Mohon tunggu...
agung marhaenis
agung marhaenis Mohon Tunggu... Administrasi - penulis

Pecinta kata, kopi, kuliner, dan kebun.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hukuman Siswa Jilat WC Merendahkan Pendidikan dan Kemanusiaan

16 Maret 2018   08:10 Diperbarui: 16 Maret 2018   08:14 1177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kejadian luar biara memalukan kembali terjadi di dunia pendidikan Indonesia. Seorang guru di SDN 104302 Cempedak Lobang, Kecamatan Sei Rempah, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara menghukum muridnya dengan cara sangat tidak manusiawi. Oknum guru berinisial RM menghukum muridnya untuk menjilat lantai WC sekolah. Sungguh hukuman yang tidak bisa diterima nalar sama sekali. Hukuman tersebut tidak hanya merendahkan nilai pendidikan, tapi juga nilai kemanusiaan.

Padahal pangkal masalahnya sangat sepele. Siswa berinisial MBP tidak membawa tugas sekolah berupa kompos. Bukan sebuah kesalahan besar. Seandainya ada hukuman, sang guru bisa menyuruhnya pulang lagi untuk mengambil kompos atau misalnya diberi tugas yang bisa membangun kerjasama seperti membantu membawa kompos teman-temannya. Banyak alternatif hukuman yang bisa diberikan, tanpa perlu melakukan tindakan kekerasan.

Hukuman yang diberikan RM sudah pasti masuk tindak kekerasan terhadap anak. Kekerasan tersebut bahkan termasuk kekerasan ganda yaitu kekerasan fisik dan kekerasan mental. Untuk kekerasan jenis kedua, efeknya bisa lebih berat, karena bisa memberikan efek traumatik yang dalam dan panjang. MBP sendiri sempat tidak mau sekolah, karena merasa takut dan mengalami trauma dengan kejadian tersebut.

Tindakan RM sudah jelas pasti bertentangan dengan segala macam hukum dan norma sosial yang berlaku. Tindakan tersebut sudah pasti bertentangan dengan fundamental Undang-undang yaitu Pembukaan UUD 1945. Dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 sudah dijelaskan dan ditegaskan bahwa salah satu tujuan Negara Indonesia didirikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Cara yang dilakukan oleh RM sudah pasti jauh dari tindakan mencerdaskan kehidupan anak bangsa. Hukuman tersebut justru merupakan bentuk pembodohan terhadap kehidupan anak bangsa. Bukan hanya trauma, hukuman seperti itu bisa menjadi inspirasi bagi orang lain. Terkadang, korban yang pernah merasakan tindak perbuatan pelecehan seperti itu bisa terinspirasi untuk melakukan hal yang sama.

Orangtua MBP menyatakan keberatannya atas hukuman terhadap anaknya. "Kalau memang mau dihukum, apa tidak ada hukuman lain. Kalau disuruh cuci WC, disetrap saya terima. Tapi ini kan sudah keterlaluan. Tidak berperikemanusiaan dan sangat tidak pantas. Kami ingin gurunya dihukum," kata SH, ibu dari MBP.

Kekecewaan SH sangat beralasan, karena hukuman tersebut memang bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Manusia, apalagi anak-anak, sudah seharusnya mendapatkan kasih sayang, bukan pelecehan yang bisa membuat mereka trauma.

Sanksi setimpal harus didapat oleh RM, karena ini bukan kejadian pertama. Pada 2012 ternyata dia pernah melakukan tindak pemukulan terhadap murid dan hal tersebut diselesaikan dengan damai dengan orangtua murid. Sanksi setimpal harus diberikan kepada RM, agar peristiwa seperti itu tidak terulang lagi. Menurut update berita dia sudah dipindahkan ke sekolah lain, tapi mungkin hal tersebut tidak cukup. Skorsing tidak boleh mengajar bisa dijadikan salah satu pilihannya.

Kekerasan di dalam instutusi pendidikan harus menjadi perhatian serius oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, karena hal ini terus berulang dari waktu ke waktu. Masih lekat dalam ingatan kita tentunya penganiyaan guru di Madura oleh seorang murid yang menyebabkan sang guru meninggal. Noda-noda seperti itu sudah seharusnya dibersihkan dari sistem pendidikan nasional.

Kemendikbud sudah seharusnya membuat kode etika hubungan guru, murid, dan orangtua dalam lingkungan sekolah. Dalam kode etik tersebut disebutkan bahwa tidak boleh ada tindakan hukuman kekerasan, baik fisik, mental, maupun verbal. Bila guru sudah kewalahan dengan perilaku siswa, sebaiknya guru tidak melakukan hukuman kekerasan, tapi si anak didik dikembalikan kepada orangtua sebagai evaluasi. Pendidikan anak bagaimanapun bukan hanya tanggung jawab guru dan sekolah. Tanggung jawab utama tetap ada pada orangtua. 

Semoga kejadian di Cempedak Lobang ini menjadi pelajaran penting bagi semua pihak. Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah dan memberikan manfaat. Kekerasan hanya akan menyambung rantai kekerasan yang lain dan akan terus berlanjut. Sudah saatnya kekerasan dihentikan dari dunia pendidikan untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.

Tabik. Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun