"Membangkitkan rasa malu adalah kunci yang menguatkan integritas dalam reformasi birokrasi, sementara mengembalikan wibawa melalui peningkatan rasa dan budaya malu di kalangan pejabat dan birokrat merupakan panggilan mendalam untuk menjalankan reformasi birokrasi dengan sepenuh hati."
Kasus kontroversial yang melibatkan Hakim Ketua dan Majelis Hakim di Mahkamah Konstitusi telah mengejutkan dan menarik perhatian masyarakat dan media. Keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga ini memiliki dampak yang sangat besar pada stabilitas politik dan hukum negara. Namun, selama beberapa tahun terakhir, kita telah menyaksikan keputusan-keputusan yang memicu kontroversi dan keraguan terhadap integritas lembaga tersebut. Pertanyaan muncul: Apakah lembaga ini masih memegang teguh rasa malu dan budaya malu sebagai prinsip dasar dalam menjalankan tugasnya?
Budaya rasa malu dalam konteks birokrasi dan lembaga pemerintahan menjadi semakin penting dalam menjaga wibawa dan kredibilitas. Hilangnya rasa malu di antara pejabat dan birokrat dapat menyebabkan penurunan integritas, transparansi, dan akuntabilitas, yang pada gilirannya dapat mengganggu kepercayaan masyarakat dan menghambat perkembangan yang berkelanjutan. Kasus di Mahkamah Konstitusi hanya mencerminkan isu yang lebih luas tentang hilangnya rasa malu dalam sektor publik.
Rasa malu dan budaya malu dalam "shame culture," dalam konteks Good Corporate Governance (GCG) di lembaga-lembaga pemerintahan, rasanya sangat penting untuk kembali dihidupkan dan dikampanyekan. Sungguh, kasus Mahkamah Konstitusi ini, telah mempertontonkan secara telanjang bahwa rasa malu dan budaya malu itu sudah parah dan berdampak destruktif. Karena itu diperlukan tindakan serius untuk mengembalikan wibawa dan memastikan kinerja lembaga-lembaga pemerintah dan negara telah sesuai dengan tugas dan tanggung jawab mereka.
Budaya Rasa Malu dalam "Shame Culture"
Budaya rasa malu adalah sistem nilai sosial di mana orang merasa malu ketika melanggar aturan etika dan moral. Dalam budaya ini, norma-norma sosial menggambarkan perilaku yang diterima, dan pelanggarannya dapat menimbulkan perasaan malu.
Kunci dalam budaya rasa malu adalah pengawasan masyarakat dan kontrol sosial. Masyarakat memiliki peran penting dalam mengontrol perilaku individu, mendorong agar norma-norma dijaga. Budaya ini sangat menjunjung citra dan reputasi. Hilangnya reputasi yang baik dapat mengakibatkan rasa malu, sehingga menjaga reputasi adalah prioritas.
Selain itu, budaya rasa malu mendorong harmoni dalam kelompok dan menekankan pentingnya menjaga norma etika dan moral. Hukuman sosial digunakan untuk mendidik pelanggar norma sosial.
Memahami budaya rasa malu penting, terutama dalam menjaga integritas dan akuntabilitas di kalangan pejabat dan birokrat. Pemahaman ini membantu mengevaluasi perubahan budaya yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas pemerintahan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Rasa Malu