"Tak jarang, dalam kehidupan yang sederhana, kita menemukan keajaiban yang luar biasa. Terima kasih, Emak Enggar, karena kegigihanmu menjadi cahaya yang mengilhami langkah-langkah kami"
Di pagi yang indah ini, sosok seorang ibu tua, Ibu Enggar, melintas di depan rumah. Sosoknya yang lemah gemulai, sungguh menyita perhatian di pikiran saya. Seperti biasa, dengan tubuhnya yang sudah sangat sepuh ini, ia menawarkan gula merah seharga Rp 15 ribu rupiah. Di selendang yang menjadi gendongan gula dagangannya, ada 4 buah gula merah yang tersisa.
Dengan langkah yang perlahan, dia menawarkan gula merah dengan senyum yang hangat, membawa harap dalam setiap langkahnya. Ia menyusuri dari satu kampung ke kampung lain, berharap ada yang membeli gula merahnya.
Sungguh, di balik keriput dan kelelahan, terukir kegigihan yang menginspirasi. Betapa tidak, di usianya yang 90 tahun lebih, Emak Enggar, begitu biasa dipanggil, tetap gigih untuk bisa menghidupi sang diri, dan mandiri.
Tersirat dalam setiap kata-katanya adalah keikhlasan dan keberanian untuk tetap berjuang, meski hanya dengan seonggok gula merah sebagai jualannya. Kehidupannya yang sederhana mengajarkan betapa pentingnya berusaha dengan halal, daripada terjerumus dalam minta-minta yang tidak pasti.
Ia pun menegaskan dalam bahasa Sunda, "Saya lebih baik dagang begini, daripada minta-minta. Amit-amit. Paralun. Yang penting halal, berapa pun uang yang saya dapatkan".
Namun, tak jauh dari langkahnya, bersamaan dengan itu, lewat juga seorang ibu yang berprofesi sebagai pemulung. Dengan segala kerendahan hati dan keramahan alaminya, ibu pemulung yang mengenali Ibu Enggar segera mendekat, dan mencium tangannya dengan penuh hikmat. Tanpa sengaja ia mendengar obrolan kami, dan dengan sederhana menyampaikan sebuah kebenaran hidup. Dengan lembutnya, dia mengingatkan akan keberanian untuk bekerja daripada bergantung pada belas kasihan orang lain.
"Iya, Mak, mendingan kita bekerja begini daripada tangan kita begini", sambil memperagakan tangan dibawah dan menyampaikan maksud untuk tidak minta-minta.
Bagi sebagian orang, mungkin potret dan cerita ini hal yang biasa-biasa saja. Namun bila kita lebih mendalami kehidupan kehidupan mereka, berempati dengan keseharian dan perjuangnya, tentu kita akan mendapat gambaran yang berbeda.
Seperti halnya sekarang, Ibu Enggar harus berjuang dengan kehidupannya sendiri. Sementara 2 anaknya pun yang katanya juga tak mampu, tinggal di 2 kecamatan yang berbeda yang jauh dari tempat tinggalnya.