Di heningnya malam yang sunyi, mendadak telepon berdering memecah kesunyian. Dengan nafas yang jelas terdengar pendek-pendek, sahabat setia mengabarkan kabar duka : ibunda menghadap Sang Kuasa. Katanya, pukul 9 malam tadi, saat sayap-sayap waktu berganti, rohnya pun berpisah dari raganya yang rapuh. Rasa duka pun menghunjam, tanpa ada firasat akan perpisahan yang mendalam. Ia hanya berpesan :
"Tolong sampaikan ke temen-temen ya, dan maafkan ibu saya. Doakan, doakan, doakan..."
Malam kian larut, aku duduk di sudut ruangan yang redup, hampa akan kehadiran sahabat karibku. Hati ini berat, ingin kutitipkan pesan tentang kabar pahit yang menimpa ibundanya, namun bagaimana aku melakukannya? Bagaimana kusampaikan berita kematian kepada sahabat-sahabat setiaku yang lainnya dengan kata-kata yang tak merobek hati dan jiwa?
Begitu sulitnya mengutarakan kata-kata, namun itulah sunnatullah kehidupan yang harus kita hadapi. "Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Hanya kepada Kami, kamu akan dikembalikan", begitu tegas firman Allah Yang Maha Mengetahui segala rahasia dan kisah di balik setiap hidup. Bagaimana mampu kita, hamba-Nya yang lemah, menolak ketentuan-Nya yang tak dapat dielakkan?
Pesan Allah pun menegaskan ulang bertubi-tubi, "Kami tidak menjadikan seorang manusia hidup abadi sebelum kamu (Muhammad). Jika kamu wafat, apakah mereka akan kekal?"Â
"Setiap makhluk yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan mengujimu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami"
Aku pun jadi terjaga, lupa akan kantuk yang mendera. Duka ini mengingatkanku pada ibu tercinta.
Pagi pun menjelma dengan kelopak mata yang berat. Langkahku membawa pada pintu rumah duka yang dirangkai oleh rasa haru dan duka. Di hadapan jenasah yang tenang terbaring, doa terbaik pun kutitipkan, semoga rohnya diterima di sisi-Nya dengan penuh kasih dan Rahmat yang bertabur surga. Masyarakat berdatangan sambung menyambung membanjiri ruang kesedihan, menyirami bumi perpisahan dengan air mata dan penghormatan.
Selepas itu, hatiku mencari sang sahabat, yang rumahnya berdampingan dengan rumah ibunda tercinta. Saat akhirnya bertemu, tak dapat kusangkal perasaan pilu membelenggu. Pelukan erat kami bersatu, seperti merangkul kenangan indah dan getir yang pernah kita lalui bersama.
Dalam kisah yang tersurat, terpatri juga kisah yang mirip dalam relung hatiku. Ketika ibu meninggalkan dunia yang fana ini, diriku pun menyaksikan bagaimana ia berjuang melewati penderitaan. Sakit menyelimutinya, makan tak lagi bisa masuk dan dinikmati. Dingin merasuki kaki-kakinya, hingga akhirnya ia berlabuh pada pelukan kematian. Tetapi, setelah segala kesakitan, hanya diam, kenangan dan doa abadi yang kupanjatkan.