"Ketika kebenaran tertutup oleh tipu daya, serahkanlah pada kuasa Ilahi yang selalu membawa cahaya kebenaran di setiap hati yang tulus."
Di bawah naungan langit yang luas dan di atas tanah yang diberkahi, kita hidup dalam sebuah masa di mana kata-kata sering kehilangan makna. Ketika kebenaran dianggap sebagai kebohongan, kritik sebagai kebencian, dan aspirasi sebagai makar, di sinilah jiwa-jiwa yang jujur diuji keteguhannya.
Sebagai seorang warga yang mencintai negeri ini, saya merasakan kekhawatiran mendalam akan nasib negeri ini, di mana kekayaan bangsa dan kekuatan negara seolah terombang-ambing oleh angin dusta dan tipu daya.
Kebenaran yang Terkaburkan
Di tengah keramaian dunia yang penuh hiruk-pikuk, suara kebenaran kadang tenggelam dalam kebisingan propaganda. "Kebohongan yang diajarkan terus-menerus kemudian hari akan dianggap sebagai sebuah kebenaran," demikian kata Lenin, bapak komunis Uni Soviet. Kata-kata ini menjadi cermin gelap bagi realitas yang kita hadapi sekarang, di mana kebohongan dipoles hingga tampak seperti mutiara kebenaran.
Kebenaran, yang seharusnya menjadi cahaya penuntun bagi kita semua, justru diubah menjadi hoaks. Kritik, yang seharusnya membangun dan memperbaiki, justru dilabeli sebagai kebencian. Aspirasi rakyat, yang merupakan hak suara dan pandangan, dituduh sebagai niat makar dan radikalisme.Â
Semua ini adalah tanda-tanda kegagalan kepemimpinan yang nyata dan dirasakan oleh semua kalangan. Maka, waspadalah, karena inilah yang sedang terjadi saat ini. Allah berfirman dalam QS Ali Imran: 54, "Mereka melakukan tipu daya, maka Allah membalas tipu daya mereka. Sungguh, Allah sebaik-baiknya pembalas tipu daya."
Politik Tanpa Moralitas
Di arena politik, kita menyaksikan permainan tanpa nilai. Partai politik, yang seharusnya menjadi penopang keadilan dan kesejahteraan, sering kali terjebak dalam jebakan oportunisme. Nilai-nilai kejujuran, kebenaran, dan keadilan hanya menjadi retorika di mulut. Kebohongan-kebohongan diproduksi secara terstruktur, sistemik, dan masif untuk dikonsumsi publik sebagai kebenaran.
Era ini dikenal sebagai era post-truth, di mana emosi dan keyakinan pribadi lebih berpengaruh daripada fakta objektif. Dalam istilah intelijen, ini adalah permainan yang berbahaya, di mana politisi tak lagi peduli pada nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Apakah siapa terlibat korupsi atau kelakuan bejat, yang penting adalah uang, kekuasaan, dan jabatan.
Sebagai umat beriman, kita harus menjadi penegak keadilan dan kebenaran, seperti yang disebutkan dalam Surah Al-Ma'idah (5:8), "Hai, orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah ketika menjadi saksi dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat pada taqwa. Bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."