Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Hidup untuk mengasihi, menyayangi, berbagi, dan berkarya mulia. @agungmsg #haiedumain

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Mengapa GCG Sulit Diterapkan di Indonesia?

7 Januari 2023   06:57 Diperbarui: 9 Januari 2023   15:30 1121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hingga kini, penerapan GCG di Indonesia masih menarik untuk kita bahas. Masalahnya, ketika GCG (Good Corporate Governance) atau tata kelola perusahaan jadi urusan para petinggi saja, maka sampai kapan pun GCG akan sulit diterapkan di Indonesia. 

Namun itulah faktanya. Seolah GCG adalah konsep dan praktik yang hanya dimiliki para direksi, top management dan bos-bos besar saja.

Di tataran karyawan, GCG dikatakan sebagai seperangkat prinsip dan tata kelola yang bertujuan untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan kepentingan stakeholder dalam kegiatan perusahaan. GCG juga merupakan upaya perusahaan untuk menjalankan bisnis secara sehat, bertanggung jawab, dan tidak merugikan pihak lain.

Rasanya, narasi di atas adalah narasi konseptual. Padahal karyawan, khususnya di level menengah dan bawah yang menjadi hampir 80% kekuatan organisasi, butuh bahasa keseharian dan aplikatif. Contoh-contoh nyata, bukan pidato agitatif yang mempesona kaum akademisi dan para pemikir stratejik.

Tak heran, data Transparency International, pun menunjukkan bahwa peringkat Indonesia tergolong rendah di Indeks Persepsi Korupsi 2021. Peringkat Indonesia ada di nomor 96 dari 180 negara. Bisa jadi, ini dampak dari lemahnya penerapan GCG. 

Konsep GCG sendiri telah dikenal dalam dunia bisnis sejak beberapa dekade yang lalu. Namun, penerapannya di Indonesia masih terbatas pada perusahaan-perusahaan besar saja. Atau sebatas "acara seremonial" dan sebatas bimbingan-teknis sesaat, tanpa ada keberlanjutan dan konsistensi yang sistemik dalam implementasinya.

Sebenarnya, konsep GCG sudah lama diperkenalkan. Pada tahun 1992, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) merilis "The OECD Principles of Corporate Governance" yang menjadi dasar bagi perusahaan di seluruh dunia untuk menerapkan prinsip-prinsip GCG. 

Selanjutnya, pada tahun 1999, Indonesia juga mengeluarkan "Kode Etik GCG" yang merupakan pedoman bagi perusahaan di Indonesia dalam menerapkan prinsip-prinsip GCG.

Sejak saat itu, konsep GCG mulai mendapatkan perhatian lebih besar di dunia bisnis, terutama setelah terjadi beberapa krisis keuangan besar di beberapa negara, seperti krisis keuangan Asia pada tahun 1997 dan krisis keuangan global pada tahun 2008, yang disebabkan oleh kurangnya GCG diterapkan di beberapa perusahaan.

Kenapa GCG Sulit Diterapkan?

Meski konsep GCG sudah lama diperkenalkan, kemudian timbul pertanyaan. Kenapa praktik penerapan GCG masih saja sulit diterapkan. 

Saat saya tanyakan pada para praktisi HR dan orang-orang operasional, jawabannya sangatklah klise. Ada beberapa masalah yang dapat ditemui saat menerapkan GCG di Indonesia, antara lain:

1. Kurangnya komitmen dari manajemen perusahaan untuk menerapkan GCG.

2. Kurangnya kesadaran dan pemahaman tentang pentingnya GCG di kalangan manajemen dan karyawan perusahaan.

3. Kurangnya independensi dan objektivitas dari direksi dan dewan komisaris dalam menjalankan tugasnya.

4. Masih adanya praktik-praktik tidak etis dalam kegiatan perusahaan, seperti korupsi dan nepotisme.

5. Masih rendahnya tingkat partisipasi dan keterlibatan stakeholder dalam proses pengambilan keputusan perusahaan.

Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, diperlukan komitmen yang kuat dari manajemen perusahaan dan dukungan dari stakeholder untuk menerapkan GCG secara efektif. 

Selain itu, perlu adanya regulasi yang kuat dan penegakan hukum yang tegas untuk memastikan pelaksanaan GCG sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan.

Kenyataannya, regulasinya sih sudah ada. Di mana kebijakan GCG diwajibkan bagi semua perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) melalui UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Juga UU Nomor 19/2003 tentang BUMN. Namun, nampaknya penegakan hukumnya yang belum optimal.

5 Gejala Akut Perusahaan Butuh GCG

Lalu, timbul pertanyaan lanjutan yang cukup menggoda ? Adakah ada indikator atau gejala yang nampak bahwa perusahaan membutuhkan GCG?

Sepengetahuan penulis, setidaknya ada 5 gejala cukup akut yang menunjukkan bahwa suatu perusahaan membutuhkan penerapan GCG.

Pertama, kurangnya transparansi 

Jika perusahaan kurang terbuka dalam memberikan informasi kepada pemangku kepentingan (stakeholder) tentang kegiatan bisnisnya, maka ini bisa menjadi tanda bahwa perusahaan tersebut membutuhkan penerapan GCG.

Kedua, masalah etika. 

Jika perusahaan terlibat dalam praktik-praktik tidak etis atau tidak sesuai dengan prinsip-prinsip GCG, maka perusahaan tersebut membutuhkan penerapan GCG.

Ketiga, masalah keuangan. 

Jika perusahaan mengalami masalah keuangan yang berkelanjutan, seperti kerugian yang terus menerus atau likuiditas yang rendah, maka ini bisa menjadi tanda bahwa perusahaan tersebut membutuhkan penerapan GCG untuk memperbaiki sistem dan prosedur yang ada.

Keempat, masalah komunikasi. 

Jika terdapat masalah komunikasi yang terus menerus di antara manajemen dan pemangku kepentingan lainnya, maka ini bisa menjadi tanda bahwa perusahaan tersebut membutuhkan penerapan GCG untuk memperbaiki cara manajemen berkomunikasi dengan pemangku kepentingan.

Kelima, masalah konflik kepentingan. 

Jika terdapat konflik kepentingan yang terus menerus di antara manajemen dan pemangku kepentingan lainnya, maka ini bisa menjadi tanda bahwa perusahaan tersebut membutuhkan penerapan GCG untuk mengelola dan menyelesaikan konflik kepentingan tersebut. 

Sulitnya, masih suka ada praktik "jabatan titipan" atau "pejabat yang punya cantolan" denganpusat kekuasaan. Padahal kompetensi dan kapasitasnya, underqulied atau tak sesuai dengan tuntutan bisnis perusahaan.

Dampak Serius Bila GCG Sulit Diterapkan

Tidak sedikit para pihak yang tidak menyadari betapa ada dampak yang besar apa bila GCG tidak diterapkan dengan optimal. Baik yang berdampak negatif bagi perusahaan maupun pada stakeholdernya, antara lain:

Pertama, rendahnya tingkat kepercayaan investor dan pasar terhadap perusahaan, sehingga dapat mengurangi nilai perusahaan di pasar modal.

Kedua, menurunnya kinerja perusahaan, karena tidak ada mekanisme yang efektif untuk mengontrol dan mengelola keuangan perusahaan secara bertanggung jawab.

Ketiga, menurunnya tingkat transparansi dan akuntabilitas perusahaan, sehingga dapat menimbulkan spekulasi dan keraguan tentang kegiatan perusahaan.

Keempat, terjadinya konflik kepentingan di antara pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris.

Kelima, timbulnya tindakan tidak etis seperti korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan wewenang yang merugikan perusahaan dan stakeholdernya.

Hanya saja, saat kita menelusuri kendala penerapan GCG di lapangan, rasanya semua kendala itu terdengar klise. Kendalanya sih bisa bervariasi, tergantung pada kondisi spesifik perusahaan tersebut. 

