"Pemahaman risiko adalah kunci untuk menjaga integritas pemilihan umum dan membangun kepercayaan publik."
Dalam suasana pasca-pemilu yang dipenuhi dengan kekisruhan dan protes, penting bagi kita untuk memahami secara lebih mendalam tentang permasalahan yang muncul, serta solusi yang dapat diterapkan untuk mengatasinya. Kasus terbaru terkait perbedaan angka di Formulir C1 dan laman web penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) memunculkan pertanyaan serius tentang keandalan sistem yang digunakan dalam proses pemilu. Meskipun KPU menegaskan bahwa tidak ada niat manipulasi suara, kekisruhan ini menyoroti kelemahan dalam manajemen data dan risiko yang melekat dalam proses pemilihan umum.
Dalam artikel ini, kita akan menyelami lebih dalam ke dalam permasalahan ini, mengambil perspektif risk management untuk memahami akar penyebab kekisruhan data dalam pemilu. Dengan memahami risiko yang terlibat dan langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengelolanya, kita dapat mencari solusi yang tepat untuk mencegah kekisruhan serupa di masa depan. Mari kita menjelajahi permasalahan ini secara lebih mendalam untuk mencapai pemahaman yang lebih baik tentang kompleksitas pemilihan umum dan upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan integritasnya.
Latar Belakang Kekisruhan Data
Pada Pemilu 2024, protes dan kekisruhan muncul setelah laman penghitungan suara sementara KPU menunjukkan konversi formulir C1-Plano dengan jumlah yang tidak akurat. Ketua KPU, Hasyim Asy'ari, menegaskan bahwa kekisruhan tersebut tidak disebabkan oleh niat manipulasi suara, melainkan karena formulir C1 diunggah apa adanya oleh anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) sebagaimana diwartakan oleh Tempo (nasional.tempo.co, 15/02/24). Meskipun demikian, kekacauan dalam konversi data C1 menjadi perolehan suara menimbulkan protes di media sosial dan pesan pribadi WhatsApp.
Hasyim Asy'ari menjelaskan bahwa kesalahan konversi data C1 bukanlah kesalahan ketik, tetapi disebabkan oleh kesalahan baca sistem dalam Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap). Dalam upaya mengoreksi kesalahan tersebut, KPU memastikan bahwa data perolehan suara yang salah konversi akan dikoreksi dengan merujuk kepada unggahan C1 yang diunggah dalam Sirekap.
Per 15 Februari 2024, terdapat 2.325 TPS dengan jumlah suara yang salah dikonversi, dari total 358.775 TPS yang telah mengunggah data dalam Sirekap (nasional.kompas.com, 15/02/24). Meskipun persentasenya tergolong kecil, kekisruhan ini menyoroti kelemahan dalam sistem informasi yang digunakan dalam pemilihan umum, menimbulkan pertanyaan serius tentang keandalan proses perhitungan suara dan risiko yang terkait dalam penggunaan teknologi dalam pemilihan umum.
Risiko Kekisruhan dalam Pemilu
Pemilu merupakan momen penting dalam sebuah negara demokratis, namun risiko kekisruhan dalam prosesnya dapat mengancam integritas dan legitimasi hasilnya. Dalam konteks Pemilu 2024, terdapat beberapa risiko yang muncul terkait kekisruhan data, yang perlu dipahami secara mendalam:
1. Ketidakpastian keandalan sistem informasi. Penggunaan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) sebagai alat bantu dalam menghitung dan merangkum hasil pemungutan suara menimbulkan keraguan terhadap keandalannya. Kekisruhan data dapat muncul akibat kelemahan dalam sistem ini, mengancam kepercayaan publik terhadap hasil pemilu.