Ketika suara serak rakyat melayang, terluka, Ada bisik-bisik dingin dari lorong sejarah, Â
Pembangkangan konstitusi, melukai tatanan kita.
Undang-undang seharusnya jadi panutan, Â
Dibuang begitu saja, diremehkan, disia-siakan, Â
Satu persatu nilai dan prinsip yang dibangun,
Hancur di ujung rapat yang penuh kepentingan.
Garuda biru berkibar, namun sayapnya terluka, Â
Sebab putusan MK yang tegak menegakkan keadilan, Â
Dikhianati oleh tangan-tangan yang tergesa, Â
Mengubah batasan, membelokkan kebenaran.
Di media sosial, suara rakyat meluap, Â
Tagar "Peringatan Darurat" menggema, Â
Tapi tak terdengar di lorong kekuasaan, Â
Perdebatan itu hanya menambah luka.
Di tengah keramaian, hati-hati tersiksa, Â
Pilihan demi pilihan, yang tak mendengar suara, Â
Konstitusi dipermainkan, dicabik-cabik, Â
Sementara kita berdiri sendiri, penuh kecewa.
Kita pernah bersumpah di bawah bendera, Â
Menjaga keadilan, menjaga tanah tercinta, Â
Namun kini, kita bertanya pada diri sendiri, Â
Apa yang tersisa, jika hukum dikhianati tak lagi berharga?
Dalam sepi malam, kita meratap dan bertanya, Â
Kemana arah bangsa ini pergi? Â
Apakah nilai-nilai yang dulu kita junjung tinggi, Â
Kini hanya tinggal puing di antara kebisingan?
Biarlah puisi ini menjadi saksi, Â
Dalam kesunyian dan kesedihan yang tak terucap, Â
Di tengah gelombang perubahan, Â
Kita masih berharap pada keadilan yang tersisa, Â
Di antara puing-puing konstitusi yang hancur parah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H