Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Wiraswasta - Insan Pembelajar

Agung MSG adalah seorang trainer dan coach berpengalaman di bidang Personal Development dan Operasional Management, serta penulis buku: Be A Rich Man (Pustaka Hidayah, 2004), Retail Risk Management in Detail (IMan, 2010), dan The Prophet Natural Curative Secret – Divinely, Scientifically and Naturally Tested and Proven (Nas Media Pustaka, 2022). Aktif mengajar di Komunitas E-Flock Indonesia di 93 kota di 22 provinsi di Indonesia, serta memberikan pelatihan online di Arab Saudi, Ghana, Kamboja, Qatar, dan Thailand. Agung juga dikenal sebagai penulis lepas di berbagai majalah internal perusahaan, blogger di Medium.com, dan penulis aktif di Kompasiana.com. Dengan pengalaman memberikan pelatihan di berbagai asosiasi bisnis, kementerian, universitas, sekolah, hingga perusahaan publik di 62 kota di Indonesia, Agung MSG mengusung filosofi hidup untuk mengasihi, menyayangi, berbagi, dan berkarya mulia. @agungmsg #haiedumain email: agungmsg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

"No Viral, No Justice", Menyoal Kebijakan Publik dalam Era Digital

16 Agustus 2024   12:47 Diperbarui: 17 Agustus 2024   06:51 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ragam media sosial. (Foto: DIONISIO DAMARA UNTUK KOMPAS)

"Di era digital, keadilan sejati tercapai bukan karena viralitas, tetapi melalui kebijakan yang bijak dan kepemimpinan yang bertanggung jawab."

Fenomena "No Viral, No Justice" kini menjadi sorotan dalam diskusi mengenai kebijakan publik dan penegakan hukum di Indonesia. Dalam era di mana media sosial berperan penting dalam membentuk opini publik, banyak kebijakan baru mendapat perhatian setelah viral di dunia maya.

Sebagai contoh, kasus "pelepasan" hijab pada 18 anggota Paskibraka 2024 menjadi pusat perhatian dan dapat dianggap sebagai bagian dari fenomena "No Viral No Justice." 

Insiden ini mendapat sorotan luas dari masyarakat serta lembaga seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, dan DPR, yang menilai bahwa perhatian publik dapat memicu tindakan pemerintah atau perubahan kebijakan. Banyak orang membandingkan kejadian ini dengan kebijakan Prancis yang melarang atlet berhijab di Olimpiade Paris 2024.

Keputusan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) terkait seragam Paskibraka memicu kontroversi dan kritikan tajam. Banyak pihak menganggap kebijakan ini diskriminatif dan melanggar hak individu untuk beragama dan berhijab. 

Tokoh politik seperti Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan organisasi seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan keberatannya.

Di sisi lain, Kepala BPIP Yudian Wahyudi menjelaskan bahwa keputusan tersebut tidak memaksa anggota Paskibraka untuk melepas jilbab, tetapi lebih bersifat sukarela. Ia menyatakan bahwa anggota Paskibraka tetap bebas mengenakan jilbab di luar acara resmi. 

Kepala Sekretariat Presiden, Heru Budi Hartono, menambahkan bahwa BPIP telah berkoordinasi dengan Sekretariat Presiden, yang menyepakati bahwa Paskibraka putri dapat mengenakan jilbab sebagaimana saat mereka mendaftar. 

Meski demikian, kebijakan ini masih diperdebatkan, karena dianggap bertentangan dengan hak-hak individu dan menimbulkan kekhawatiran akan diskriminasi dalam seragam nasional.

Pertanyaan mendasar pun muncul: Mengapa kebijakan harus viral terlebih dahulu (viral-based policy) sebelum ditindaklanjuti ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun