Sederet kecanggihan WhatsApp sekarang ini, kian memanjakan para penggunanya. Lewat update terbarunya yang dilakukan terus menerus, membuat para penggunanya kian dinanabobokan dengan berbagi fitur kelengkapan didalamnya. Seperti penggunaan satu nomor WA ini nantinya bisa dipakai di 4 device yang berbeda, plus adanya fitur hapus pesan otomatis.
Dengan fiturnya yang kian familiar, Grup WA rasanya jadi grup medsos yang paling terkemuka. Grup ini sungguh mengasyikan saat kita buka di tengah waktu istirahat, atau saat ada luang dari kesibukan. Seabrag grup sudah ditawarkan. Para pemakai WA sendiri punya banyak grup. Ada grup bisnis atau profesi, ada grup mastermind, ada grup hobi, ada grup keluarga, ada grup keluarga besar, ada grup ketetanggaan, ada grup dakwah dan mengaji, ada juga grup para alumni. Juga grup-grup lainnya. Banyak ragam dan beragam juga tujuannya.
Bila kita perhatikan lebih seksama, satu orang dewasa sekarang ini rata-rata punya setidaknya punya 4 hingga 8 grup WA. Hanya saja untuk grup ketetanggaan, grup alumni dan grup keluarga besar biasanya, isinya suka gado-gado. Ada guyon, ada humor, ada tayangan yang menyebalkan, ada info yang menakutkan, atau info lain yang tak jelas pengantar kata atau maksud postingannya. Soalnya, itu posting dicemplungin aja ke grup. Tak jelas, orang posting atau upload di grup itu ia berharap apa ? Maksudnya apa ? Main posting dan cemplung aja. Alhasil, grup wa seperti ini bisa jadi grup sampah !
Lama kelamaan, agak kesal juga melihatnya. Seolah apa yang ia dapat di grup sebelah, serta merta dishare langsung di grup kita. Atau hasil penelusuran pada minatnya, bila ia rasa bagus, juga langsung di share grup kita. Kesal, gemesin, dan kadang agak emosi juga jadinya. Karena di grup-grup tertentu, suka tidak ada aturannya. Sampai di sebuah kasus ada yang protes keras !
Lalu, saya pun ungkapkan kegemesan ini : "Gimana kalau di grup ini kita fokus hanya pada hal yang positif-positif saja, biar enakeun gitu..."
Sahabat lain yang manis pun menimpali. "Apapun alasannya, saya tidak setuju dan saya berprotes keras terhadap hal yang seperti ini. Saya kurang setuju kalau hal seperti ini diposting disini. Sependirian dengan yang tidak setuju, lebih baik di grup ini posting dan share hal-hal yang hanya membawa aura kebaikkan, energi positif, dan hal-hal yang menginspirasi, memotivasi"
Lucunya, pernah di sebuah grup ada member yang keluar. Saat dia pamit dan keluar, eh dimasukin lagi ama adminnya :-).
Efek medsos memang bisa membuat mood dan emosi negatif jadi tak bagus. Betapa tidak rata-rata waktu penggunaan media sosial orang Indonesia misalnya, bisa mencapai 197 menit atau sekitar 3,2 jam per hari (katadata.co.id). Apalagi bila itu terjadi sering, dan terjadi dalam rentang waktu yang panjang. Karena Dr. Barbara Fredicktion dengan prinsip Optimum Positivily Ratio 3 : 1, pernah mengingatkan, "Kita membutuhkan tiga emosi positif untuk mengangkat kita untuk setiap emosi negative yang membuat kita bete atau pun jatuh". Artinya, saat kita membaca berita satu berita negatif, maka kita membutuhkan setidaknya 3 berita positif untuk me-recovery-nya.
Nabi Muhammad Saw bersabda : "Sesungguhnya pengkhususan salam hanya untuk orang-orang tertentu saja. Maraknya perdagangan, (banyaknya) pemutusan tali silaturahmi, (banyaknya) persaksian palsu, (banyaknya) penyembunyian persaksian yang benar dan BERMUNCULNYA PENA (TERSEBARNYA KARYA TULIS) akan terjadi menjelang terjadinya hari kiamat" (HR Imam Ahmad)
Etika dan adab atas fenomena kita bermedsos ini, sudah diingatkan 15 abad yang lalu oleh Rasulullah dengan bahasa yang klasik ("tersebarnya pena"). Ya, dunia digital dengan media komunikasi didalamnya yang berisi tulisan dan beragam konten lainnya yang tersebar dengan massif, adalah salah fenomena sebelum hari kiamat datang. Medianya terdistribusikan melalui medsos atau grup medsos yang mewarnai dalam kehidupan sehari-hari. Baik itu Whatsapp, Telegram, Facebook, atau pun platform medsos lainnya.
Sayangnya, tak semua grup medsos itu punya aturan dan penegakan yang ketat. Konten yang nyeleneh dan apa pun bisa brus masuk kedalamnya. Karena itu, saatnya kita fokus pada kebaikan, dan bagi waktu dengan proposional. Tinggalkan hal yang tak bermanfaat dan tak bermakna. Karena, salah satu tanda kebaikan seseorang adalah ia mampu meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat bagi dunia atau pun bagi akhiratnya.
Jangan sampai kita berkutat terus di medsos, dan istri, suami atau anak-anakmu mencemburuimu karenanya. Jadi tulis, posting, atau komentari hanya yang baik, benar, mengandung kebajikan dan hal yang bermanfaat saja. Amalkan, sebelum mendakwahkan. Diluar itu, lebih baik diam.
Karenanya, ekstra hati-hati dan bijaklah menggunakan medsos. Saringlah dengan ketat dan berlapis. Cek, recheck, crosscheck sebelum menyampaikan berita. Jangan-jangan itu hoaks atau mengandung kandungan ujaran kebencian, atau bahkan mengandung penyebab terjadinya ketersinggungan atau perpecahan. Jangan pula nyinyir atau mencela. Karena caci maki dan mencela itu bisa mengundang bencana.
Selain itu, bila ada masalah besar yang di-share jangan dulu percaya, karena bisa jadi yang menshare itu tidak punya kapasitas untuk menyelesaikannya. Kita pun jangan serta merta tergoda untuk mengomentarinya, karena kita sendiri belum tentu punya kapasitas yang memadai untuk membahasnya. Begitulah adab saat kita dihadapkan pada masalah besar. Disisi lain, kita hanya boleh percaya kepada orang yang memiliki kapasitas untuk membahasnya saja. Atau, boleh juga kita mengkritisnya dengan berdasar fakta-fakta yang ada, dan itu pun harus diberikan beberapa alternatif solusi terbaiknya. Jangan sampai kita mempermasalahkan masalah tanpa solusi nyata, namun malah hanya nyinyir saja. Bergibah, atau men-share tanpa saringan yang bagus. Tanpa mengedepankan prinsip kehati-hatian.
Tak jarang, fitnah dan komentar miring di medsos, termasuk fitnah wanita, bisa menyebabkan perang pernyataan antara sesama anggota, netizen atau influenzer. Mirisnya lagi, malah ada perang pernyataan seperti berbalas pantun antara anak dan ibu kandungnya sendiri. Antara artis ini dan artis itu. Main sindir antara politisi yang satu dengan politisi yang lain. Lalu, tak sedikit pula yang jadi aduan dan masuk ranah pidana.
Allah sendiri sudah mengingatkan, "Hendaklah mereka mengucapkan yang benar" (Al Isra 17 : 53). Benar dan jujur dalam berniat, berperilaku, bergaul, maupun jujur terhadap diri sendiri. Termasuk didalamnya untuk bisa pandai-pandai membedakan, mana ranah pribadi yang tak baik di share, dan mana yang menjadi ranah publik yang boleh di-share.
Bukankah setiap huruf, kata, foto atau video yang kita posting itu akan dimintai pertanggungjawaban kelak ? Dan bukankah, apa pun aktivitas kita di medsos atau grup medsos itu juga, akan dicatat oleh Malaikat Roqib dan Atid ?
Saatnya kita bijak bermedsos. Baik niatnya, benar kontennya, dan bermanfaat adanya. Jemari dan medsos itu seperti pedang bermata dua. Kita akan searching dan mengetikkan untuk surga, atau neraka. Waktu bermedsos, apa yang diposting atau diupload, dan komentar yang akan ditinggalkan, kelak akan diaudit tanpa pembela dan pendamping legal. Lalu akan dihisab : apakah ini jadi dosa pemberat, atau jadi nilai amal yang bermanfaat.
In Syaa Allah, dengan niat yang lurus dan benar isi dan cara penyampaiannya, mendingan sosmed dan grup medsos itu kita jadikan menjadi media dakwah. Saluran inspirasi. Grup yang saling memotivasi dan bahu membahu membawa ke peradaban yang labih baik. Media sosial ini sungguh sangat ampuh, mujarab, berdampak luas, dan bisa dikemas dengan beragam platform dengan strategi social media domination. Mulai dari Kompasiana, Medium, Facebook, Instagram, YouTube, Telegram, SoundCloud, LinkedIn, hingga Spotify.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H