"Politik yang jujur dan integritas adalah fondasi demokrasi. Namun, dalam dinamika kampanye, seringkali modus operandi yang manipulatif mengancam keberlangsungan nilai-nilai tersebut."
Dalam arena politik, terutama saat kampanye dan pemilihan presiden, praktik-praktik manipulatif menjadi kenyataan yang tidak dapat dihindari. Artikel ini akan mengulas beberapa modus operandi yang sering digunakan oleh pelaku politik untuk memanipulasi opini publik. Tidak hanya itu, kita juga akan menjelajahi dampak dan risiko yang ditimbulkan oleh media massa yang terlibat dalam praktik-praktik tersebut.
Politik seharusnya menjadi panggung untuk berdebat secara adil dan membahas isu-isu yang memengaruhi masyarakat. Namun, realitasnya sering kali melibatkan taktik manipulatif yang dapat merusak integritas demokrasi. Mari kita telaah lebih dalam bagaimana beberapa modus operandi ini dapat memengaruhi persepsi publik dan kestabilan sosial.
Dalam konteks politik, terutama pada masa kampanye dan pemilihan presiden, terdapat beberapa modus menulis yang tidak selalu didasari oleh itikad baik, kejujuran, dan integritas. Beberapa dari modus ini dapat mencerminkan praktik-praktik manipulatif atau kurang etis dalam komunikasi politik. Berikut adalah beberapa contoh:
1. Pemutarbalikan fakta (Misinformation). Penyebaran informasi yang tidak benar atau memutarbalikkan fakta dengan tujuan mempengaruhi opini publik. Hal ini dapat dilakukan melalui media sosial, iklan, atau ceramah politik.
2. Serangan personal (Ad Hominem). Fokus pada karakter atau latar belakang pribadi calon lawan daripada pada argumen atau isu-isu kebijakan. Ini dapat mengalihkan perhatian dari substansi isu-isu penting. Tak jarang pelaku terlalu bernafsu untuk menyerang orangnya, dan mengabaikan gagasan besar dan rencana kebijakannya.
3. Politik identitas (Identity Politics). Memanfaatkan perbedaan-perbedaan identitas, seperti suku, agama, atau gender, untuk memperoleh dukungan politik tanpa memberikan perhatian pada isu-isu substansial. Ini sering terjadi saat mendekati kaum agamawan, organisasi keagamaan, atau saat menjelang hari-hari besar keagamaan.
4. Pelabelan (Labeling). Memberikan label negatif atau peyoratif pada lawan politik tanpa memberikan argumen atau bukti yang substansial. Hal ini dapat merusak reputasi seseorang tanpa dasar yang kuat. Peyoratif sendiri dapat diartikan sebagai kata atau kalimat yang mengalami penurunan makna. Bisa juga suatu kata yang memiliki makna baik dan positif mengalami penurunan menjadi kurang baik.
5. Kampanye hitam (Smear Campaigns). Menyebarluaskan informasi palsu atau menyesatkan untuk merusak reputasi calon lawan. Ini bisa termasuk penggunaan rumor atau pengalihan isu. Bisa berupa rekaman palsu, bisa pula gambar palsu yang diedit dengan bantuan kecerdasan buatan. Sehingga, sekilas atau orang awam, akan mudah "termakan" oleh kampanye hitam ini.
6. Retorika emosional yang berlebihan. Memanfaatkan emosi pemilih untuk mendapatkan dukungan, bahkan jika itu melibatkan penggunaan retorika yang berlebihan atau manipulatif. Orang awam akan menangkapnya sebagai "seru, rame, atau heboh". Padahal dibalik itu, bisa jadi minim kandungan intelektualnya, dan tidak mencerdaskan.
7. Manipulasi citra. Mengedit gambar atau video untuk menciptakan citra palsu atau menyesatkan dari calon lawan dengan tujuan merusak reputasi mereka. Hoaks namanya.
8. Penyiaran berlebihan (Overexposure). Membanjiri media dengan pembiayaan iklan atau liputan berlebihan untuk menutupi isu-isu yang mungkin merugikan. Bisa juga ditujukan untuk pengalihan isu-isu sensitif.
9. Manipulasi statistik. Penggunaan data atau statistik dengan cara yang menyesatkan untuk memperkuat argumen politik. Ini bisa mencakup pemilihan sampel yang tidak representatif atau pemilihan waktu yang sesuai. Yang sering terjadi, menjamurnya lembaga riset dadakan dan diduga hasilnya adalah sesuai pesanan.
10. Manipulasi bahasa (Semantics). Penggunaan bahasa yang ambigu atau manipulatif untuk menyampaikan pesan yang dapat ditafsirkan secara berbeda-beda oleh pemilih.
Sebenarnya, modus praktik-praktik manipulatif atau kurang etis itu banyak. Namun, penting bagi kita untuk mencermati dan mengkritisi informasi yang diterima selama kampanye politik dan pemilihan presiden. Mengembangkan literasi media dan menjadi kritis terhadap sumber informasi adalah langkah-langkah yang penting dalam memahami isu-isu politik dengan lebih baik.
Modus Operandi yang Lebih Halus
Senyatanya, kini terdapat banyak modus operandi lainnya yang dapat digunakan dengan cara yang lebih halus atau tersamar. Beberapa dari modus ini mungkin tidak tampak secara langsung sebagai taktik manipulatif, tetapi mereka masih dapat memiliki dampak yang signifikan dalam membentuk persepsi publik dan opini pemilih.
Misalnya, kecenderungan untuk mengupas kandidat tertentu diberikan dari sudut pandang yang terbatas, tidak komprehensif, juga tidak berdasarkan logika akal sehat maupun saintifik. Sisi kepositifan sang kandidat diframing bagus dan unggul, namun itu hanya claim sepihak. Juga tidak didasari oleh kriteria yang benar dan lengkap.
Lebih jauh, berikut adalah beberapa modus operandi yang lebih halus yang tak jarang kita temukan di masa kampanye:
1. Pemilihan Kata (Word Choice). Pemilihan kata yang cermat dapat memberikan nuansa tertentu pada pesan politik. Bahasa yang emosional atau merayu dapat digunakan untuk mempengaruhi perasaan pemilih, tanpa memberikan argumen yang substansial. Yang penting keren, dan nampak cerdas.
2. Agenda setting. Memilih isu-isu tertentu untuk dipromosikan atau diangkat dalam liputan media guna mengalihkan perhatian dari isu-isu yang mungkin merugikan.
3. Pemanfaatan penyelenggaraan acara (Event Management). Pemilihan dan penyelenggaraan acara-acara tertentu dengan cermat untuk memperoleh liputan media yang positif atau membangun citra tertentu. Mulai acara jalan sehat, event olahraga, hingga acara yang terkesan berbalut agamis.
4. Pemilihan tema (Theme Framing). Merancang naratif atau tema-tema tertentu untuk memandu cara pemilih memahami isu-isu politik dan memandu opini mereka.
5. Pemanfaatan selebriti atau figur publik. Melibatkan selebriti atau figur publik terkenal untuk mendukung atau menentang seorang kandidat atau isu tertentu, dengan tujuan memanfaatkan pengaruh dan popularitas mereka. Tidak sedikit penyanyi, pelawak, artis, dan selebritis yang terjebak ini. Ada yang sebenarnya tak faham bagaimana visi, misi, kompetensi, dan track record sang kandidat sebenarnya.
6. Pemanfaatan riset pasar (Market Research). Menggunakan hasil riset pasar untuk merancang pesan-pesan politik yang lebih efektif berdasarkan preferensi dan kecenderungan pemilih.
7. Pemilihan warna dan simbolisme. Pemanfaatan warna atau simbolisme tertentu dalam materi kampanye untuk memicu respons emosional atau asosiasi tertentu. Warna di event-event besar tak jarang didominasi oleh warna yang sama dengan warna dominan partai.
8. Pengelolaan ekspektasi (Expectation Management). Mengelola ekspektasi pemilih dengan menggambarkan pencapaian yang realistis, atau memberikan penjelasan atas keputusan atau tindakan yang kontroversial. Bisa jadi pencapaiannya benar, namun itu kecil dibandingkan dengan kemampuannya untuk menyelesaikan tantangan bangsa dan negara yang jauh lebih besar dan kompleks.
9. Pemilihan waktu (Timing). Merilis informasi atau melakukan tindakan tertentu pada waktu yang strategis untuk memaksimalkan dampaknya atau mengalihkan perhatian.
10. Pemilihan endorser atau dukungan partai. Mendapatkan dukungan dari figur politik atau partai tertentu untuk memperoleh legitimasi atau meyakinkan pemilih mengenai keberlanjutan atau kesesuaian kandidat.
