumpa di cerita humor reflektif berikutnya, semoga masih ada ruang untuk tertawa, meski di tengah absurditas yang nyata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun