Ada apa dibalik bom Bandung ? Kenapa Bandung yang dipilih ? Kenapa targetnya kantor kepolisian ? Kenapa terjadi di pagi hari, di hari Rabu, di penghujung tahun ? Bisa jadi, sejumlah pertanyaan ini bisa liar dan terus berkembang, dengan beragam asumsi namun kadang kita bisa lupa fakta.
Seperti kita ketahui, sekitar pukul 8.30 WIB pagi kemarin, Rabu 7 Desember 2022, sebuah bom meledak di Polsek Astana Anyar, Kota Bandung. Pers memberitakan kejadian itu "Diduga Bom Bunuh Diri". Namun, ada juga yang sedikit tendensius dengan menyatakan itu sebagai "Ledakan Bom Bunuh Diri" dan "Pelaku Bom Bunuh Diri".
Inilah yang disebut sebagai "Trial by the press" atau peradilan oleh pers atau "liputan" netizen lepas di medsos. Dimana opini dan pendapat bisa bias dan bercampuraduk. Trial by the press adalah suatu pemberitaan yang menghakimi atau menghukum. Padahal pernyataan resmi dari kepolisian belum disampaikan secara resmi waktu itu. Penyelidikan Polisi, Densus 88, Tim DVI & Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) baru berjalan. Namun berita di dunia maya, sudah beragam jadinya dengan membawa opini dan asumsinya sendiri.
Terlepas dari itu semua, rangkaian bom bunuh diri di Indonesia sejak tahun 2000 terjadi lebih dari 10 kali hingga Desember 2022 ini. Di kejadian Bom Bandung kemarin, ada 11 korban yang timbul akibat bom bunuh diri tersebut. Dari 11 orang itu, sebanyak 10 orang merupakan anggota polisi dan satu orang warga sipil yang sedang melintas di sekitar lokasi kejadian. Sedangkan pelaku sendiri dipastikan tewas di lokasi. Satu anggota Polsek Astana Anyar, Aipda Sofyan menjadi korban dan meninggal.
Hal yang mengerikan, foto dan video pelaku yang diduga melakukan aksi bom bunuh diri ada yang menyebarkan melalui grup wa dan grup telegram. Bagi yang mentalnya lemah, tentu saja ini akan menimbulkan kekhawatiran dan rasa takut yang berlebihan.
Aksi terorisme lone wolf ini dilakukan oleh seseorang pria seorang diri dan tengah ditelusuri ada tidaknya pelaku terafiliasi dengan organisasi tertentu. Kepolisian dalam hal ini Densus 88 juga BNPT, masih terus menyelidiki dan mendalami lebih jauh.
Rasanya, akan lebih elok bila semua pemberitaan ini mengacu pada satu sumber resmi, yaitu polisi. Karena bila tidak, tidak menutup kemungkinan akan membuka potensi multi tafsir dan persepsi yang tidak tepat, bahkan liar dari masyarakat.
Seolah berpacu dan balapan, untuk selalu menjadi sumber berita yang paling cepat, up to date dan lengkap. Sementara itu, Densus 88 Antiteror Polri melakukan investigasi ledakan yang diduga sebagai aksi bom bunuh diri. Hasil sidik jari dan face recognition dilakukan. Tim DVI pun sibuk melakukan tugasnya. Yaitu melakukan oleh TKP (tempat kejadian perkara) berupa pemeriksaan lokasi, pemeriksaan termasuk sidik jari, untuk memastikan identitas dari pelaku bom bunuh diri,
Namun, ada saja yang bertanya, masalahnya mengapa yang disasar lebih sering ke kantor kepolisian ? Untuk menjawab ini, rasanya hanya para pakar dari pihak yang berwenang yang bisa menjawabnya.
Sepengetahuan saya, biasanya teroris ini selalu menyasar pada simbol, dan symbol itu beragam. Bisa simbol negara (seperti kantor kepolisian), ibukota negara atau ibukota propinsi, pusat kota, kepemilikan asing (hotel), tempat ibadah, fasilitas publik (halte, terminal), tempat/industri wisata (Bali), dll. Tapi ada juga yang mengaitkan sebagai pengalihan isu publik, dendam jaringan narkoba, dan lain-lain. Liar & bisa kemana-mana kaitannya. Luas pisan spektrumna
Pilihan tepat dan bijak mensikapi ini, yang mana ini ada baiknya adalah kita sedikit menahan diri dan bersabar. Sikap bijak yang bisa kita lakukan adalah bahwa kita hanya percaya dan mengacu pada sumber pemberitaaan pada sumber resmi dari kepolisian saja. Selebihnya, jangan percaya, namun justru diingatkan saja.
Kepada masyarakat juga perlu diingatkan agar berhati-hati mensikapi ini. Khususnya untuk tidak tergoda menyebarkan foto pelaku maupun korban bom bunuh diri itu melalui media apa pun.
Pada pasal 29 dalam UU ITE (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik) dinyatakan bahwa setiap orang atau pelaku yang secara sengaja serta tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang di dalamnya terdapat ancaman kekerasan / menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi, bisa terancam hukuman 4 tahun penjara. "Hukuman yang berlaku bagi para pelaku teror elektronik atau online dengan menakuti-nakuti orang ini adalah pidana kurungan penjara selama 4 tahun maksimal dan atau denda paling banyak hingga Rp 750 juta".
Bagi masyarakat, bila ingat bom, ingatlah kode ABCD. Awas Bom, Cepat Ditindaklanjuti. Semisal, saat kita menemukan paket di ruang publik, ada baiknya segera laporkan ke aparat keamanan terdekat. Bila ada ancaman bom, segera laporkan ke pihak yang berwajib saja. Atau telepon ke Gagana.
Saatnya pula masyarakat kini memeriksa ulang kesiapan sistem keamanannya masing-masing. Alat komunikasi, handy talky, seluruh CCTV yang terpasang, pastikan berfungsi, terpasang dan siap digunakan. Selain itu, kita pun tetap selalu waspada, dan tidak mudah terhasut isu atau provokasi dari pihak manapun.
Jadi, bila ada ancaman, temuan yang diduga bom, atau pun peledakan bom. Ingat ini : "Ingat Bom, Ingat ABCD. Awas Bom, Cepat Ditindaklanjuti". Tentunya sesuai arahan dan prosedur keamanan dari aparat yang berwenang di area tugas kita masing-masing dimana pun kita berada.
Kita harus bersatu dan punya satu sikap yang sama untuk mengecem keras kejadian ini. Kita pun sangat berharap kepolisian dapat mencari aktor intelektual peristiwa bom ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H