Mohon tunggu...
Agung Hidayat
Agung Hidayat Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Orang pinggiran.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Remisi bagi Koruptor: Kajian Historis, Yuridis, dan Menengok Kesalahan Pengembangan Hukum Pemidanaan di Indonesia

2 Mei 2015   07:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:28 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Asas, Teori, dan Tujuan Hukum

Dalam sejarah peradaban manusia, ikhtiar-ikhtiar yang berkaitan tentang hukum selalu berkembang dari generasi ke generasi berikutnya. Termasuk didalamnya perkembangan metode pemidanaan dari restitutif menuju pola pemidanaan yang berkarakter distributif yang menjadi pranalar adanya pemikiran terhadap pemenuhan hak-hak dasar (non derogable rights) terpidana.

Indonesia sebagai negara hukum (Rechstaat) dan negara yang melindungi HAM seyogyanya dalam menjatuhkan pidana/sanksiharuslah menjaga martabat individu tersebut. Oleh karena itu, pemidanaan harus mempunyai tujuan dan fungsi yang dapat menjaga keseimbangan individu dengan kepentingan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama.

Konsep korelasi negara dan masyarakat tersebut sesuai dengan teori Social Contract yang dikemukakan Rosseau dalam mencari teori pembenar dari pemidanaan dimana hukum adalah wujud volonte generale (kemauan umum) sehingga berfungsi sebagai tatanan yang melindungi kepentingan bersama sekaligus kepentingan pribadi. Lebih lanjut, Spinoza dan J.J. Roessau berpendapat bahwa tujuan pidana untuk memulihkan keadaan yang harmonis sebagai akibat dari gangguan perbuatan narapidana dan cara memulihkan keadaan yang demikian itu adalah dengan menakut-nakuti disamping harus diusahakan perbaikannya.( Muladi, 1985 : 46 ).

Membicarakan pidana (straf) tentu tak bisa lepas dari kata pidana itu sendiri. Menurut Sudarto, pemidanaan adalah sinonim dengan perkataan penghukuman. Dikatakan bahwa “penghukuman” berasal dari dasar kata hukum. Sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan hukumnya (berechten). Lebih lanjut, dengan mengutip pendapat Leo Polak, Sudarto mengatakan bahwa :

Satu-satunya problema dasar bagi hukum pidana adalah makna,tujuan serta ukuran dari penderitaan pidana yang patut diterima oleh seseorang. Maka dari itu pidana patut diterima oleh seseorang. Pidana juga termasuk tindakan matregal. Juga merupakan suatu penderitaan yang dirasakan oleh yang dikenai pidana. Oleh karena itu, orang tidak henti-hentinya mencari dasar hakekat dan tujuan pidana dan pemidanaan, untuk memberikan pembenaran dari pidana itu”.(Sudarto, 1981 : 6 ).

Aliran teori pemidanaan dewasa ini berkembang kearah Itegratif, yaitu teori yang mencoba menghubungkan dan menggabungkan antara teori retributif dan utilitarian. Yaitu usaha untuk menghubungkan secara terpadu antara pandangan utilitas yang menyatakan tujuan pidana harus dapat menimbulkan manfaat yang dapat dibuktikan, dengan pandangan yang retributif yang menyatakan bahwa keadilan dapat tercapai apabila tujuan yang teologikal tersebut dilakukan dengan menggunakan ukuran-ukuran berdasarkan pirinsip- prinsip keadilan. Maka  subtansi pemidanaan tersebut harus meiliki manfaat atau kegunaannya dan pidana harus memiliki orientasi kedepan.

Tujuan pemidanaan yang dicanangkan itu harus memuat dan mengandung prevenci khusus dan prevenci umum sebab bukankah pencegahan kejahatan ingin dicapai melalui pidana, yaitu dengan cara mempengaruhi terpidana agar tidak melakukan kejahatan lagi. Sedangkanprevensi umum dimaksudkan sejauh mana pidana itu berpengaruh pada masyarakat.

Ketentuan tersebut senada dengan apa yang diutarakan Lamintang bahwa terdapat 3 (tiga) pokok tujuan yang ingin dicapai dengan suatu  pemidanaan, yaitu;

a.Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri
b.Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan
c.Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan lainnya, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara lain yang                 sudah tidak dapat diperbaiki lagi.

Bisa disimpulkan bahwa tujuan pemidanaan adalah -meminjam istilah Prof. Soerjono Soekamto- untuk mengembalikan “kegoncangan” sosial dan memperbaiki pribadi terpidana agar kelak jika kembali mampu berasimilasi ke masyarakat. Dan pemidanaan tersebut hanyalah sebatas institusionalitas yang tidak bertentangan dengan semangat Pancasila.

Hak-Hak Terpidana Sebagai Pribadi Bermartabat.

Perkembangan teori hukum Integritas dengan konsep penghubungan dari teori retribution dan utilities telah merubah sudut pandang hukum dalam melihat dan mempelakukan pribadi pelaku kejahatan sebagai pribadi yang bermartabat didepan hukum. Mazhab ini sangat berpengaruh dalam perkembangan penghormatan terhadap Hak-Hak Asasi Manusia dalam pemajuan dan penghormatan terhadap hak-hak dasar manusia dan pengkodifikasian hukumnya.

Diantara kodifikasi hukum tersebut, ada beberapa protokol internasional yang khusus ditujukan untuk menjamin tidak dilanggarnya hak-hak bagi narapidana, yaitu Konvensi PBB tentang Perlakuan terhadap Narapidana atau Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment (1955) yang diratifikasi Indonesia pada tahun 1998 dan Tokyo Rules (1958). Dari dua instrumen bisa dipahami bahwa dalam pemberlakuannya tak boleh ada perlakuan diskriminasi terhadap para narapidana.

Kejahatan Luar Biasa (Extra Ordinary Crime) dalam Perspektif Pendekatan Teori dan Yuridis.

Sebelum membahas lebih jauh, apakah korupsi termasuk kejahatan luar biasa atau tidak. Alangkah lebih baik kita memahami dulu apa itu korupsi. Korupsi berasal dari bahasa latin Corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok.

Topik tentang pemahaman korupsi hingga dewasa ini oleh pakar hukummasih menjadi perdebatan. Dalam ketentuan hukum internasional, belum adanya aturan yang secara eksplisit mengatur tentang ketentuan korupsi sebagaikejahatan luar biasayang dapat digolongkan sebagai pelanggaran HAM yang berat (gross violation of human rights) atau tidak. Implikasi dari perbedaan pandangan tersebut dalam ranah legal-normatif hukum Indonesia akan  menimbulkan akibat hukum yang akan timbul, diantaranya tentang pemberian remisi.

Perbedaan persepsi tersebut bermuara dari perbedaan sudut pandang doktrin hukum yang mempengaruhi pola pikir para pakar hukum tersebut (terlepas dari motif politik yang menjadi latar belakangnya). Argumentasi yang menentang bahwa korupsi merupakan extraordinary crime bisa dilihat dari landasan argumentasi dengan titik tolak pendekatan monoisme antara hukum nasional dan internasional sebagaimana dikemukakan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra bahwa rumusan dokumen UN Convention Againts Corruption yang disahkan di Markas PBB di New York yang juga ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tak ada ketentuan yang mengatakan bahwa korupsi sebagai kejahatan luar biasa, melainkan dirumuskan sebagai kejahatan trans-nasional (konsideran UU No. 7/2006 huruf b).

Lebih lanjut, argumentasi tersebut diperkuat tentang keberadaan Konvensi PBB tentang Perlakuan terhadap Narapidana dan Tokyo Rules yang mengatur perlakuan terhadap narapidana  justru tidak membenarkan adanya diskriminasi terhadap narapidana dan tak adanya pasal dalam konvensi tersebut yang memasukkan pelaku tindak pidana korupsi dikecualikan dari hak mendapatkan remisi.

Sedangkan argumentasi pihak yang setuju/pro terhadap penggolongan korupsi sebagai law visibility crime atau suatu tindak pidana yang sulit dideteksi dan berdampak pada korban tak jelas atau berdampak tidak langsung oleh kemarahan korbannya hingga adanya laporan dari si korban. Disamping itu, hukum juga sulit untuk menjangkaunya dan sulit dalam pembuktiannya. Maka penanganan korupsi harus dengan extra ordinary en forcement. Lebih lanjut, korupsi merupakan white collar crime dimana; 1) kejahatan dilakukan oleh pejabat publik atau swasta, 2) orang-orang yang punya akses kekuasaan atau kedudukan, dan 3) rata-rata dilakukan oleh orang-orang dengan strata ekonomi menengah atas dan orang-orang yang memiliki edukasi tinggi.

Remisi

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 paska amandemen secara tegas memberikan perlindungan mengenai hak asasi manusia sebagaimana tertuang dalam Bab XA UUD 45, terutama ketentuan Pasal 28A sebagaimana berikut;

“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”,

dan Pasal 28D Ayat 1;

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.

Oleh sebab itu semua warga negara berkesempatan memperoleh perlakuan yang sama dihadapan hukum untuk menjadi manusia seutuhnya tanpa terkecuali orang yang berstatus sebagai narapidana.

Dalam Bab II Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dikatakan bahwa sistem pembinaan masyarakat berdasarkan asas:

a.Pengayoman;
b. Persamaan perlakuan perlakuan dan pelayanan;
c. Pendidikan;
d. Pembimbingan;
e. Penghormatan harkat dan martabat manusia;
f. Kehilangan kemerdekaan merupakaan satu-satunya penderitaan; dan
g. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.

Dalam ketentuan PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999, ketentuan Pasal 34 yang berbunyi sebagai berikut;

(1)Setiap Narapidana dan Anak Pidana berhak mendapatkan Remisi.
(2) Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana yang telah memenuhi syarat:

a.berkelakuan baik; dan
b. telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.

(3)Persyaratan berkelakuan baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibuktikan dengan:

a.tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir,terhitung sebelum tanggal pemberian Remisi; dan
b. telah mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh LAPAS dengan predikat baik.

Sedang ketentuan Pasal 34A berbunyi sebagai berikut:

(1)Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan:

a.bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
b.telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi;                        dan
c.telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh LAPAS dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, serta menyatakan ikrar:

1.kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Indonesia, atau

2.tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Asing, yang dipidana karena melakukan                                                  tindak pidana terorisme.

(2) Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku terhadap Narapidana yang dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.

(3) Kesediaan untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Remisi Adalah Praktek Salah Dalam Kodifikasi Hukum Indonesia

Hukum yang berlaku dalam masyarakat dapat pula dipelajari dari sudut sejarahnya. Dengan metode sejarah, ditelitilah perkembangan hukum dari awal sampai terjadinya himpunan kaidah-kaidah hukum tertentu. Maka menjadi sebuah kepatutan bagi kita untuk menelusuri sejarah munculnya istilah remisi tersebut.

Menurut Ganjar L Bondan, dosen Dosen Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI) mengatakan bahwa remisi merupakan hadiah dari penguasa kepada terpidana dan tidak ada sangkut pautnya dengan prinsip Hak Asasi Manusia. Tradisi remisi berawal dari Raja-Raja Inggris ketika mendapati kebahagiaan, maka mereka akan memberi pengampunan (remisi).

Dalam ketentuan dokumen UN Convention Againts Corruption yang disahkan di Markas PBB di New York yang juga ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tak ada ketentuan yang menyinggung pemberian remisi, melainkan berisi tentang ketentuan-ketentuan yang melindungi hak-hak dasar terpidana agar tidak dilanggaroleh penegak hukum. Maka sudah selayaknya segala Pasal tentang Remisi dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 dianulir.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun