7. Tiket kunjungan bisa disediakan kotak amal yang sifatnya sukarela, namun juga bisa dikenakan tiket masuk, parkir, biaya keamanan hingga biaya antar keliling lokasi bencana.
8. Wisata bencana atau piknik bencana ini tidak menimbulkan ekses sebagai "Tindakan Tidak Etis". Persis seperti artikel dengan judul "Santir Rupa Lindunisia", yang menyamakan pengunjung wisata bencana sebagai "orang berhati Iblis" (https://communication.uii.ac.id/).
Contoh wisata bencana di Indonesia yang sudah ada, antara lain bisa dilihat di Wisata Kapal PLTD I Apung karena Tsunami Aceh yang menjadi saksi bisu kedaksyatan tsunami Aceh tahun 2004. Juga seperti Museum Mini Sisa Hartaku di Kepuharjo, Cangkringan, Sleman Yogyakarta karena kedahsyatan erupsi letusan gunung Merapi tahun 2010. Selain itu, ada pesona keindahan Wisata Lumpur Lapindo di di Desa Ketapang, kecamatan Tanggulangin, kabupaten Sidoarjo. Di luar negeri, wisata bencana juga kita temukan di Bendungan Delta Belanda, yang jadi "monument" bencana banjir tahun 1953 & memakan 1800 korban jiwa, hingga Ground Zero Reruntuhan Gedung WTC karena pengemoman gedung WTC New York.
Warga yang menjadi korban, tokoh masyarakat yang terlibat, dan relawan yang langsung terjun pertama kali di tempat yang menjadi saksi hidup saat itu, bisa jadi nara sumber terpercaya. Mereka bisa diminta untuk menceritakan ulang sejarah kebencanaan khususnya kronologi detik-detik bencana itu, sebagai sebuah pengingat abadi bahwa sebagai makhluk Tuhan kita bisa ditelan bumi kapan saja. Atau kisah-kisah heroik yang bisa menginspirasi kita semua.
Dalam masa tanggap darurat, batasi dan perketat akses.
Bila akses ke area bencana belum diatur, maka evakuasi dan mobilisasi bisa jadi amburadul. Karena itu diharapkan Polri dan pihak terkait mampu menertibkan masyarakat yang menjadikan lokasi gempa, sekaligus mengedukasi bahwa area bencana saat ini bukanlah tempat wisata.
Pihak-pihak yang tak berkepentingan di lokasi bencana, bisa mengganggu penanganan bencana, baik terkait mobilisasi peralatan, bantuan hingga logistik ke lokasi bencana. Bila area bencana bisa diatur sedemikian rupa dengan baik, maka arus dan kecepatan bantuan bisa diatur lebih cepat hingga ke tangan yang membutuhkannya. Tidak saja saat tanggap darurat, namun dapat terus ditertibkan hingga pada tahap rehabilitasi bencana.
Akhirnya, saya sendiri sangat berharap agar wisata bencana tidak dilakukan masyarakat di area bencana sebelum masa rehabilitasi benar-benar sudah dilakukan sempurna. Sisi empati dan kemanusiaan haruslah diprioritaskan. Harapan, kebiasaan dan kehidupan keseharian masyarakat yang terdampak janganlah terganggu. Ini jauh lebih penting mendapat atensi khusus sekarang, khususnya dari aparat keamanan dan LSM Pengamanan Swakarsa yang bisa dilibatkan. Ya, sekali lagi, ini lebih penting dan mendesak dibandingkan untuk kepentingan literasi dan edukasi kebencanaan, atau pun hanya sekedar mencari recehan cuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H