Karyawan itu, bukanlah aset. Pengertian aset yang saya tahu adalah penguasaan sumber daya yang dilegalisasi untuk dimanfaatkan dan diharapkan mendapat keuntungan ekonomi di masa depan.Â
Aset juga bisa terjadi karena peristiwa masa lalu, transaksi atau pertukaran. Untuk mendapatkan aset, maka dikeluarkanlah biaya "pembelian", atau dibiayai untuk mendapatkannya melalui rekrutasi.
Aset sendiri adalah istilah, ungkapan, atau terminologi yang terlalu disederhanakan. Hanya fisik, tak ada jiwa. Hanya "sebuah hitungan", bukan "eksistensi dan kebermaknaan".
Lebih jauh, ada ahli yang menjelaskan bahwa aset itu bisa berbentuk aset tetap, maupun aset tidak tetap. Pada aset tetap, ada yang mengkategorikan sebagai aset tangible maupun intangible. Itu terasa akademistik, namun rasanya kurang realistik.Â
Bagi saya pribadi, karyawan bukanlah aset. Karyawan adalah mitra sejajar dan strategis yang punya hati, minat, bakat, preferensi psikologis, potensi spiritual dengan segala potensi yang dimiliki oleh karyawan yang bersangkutan.
Jadi, pernyataan karyawan adalah aset, rasanya sebuah penyederhanaan berlebihan, dan cenderung angan-angan dan pemanis bibir saja di ruang publik. Di belakang itu, kita tak dapat menutup mata. Kualitas dan etos kerja karyawan yang baik, berkualifikasi, dan professional, itu susah didapat.
Tak sedikit orang-orang di departemen human capital dan bagian rekrutasi mengetahui benar dan jelas, bagaimana kondisi karyawan itu sekarang. Mereka punya tingkat kesulitan tersendiri untuk mendapatkan dan mempertahankan karyawan yang berkualifikasi, disiplin, kontributif, disiplin, loyalitas tinggi, tangguh, dan profesional.
Ungkapan karyawan adalah aset, seringkali saya temukan pada ucapan politisi di panggung publik. Atau pejabat yang sedang mencari dukungan atas kepemimpinan atau keberadaannya untuk menyenangkan karyawan-karyawannya.Â
Bisa juga, itu timbul dari orang yang belum memahami bagaimana begitu rumit dan kompleksnya mengelola manusia dalam organisasi, dan tuntutan pekerjaan sesuai kontek di industrinya.Â
Yang terjadi, seolah itu hanya lips service saja tanpa karya yang nyata, mengubah keadaan, dan dirasakan kebermanfaatannya oleh semua pihak secara benar, etik, dan berkeadilan.Â
Uniknya, karyawan adalah "aset" dan mitra stretegis, lebih sering saya temui pada perusahaan-perusahaan yang menerapkan Corporate Spiritual Responsibility.Â
Mereka sungguh-sungguh concern, serius, dan melayani karyawan. Tidak hanya untuk kepentingan sosial dan ekonomi karyawan, serta pemangku kepentingan mereka, namun juga pada aspek-aspek dan kebutuhan terdalam spiritual mereka.
Jadi, ungkapan karyawan adalah aset seolah itu hanya mengedepankan pendekatan kalkulatif dan rasional saja. Business to business, transaksional, sesuai tupoksi dan fungsinya saja. Buktinya, tak sedikit orang yang menilai hanya berdasar KPI (Key Performances Indicator) saja dalam pengelolaan kinerja perusahaan.
Bukti lain, ROI dalam pengembangan SDM terlalu dikejar dan ditarget tinggi. Di mana investasi ke pengembangan SDM berkorelasi erat dengan profit perusahaan. Persis seat hubungan capital expenses dan eskalasi eskalasi penggunaan teknologi dengan kinerja keuangan perusahaan.
Akhirnya, rasanya akan lebih tepat dan pas, bila dikatakan karyawan adalah mitra perusahaan dan strategis. Mereka punya nilai-nilai spiritualitas, impian, semangat, karakter, loyalitas, kontribusi, dan kegigihan untuk bersama-sama mewujudkan visi-misi perusahaan sesuai core values yang telah ditetapkan.
Jadi, sekali lagi "karyawan adalah aset perusahaan", menurut hemat saya adalah keliru. Lebih tepat bila dikatakan "karyawan adalah salah satu aset perusahaan" yang tidak dapat dengan mudah tergantikan oleh orang lain.
Bila karyawan itu berkualitas, kontributif, serta kreatif dan inovatif untuk selalu memberikan kontribusi terbaiknya, bisa dikatakan karyawan yang bersangkutan adalah aset.
Dengan kata lain, bila karyawan itu baik maka itu aset. Umumnya, berada pada 3 -- 20% urutan teratas. Pada umumnya, karyawan yang berkulitas yang dianggap sebagai aset biasanya bercirikan menguasai soft skill dalam bahasa Inggris, public speaking, manajemen waktu, problem solving, concern terhadap detail, faham manajemen keuangan, pandai menulis, dan bagus emotional quotient-nya dalam kerjasama tim.
Selebihnya, hanya pendukung saja. Sebaliknya, bila tidak baik, golongan ini umumnya berada pada urutan 10% terbawah. Pada golongan ini, bisa jadi karyawan itu beban perusahaan. Bukan aset. Biasanya kontribusinya biasa-biasa saja, atau malah di bawah performa yang diharapkan manajemen.Â
Karyawan yang seperti itu, jelas bukanlah aset. Dia hanya beban yang senyatanya bisa digantikan oleh orang-orang yang lebih muda, qualified, militan, dan profesional.
Terakhir, dan ini yang menyisakan pertanyaan bagi kita semua. Saat multi disrupi terus terjadi, robot dan kecerdasan buatan akan diterapkan, serta sistem digital dan transformasi digital menuntut untuk diterapkan di semua jenjang organisasi, apakah pernyataan karyawan adalah aset masih berlaku lagi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H