Penting untuk menyadari bahwa strategi-strategi ini dapat bervariasi tergantung pada konteks politik dan budaya setempat. Oleh karena itu, literasi politik dan kritis tetap menjadi keterampilan yang sangat berharga dalam memahami dinamika politik modern.
Media masa yang terlibat dalam atau memfasilitasi modus operandi yang tidak didasari oleh itikad baik, kejujuran, dan integritas dalam konteks kampanye dan pemilihan presiden dapat menghadapi berbagai risiko dan dampak negatif. Beberapa risiko tersebut melibatkan reputasi media, kredibilitas informasi, dan dampak pada proses demokrasi. Berikut adalah beberapa risiko yang mungkin terjadi:
1. Kehilangan kredibilitas. Media massa yang terlibat dalam penyebaran informasi palsu atau tidak akurat dapat kehilangan kredibilitas di mata pemirsa. Ini dapat menyebabkan penurunan kepercayaan masyarakat pada media tersebut dan merugikan reputasi jangka panjang.
2. Polarisasi masyarakat. Penyajian berita yang tendensius atau pihak berat pada satu sisi politik dapat memperkuat polarisasi masyarakat. Hal ini dapat menghancurkan rasa persatuan dan menciptakan konflik sosial yang lebih intens.
3. Dampak pada proses demokrasi. Informasi yang tidak akurat atau terdistorsi dapat mempengaruhi proses demokrasi dengan cara yang tidak sehat. Pemilih yang tidak memiliki informasi yang benar dapat membuat keputusan yang tidak memadai atau merugikan bagi masyarakat.
4. Hukuman hukum dan sanksi. Media massa yang melibatkan diri dalam penyebaran informasi palsu atau manipulatif dapat menghadapi tindakan hukum dan sanksi. Ini dapat mencakup gugatan hukum, denda, atau pembatasan operasional.
5. Kesulitan mendapatkan akses ke informasi. Akibat dari penyebaran informasi yang tidak benar, masyarakat mungkin mengalami kesulitan untuk membedakan antara fakta dan opini, yang dapat mengakibatkan kurangnya kepercayaan pada informasi yang diterima dari media massa.
6. Boikot atau boykot iklan. Masyarakat atau perusahaan dapat merespon dengan melakukan boikot terhadap media massa yang dianggap tidak etis atau tidak dapat dipercaya. Perusahaan iklan juga dapat menarik dukungan mereka, mengurangi pendapatan media tersebut.
7. Intervensi pemerintah. Pemerintah dapat mengambil tindakan untuk mengatur atau mengawasi media massa lebih ketat sebagai respons terhadap penyebaran informasi palsu atau manipulatif. Ini dapat membahayakan kebebasan pers jika dijalankan dengan cara yang berlebihan.
8. Kehilangan pembaca atau pemirsa. Jika media massa kehilangan kredibilitasnya, pembaca atau pemirsa mungkin beralih ke sumber-sumber informasi alternatif, yang dapat mengakibatkan penurunan pendapatan dan dampak ekonomi.
9. Dampak pada profesionalisme jurnalistik. Media massa yang terlibat dalam taktik manipulatif dapat merusak citra profesi jurnalistik secara keseluruhan. Hal ini dapat mengurangi kepercayaan masyarakat pada wartawan dan lembaga jurnalistik.
10. Ketidakstabilan sosial. Penyebaran informasi yang tidak akurat atau provokatif dapat menciptakan ketidakstabilan sosial. Hal ini dapat mengancam perdamaian dan keamanan masyarakat.
Penting untuk media massa mempertahankan standar etika jurnalistik dan bertanggung jawab dalam menyajikan informasi, terutama selama periode kampanye dan pemilihan presiden, untuk mencegah dampak negatif pada demokrasi dan masyarakat.
Kesimpulannya, dalam menghadapi tantangan politik, kesadaran akan modus operandi manipulatif dan risiko yang terkait adalah kunci untuk menjaga demokrasi tetap kokoh. Masyarakat perlu menjadi kritis terhadap informasi yang mereka terima dan media massa harus bertanggung jawab atas dampaknya pada proses demokrasi.
Akhirnya, mari bersama meneruskan untuk mengembangkan literasi politik, bersikap kritis terhadap narasi yang disajikan, dan pertahankan integritas dalam menyampaikan informasi. Hanya dengan melibatkan masyarakat secara aktif dan menegakkan standar etika, kita dapat menjaga demokrasi tetap kuat dan berfungsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H