Namun, beberapa kendala yang umumnya dihadapi saat mencoba menerapkan GCG di suatu perusahaan antara lain:

Pertama, kurangnya komitmen dari pihak manajemen.

GCG tidak dapat diterapkan secara efektif jika manajemen tidak memiliki komitmen yang kuat untuk menerapkannya.

Kedua, struktur organisasi yang kompleks. 

GCG seringkali dianggap sulit untuk diterapkan di perusahaan dengan struktur organisasi yang kompleks, karena mengharuskan adanya perubahan dalam sistem dan prosedur yang sudah ada.

Ketiga, masalah kultural.

GCG mungkin tidak dapat diterapkan dengan efektif jika terdapat masalah kultural yang mempersulit implementasi perubahan yang diperlukan.

Keempat, masalah keuangan.

Perusahaan yang mengalami masalah keuangan seringkali kesulitan menerapkan GCG, karena harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk memperbaiki sistem dan prosedur yang ada.

Kelima, masalah sumber daya manusia.

GCG seringkali dianggap sebagai proses yang memakan waktu dan membutuhkan sumber daya manusia yang cukup, sehingga bisa menjadi kendala bagi perusahaan yang memiliki sumber daya manusia yang terbatas.

Lalu, solusinya bagaimana?

Budayakan GCG secara konsisten. 

Membudayakan budaya GCG di suatu perusahaan bisa dianggap sulit dan lama karena beberapa hal. Mulai dari masalah mindset (perubahan cara pandang) karyawan dan manajemen terhadap GCG, perubahan sistem dan prosedur, kurangnya komitmen dari pihak manajemen, masalah sumber daya manusia, serta masalah waktu dan biaya yang tidak sedikit. 

Semua perubahan ini sering dianggap ruwet, komplek, rumit dan merepotkan. Mereka lebih senang dengan praktik-praktik yang sudah nyaman selama ini dilakukan.

Karena itu, membangun budaya GCG bisa dikemas dalam beberapa tahapan. Mulai perencanaan, implementasi dan mengevaluasi (penerapan) GCG, hingga tahapan membangun budaya GCG untuk mendapatkan sertifikasi Sistem Manajemen Anti-Penyuapan (SMAP) SNI ISO 37001:2016. 

Dalam proses ini, peran HR atau Human Capital Dept. akan sangat berperan untuk mensosialisasikan dan membudayakan praktik GCG di semua departemen / bagian dan di semua jenjang.

Penerapan aplikasi Government Risk Compliance (GRC) Information System seperti yang telah diterapkan di PT Pupuk Kaltim misalnya, mungkin bisa dijadikan contoh. Termasuk didalamnya penerapan Whistleblowing System dan Pelaporan Gratifikasi Online (Granol). 

Kedua sistem ini diharapkan dapat memberikan kenyamanan bagi pelapor saat melaporkan dugaan tindakan korupsi atau pun penyalahgunaan dalam bentuk lainnya.

Dari semua itu, konsisten menerapkan prinsip GCG yang baik dalam menjalankan proses bisnis adalah segalanya. Intinya, praktik GCG akan berhasil bila perusahaan menjalankan bisnisnya secara tepat, adil, dan terbuka. 

Yaitu berdasarkan prinsip-prinsip Transparency, Responsibility, Independence, Fairness, Accountability, dan Rule of law (kepatuhan hukum). Prinsip-prinsip GCG ini wajib dijalankan secara menyeluruh dan harus menjadi jiwa setiap karyawan.

Tentu saja, prinsip-prinsip ini diterjemahkan dalam sebuah program yang dapat membantu perusahaan membangun budaya preventif untuk mencegah (tindak) korupsi, baik gratifikasi maupun suap dan praktik-praktik yang sesuai prinsip-prinsip GCG. 

Dengan kata lain, selama tujuan GCG itu jelas, sistemnya yang baik, dan proses bisnis yang terdigitalisasi dengan baik, maka GCG akan sukses dijalankan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun