Kekisuhan klasik antara KPK versus POLRI yang dikenal publik dengan istilah "Cicak vs Buaya Jilid III" beberapa waktu lalu dengan penetapan tersangka Budi Gunawan (BG) oleh KPK, dan dibalas Polri beberapa Komisi KPK, diantara yang positif telah ditetapkan tersangka yaitu Bambang Widjojanto (BW) dan Abraham Samad (AS) yang masing-masing diciduk karena tuduhan sumpah palsu dalam proses sengketa pemilukada Kotawaringin Barat dan tuduhan penyalahgunaan wewenang jabatan dan kasus pembuatan dokumen palsu.
Polemik diawali saat legislatif melempar "bola api" kepada Prsiden Jokowi yang menyodorkan nama calon tunggal Kapolri ke DPR sebagai imbas dari transaksi politik dari partai pendukung Jokowi (seperti halnya pengangkatan Jaksa Agung HM, Prasetyo). Dalam sidang Fit and Proper Test tersebut, secara aklamasi, Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) meloloskan BG. Disatu sisi, BG telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dengan tuduhan gratifikasi saat menjabat Kepala Biro Pembinaan Karir SDM Mabes Polri (Karo Babinkar) periode 2oo4-2006.
Menurut keterangan yang dirilis KPK kepada awak media nasional, baik cetak maupun elektronik, penetapan BG sebagai tersangka adalah tindak lanjut dari laporan analisa PPATK. Lebih lanjut menurut mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan ( PPATK), Yunus Husein, bahwa BG pernah diusulkan menjadi Menteri, tetapi saat dilakukan pengecekan informasi latar belakang yang bersangkutan di PPATK dan KPK, BG mendapat rapor merah.
Dari Praperadilan Hingga Gaduh Di Istana
Tak terima atas penetapannya sebagai tersangka karena merasa cacat hukum, BG menempuh jalur praperadilan. Sidang yang diketuai Hakim Sarpin tersebut memenangkan BG dalam persidangan. Sementara disis lain, Korps "pengayom masyarakat" dengan jurus-jurusnya telah menyiapkan pasal-pasal untuk meng-goal-kan "atraksi" kriminalisasi terhadap para pimpinan Lembaga anti raswah meski tak kurang dukungan mengalir bagi Korps anti korupsi tersebut. Â Sebagaimana dilansir portal berita online AntaraNews, elemen masyarakat sipil yang memberi dukungan moril tersebut diantaranya ada YLBHI, PSHK, LBH Jakarta, Gusdurian, IMPARSIAL, LEIP, ILRC, KontraS, WALHI, Arus Pelangi, PUKAT_UGM, MAPPI FH-UI, TI Indonesia, dan sebaganya ( 19 Februari 2015).
Di Istana sendiri, Jokowi berada pada posisi dilematis antara mendengar penolakan atas pencalonan BG dari masyarakat dan menyeimbangkan "liarnya" agenda politik oleh elit partai pendukungnya di Parlemen dan "tes kelayakan" atau shock therapy yang dilakukan oleh kelompok oposisi di Parlemen ( baca; KMP ) terhadap kredibilitas Jokowi.
Libido politik yang ada dibalik ketegangan cicak versus buaya pun mereda setelah pencalonan BG dibatalkan oleh Jokowi dan mengangkat Plt. Kapolri, Badrodin Haiti sebagai Kapolri secara de jure dibarengi dengan kelurnya Keputusan Presiden tentang pemberhentian sementara dua pimpinan KPK dan diikuti denga diikuti dengan perbitan Keppres pengangkatan tiga anggota sementara yakni Taufiequrachman Ruki, Indriyanto Seno Adji, dan Johan Budi.
Pelantikan BG Sebagai Wakapolri Menciderai Nurani Rakyat
Setelah tenggelamnya kisruh KPK vs POLRI dari headlinemedia massa nasional. Berlindung dalam ketentuan normatif UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dalam bungkus retorika normatif, BG pun dilantik menduduki jabatan Wakapolri secara tertutup. Internal Polri melantik BG sebagai Wakapolri dengan dalih kewenangan itu merupakan wilayah internal Polri.
Hemat penulis, sepertinya "telinga" Polri sudah tebal terhadap suara dari rakyat dan lupa bahwa yang memberi gaji mereka adalah APBN yang mana APBN diantaranya dipungut dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat. Bisa dikatakan bahwa Cicak vs Buaya III adalah sebuah drama kalahnya suara rakyat sebagai pemilik kedaulatan oleh birokrat yang memiliki akses kepada kekuasaan dengan berlindung dengan retorika legalitas normatif.
-  Salam  -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H