Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Wiraswasta - Insan Pembelajar

Agung MSG adalah seorang trainer dan coach berpengalaman di bidang Personal Development dan Operasional Management, serta penulis buku: Be A Rich Man (Pustaka Hidayah, 2004), Retail Risk Management in Detail (IMan, 2010), dan The Prophet Natural Curative Secret – Divinely, Scientifically and Naturally Tested and Proven (Nas Media Pustaka, 2022). Aktif mengajar di Komunitas E-Flock Indonesia di 93 kota di 22 provinsi di Indonesia, serta memberikan pelatihan online di Arab Saudi, Ghana, Kamboja, Qatar, dan Thailand. Agung juga dikenal sebagai penulis lepas di berbagai majalah internal perusahaan, blogger di Medium.com, dan penulis aktif di Kompasiana.com. Dengan pengalaman memberikan pelatihan di berbagai asosiasi bisnis, kementerian, universitas, sekolah, hingga perusahaan publik di 62 kota di Indonesia, Agung MSG mengusung filosofi hidup untuk mengasihi, menyayangi, berbagi, dan berkarya mulia. @agungmsg #haiedumain email: agungmsg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Budaya Kuliner dan Gengsi Sosial: Dampak Negatif yang Terlupakan

26 Februari 2023   06:07 Diperbarui: 27 Februari 2023   15:21 1462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Budaya kuliner kini kian mengglobal, sadari dampak negatifnya | Foto : freepik.com

Budaya kuliner dalam 10 tahun terakhir ini, kini menjadi salah satu tren terbesar di seluruh dunia. Banyak orang menghabiskan waktu dan uang mereka untuk mencicipi makanan baru, mengeksplorasi tempat-tempat makan yang unik, dan berbagi pengalaman kuliner mereka di media sosial. Fenomena ini memunculkan banyak pertanyaan tentang peran makanan dalam kehidupan sosial kita dan bagaimana gengsi sosial mempengaruhi cara kita mengeksplorasi dunia kuliner.

Budaya kuliner global telah mempengaruhi kebiasaan makan kita, namun menjaga keseimbangan hidup dalam pola makan menjadi semakin sulit. Dampak buruk dari budaya kuliner yang berlebihan perlu kita sadari, terutama ketika makanan digunakan sebagai tanda status sosial. Apa harga yang harus dibayar untuk menjaga hubungan yang sehat dengan makanan dalam budaya kuliner modern?

Sosial media menjadi pengaruh besar dalam tren kuliner yang mempengaruhi kesehatan kita. Junk food atau nutrisi, mana yang kita pilih? Apakah makanan hanya sebuah seni atau menjadi gengsi sosial? Kita perlu menggali nilai sebenarnya dari budaya kuliner untuk menjaga keseimbangan hidup. Bagaimana cara memperbaiki hubungan dengan makanan agar tidak terjebak dalam kebiasaan yang berlebihan?

Dalam dunia yang semakin sibuk, mengubah perspektif tentang budaya kuliner menjadi penting. Dari konsumsi makanan ke pengalaman yang berharga, kita dapat menemukan nilai yang lebih besar dari makanan. Namun, menjaga hubungan yang sehat dengan makanan juga penting untuk kesehatan mental kita. Budaya kuliner, gengsi sosial, dan nilai waktu kita memang saling terkait, namun kesadaran akan pentingnya keseimbangan hidup dalam pola makan bisa membantu kita mencapai kebahagiaan yang sejati.

Dalam kebudayaan kita, makanan sering kali dianggap sebagai cara untuk mengekspresikan status sosial kita. Makan di restoran mahal atau mencicipi makanan yang eksotis dapat memberikan perasaan prestise dan menunjukkan bahwa kita memiliki uang dan keberanian untuk mencoba hal-hal baru. Ini menjadi sebuah nilai tambah di mata orang lain, khususnya mereka yang mengejar popularitas di media sosial.

Kenyataannya, kebutuhan akan gengsi sosial sering kali menjadi dorongan utama untuk mencoba makanan baru dan tempat-tempat makan yang eksklusif. Ada rasa bangga ketika berhasil mencicipi makanan yang dianggap eksklusif dan langka, dan menjadi sebuah kebanggaan tersendiri ketika bisa memamerkan foto atau video mengenai pengalaman tersebut di media sosial. Bahkan, banyak orang merasa tidak lengkap jika tidak mencicipi makanan atau mencoba tempat makan baru.

Dampak Negatif Budaya Kuliner

Di satu sisi, fenomena ini bisa menjadi sebuah cara untuk mengeksplorasi dunia kuliner dan menikmati pengalaman baru. Namun, di sisi lain, fenomena ini juga menciptakan tekanan yang besar untuk terus mengikuti tren dan mencoba hal-hal baru, tanpa memikirkan konsekuensi-konsekuensi yang muncul. Globalisasi juga dapat mempengaruhi kuliner tradisional menjadi terlupakan, setelah kehadiran jenis makanan atau minuman baru. Junk food, fast food, dan minuman kekinian terus bermunculan.

Sering kali, budaya kuliner ini menjadi sebuah upaya untuk mengejar popularitas dan memperoleh pengakuan dari orang lain. Ketika gengsi sosial menjadi fokus utama, maka waktu yang dihabiskan dan uang yang dikeluarkan menjadi tidak seimbang dengan manfaat yang diperoleh. Hal ini terkadang membuat kita lupa tentang nilai waktu yang sebenarnya dan membuang-buang waktu yang seharusnya bisa kita gunakan untuk aktivitas yang lebih bermanfaat.

Ketika kita menghabiskan waktu dan uang untuk mengeksplorasi dunia kuliner, kita harus ingat bahwa makanan seharusnya menjadi sarana untuk menunjang hidup sehat dan produktif. Menghabiskan waktu dan uang hanya untuk mengejar gengsi sosial bisa menimbulkan dampak negatif pada kesehatan kita, baik secara fisik maupun mental.

Dalam kaitannya dengan psikologi, fenomena budaya kuliner dan gengsi sosial ini dapat memberikan banyak pelajaran berharga. Ada risiko besar bahwa ketika kita terlalu fokus pada popularitas dan gengsi sosial, kita bisa kehilangan nilai-nilai penting seperti kesederhanaan, kesehatan, dan keseimbangan hidup. Oleh karena itu, sangat penting untuk kita belajar mengembangkan kesadaran diri dan mengendalikan nafsu makan kita agar tidak terjebak dalam budaya konsumtif yang memprihatinkan.

Salah satu contoh nyata dari dampak buruk dari budaya kuliner yang berlebihan adalah terjadinya obesitas dan masalah kesehatan terkait makanan. Ketika kita terlalu fokus pada makanan yang lezat dan populer, kita seringkali mengabaikan nutrisi yang penting bagi tubuh kita. Akibatnya, kita dapat mengalami berbagai masalah kesehatan seperti kenaikan berat badan, diabetes, dan penyakit kardiovaskular. Selain itu, ketagihan makanan tradional tanpa diimbangi dengan olah raga dan pola hidup sehat, juga dapat berdampak negatif. Mulai dari dari pemborosan keuangan, kesehatan fisik dan mental, hingga kekeringan panjang dan asap kendaraan akibat peningkatan kunjungan wisata kuliner.

Namun, bukan berarti kita harus menghindari makanan enak dan mengesampingkan seluruh budaya kuliner. Sebaliknya, kita dapat memperluas pengetahuan dan pemahaman kita tentang berbagai jenis makanan dan budaya kuliner. Kita bisa mencoba makanan baru dan mengeksplorasi variasi yang ada, tetapi dengan tetap memperhatikan kesehatan dan keseimbangan.

Kita juga dapat mempertimbangkan nilai-nilai sederhana seperti kesederhanaan dan keterkaitan sosial dalam budaya kuliner. Sebagai contoh, kita dapat mengadakan acara makan bersama keluarga dan teman-teman, tidak hanya sebagai kesempatan untuk menikmati makanan lezat tetapi juga sebagai cara untuk memperkuat ikatan sosial dan emosional kita. Kita dapat menghargai makanan seadanya dan tidak terjebak dalam tren dan gengsi sosial.

Dalam konteks psikologi, kita juga dapat memperhatikan cara kita mengontrol nafsu makan dan keinginan kita terhadap makanan tertentu. Bagaimana kita dapat memperkuat kemampuan diri kita untuk menolak godaan makanan yang tidak sehat dan tidak bermanfaat bagi tubuh kita? Bagaimana kita dapat memperluas pengetahuan kita tentang nutrisi dan membuat keputusan yang bijaksana tentang makanan yang kita konsumsi?

