Keenam, pilih sikap yang memberdayakan. Tak jarang, saya pun suka mudah terhanyut dan merasa kagum saat ada penulis yang mampu memaparkan ide, gagasan, inspirasi atau temuannya dengan memukau. Padahal sikap itu -- kekaguman itu -- adalah salah. Jauh lebih tepat bila kita memilih sikap untuk bersyukur ada penulis yang menuliskan percikan karunia-NYA dan memberikan kedalaman makna pada pembacanya.
Ketujuh, bertanggungjawablah. Di dunia fiksi, tentu saja lain lagi. Saat penulis biasa menulis fiksi, pada umumnya orang menganggapnya bahwa menulis fiksi adalah mengarang dengan khayalan, agar bisa menghibur para pembacanya. Namun, hal yang berbeda saya temukan pada penulis pembelajar saat mereka menulis fiksi. Bagi penulis pembelajar, menulis fiksi itu jelas memerlukan untuk berpikir serius, bertanggungjawab secara moral, memberikan pencerahan bagi pembacanya, dan karena itu jelas harus cerdas.
Kedelapan, jadikan tantangan. Bagi orang biasa, ide itu diyakini bisa datang tak diundang, dan bisa datang kapan saja setiap saat. Padahal senyatanya, bagi penulis pembelajar justru mereka merasa tertantang -- dan menjadi keasyikan tersendiri -- saat mencari, menemukan, dan menggali ide itu sendiri. Mencari ide dan mengemasnya, itu petualangan tersendiri.
Kesembilan, tulis ulang dan ikatlah makna. Akhirnya, saya setuju 101% dengan apa yang dikatakan oleh Joe Vitale, penulis buku Hypnotic Writing, bahwa "Tidak ada penulis yang hebat, yang ada hanyalah penulis ulang yang hebat" yang memberi makna, manfaat, pencerahan dan inspirasi bagi para pembacanya.
Akhirnya, jadilah penulis pembelajar untuk menjadikan diri sebagai insan pembelajar. Bukan jadi orang yang terkenal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H