Budaya kuliner dan gengsi sosial dapat memberikan pelajaran yang berharga tentang cara hidup yang sehat dan seimbang. Dengan mengembangkan kesadaran diri dan kontrol diri, kita dapat menghindari jebakan budaya konsumtif yang merugikan dan menikmati makanan dan budaya kuliner dengan cara yang bermanfaat dan memperkaya hidup kita.

Sikapi dengan Benar dan Bijak Budaya Kuliner

Tanpa disadari, sekarang ini budaya kuliner kian menggila dimana-mana. Budaya kuliner kini semakin berkembang pesat di seluruh dunia. Dari mal besar hingga restoran kecil, banyak orang mencari tempat makan yang unik, terjangkau, dan dengan pilihan menu yang beragam. Bahkan Mal yang besar bisa sepi, hanya gara-gara tidak ada area foodcourt-nya yang bagus, harganya mahal, dan kurang beragam pilihan menu makanannya.

Semua ini ditambah lagi dengan foto-foto dan video yang dipamerkan di media sosial, terutama tentang acara makan bersama keluarga, kantor, atau teman-teman. Seperti seolah-olah kita harus menunjukkan bahwa kita pernah mencicipi makanan di tempat-tempat tersebut.

Tidak hanya tentang makanannya, namun juga tentang cara penyajian, musik latar, live music, view yang indah, hingga sudut-sudut area yang instragramable. Beberapa tempat makan bahkan memiliki kostum penyaji yang khas dan unik. Ada juga kostum penyaji yang khas, dan tidak ada di tempat lain. Ada yang pakai baju seragam militer, ada yang pakai baju adat, ada juga yang pakai kostum Halloween setan-setanan. Yang lebih parah, ada tempat dimana para penyajinya semua berpakaian minim dan seksi.

Namun, ada juga tempat-tempat yang mengangkat budaya lokal atau budaya tradisional tertentu, sementara yang lain memilih untuk menonjolkan eksklusivitas tempat tersebut, seperti di tepi pantai, di gedung-gedung tinggi yang memiliki pemandangan langit malam yang indah, atau bahkan restoran di bawah laut dengan dinding kaca yang menampilkan keindahan biota laut.

Betapa kompleks dan rumitnya kompetisi di industry kuliner sekarang. Namun, jika dibandingkan dengan jaman dahulu saat Rasulullah masih hidup, urusan makanan merupakan masalah yang sangat sederhana. Jika ada makanan, maka dimakan, jika tidak ada makanan, maka puasa saja. Rasulullah tidak pernah mencela makanan, dan tidak memberikan komentar untuk makanan yang sudah dimakan. Tidak ada rating-ratingan seperti sekarang.

Budaya kuliner kini menjadi sangat kompleks dan rumit. Foto dan video tentang makanan, menu makanan, tempat makan, dan lainnya sangat bertebaran di media sosial. Bahkan, ada ilmu kuliner yang berkembang, seperti tata boga dan konsultan kafe dan restoran. Orang-orang bahkan bangga menjadi chef ahli masak profesional dan mengikuti perlombaan dalam dunia kuliner. Namun, perlu diingat bahwa hal ini bukanlah segalanya. Terlalu fokus pada budaya kuliner bisa membuat kita menjadi budak pencernaan, dan melupakan hal-hal lain yang jauh lebih berharga.

Kesimpulan dan Saran

Dalam kesimpulannya, sudah saatnya kini kita berfokus bagaimana kita dapat menikmati makanan dengan seimbang. Sekaligus menghindari dampak negatif dari kebiasaan makan yang buruk. Juga memperhatikan pentingnya menjaga keseimbangan hidup di era globalisasi dan modernisasi dalam konteks budaya kuliner.

Budaya kuliner juga dapat mempengaruhi pola pikir kita dalam hal gengsi sosial dan nilai waktu. Banyak orang yang bersikap boros dan hanya berpikir tentang kebutuhan perut saja. Padahal, waktu yang berharga bisa digunakan untuk melakukan kegiatan-kegiatan lain yang jauh lebih berarti. Oleh karena itu, kita harus belajar menghargai waktu dan tidak terlalu fokus pada kegiatan yang hanya berkaitan dengan makanan saja.

Budaya kuliner yang semakin berkembang pesat di dunia ini memang memberikan banyak manfaat. Namun, kita harus tetap memperhatikan nilai-nilai yang lebih penting, seperti kebersihan, kesehatan, dan penghargaan terhadap waktu yang berharga. Mari kita berusaha untuk memperbaiki pola pikir kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun