Suasana tepi hutan Wana hari ini tidak seperti hari-hari sebelumnya. Ayam jago mondar-mandir gelisah. Rasanya malam ini jauh lebih panjang dari malam kemarin. Burung hantu telah lelah terjaga terus menerus. Kelelawar ingin beristirahat setelah semalam suntuk mencari buah-buahan. Bulan mulai menguap, wajahnya tidak sesegar dan seceria seperti saat dia baru muncul.
Ke mana matahari? Olala....ternyata matahari bersembunyi dibalik awan kelam. Awan membujuk matahari untuk menampakkan diri, namun matahari tetap bersikeras dengan keinginannya. “Hari ini aku ingin tidur,” ujar matahari.
Matahari tetap tidak mau menampakkan batang hidungnya meski semua sibuk membangunkannya. “Ayo jago, berkokoklah terus, siapa tahu nanti matahari akan keluar mendengar suaramu “ kata burung hantu. “ Aku ingin istirahat, Jago. Dan kalau matahari tak mau keluar aku akan susah tidur. “
Ayam jagopun berkokok dengan nyaringnya. Menyanyikan lagu alam kesukaannya. Biasanya bila ia berkokok, semua penghuni hutan ini akan terbangun dan menyambutnya gembira. Senyum semangat pagi selalu muncul sebagai sapaan satu sama lain. Semua bergembira menyambut hari baru. Tapi tidak kali ini. Suara ayam jago lama kelamaan mulai serak.
“Sepertinya, aku tidak bisa membangunkannya burung hantu. Aku menyerah,” kata ayam jago memelas.
“Bagaimana ini? Bila matahari tidak terbit, aku tidak bisa menjemur padi, bila padiku tidak dijemur hingga kering tak mungkin aku akan menumbuknya. Keluargaku akan makan apa nanti?” Pak Tani mengeluh dan bertanya entah pada siapa karena semua orang juga tidak punya jawaban.
Pak Tani, burung hantu, kelelawar, ayam jago dan semua penghuni tepi hutan Wana termenung, memikirkan cara untuk membangunkan matahari.
“ Ahaaa...aku tahu...bagaimana bila kita bersama-sama membangunkan matahari?” kata Pak Tani penuh semangat.
“Bagaimana caranya?” tanya burung hantu penuh harap.
“Begini, kita bangunkan bersama-sama. Istriku akan kusuruh memukul lesung. Kamu, Jago, berkoteklah semerdu mungkin. Yang lain panggil matahari bersamaan. Bagaimana?” kata Pak Tani.
“Ya. Aku setuju. Tidak ada salahnya kita coba,”kata burung hantu.
Maka semua sibuk mempersiapkan diri. Seluruh penghuni tepi hutan berkumpul. Semua hendak membangunkan matahari.
Dengan aba-aba Pak Tani, mulailah mereka membentuk paduan suara dengan iringan suaralesung bu tani, kotek ayam jago, dan tukang kayu yang memukul peralatannya. Sebuah paduan suara yang indah.
Akan tetapi, di mana matahari? Bahkan ketika semua penghuni tepi hutan Wana sudah kompak, matahari tetap tidak mau terbit. Setelah sekian lama, kelompok paduan suara inipun menyerah. Mereka terduduk lesu. Diam membisu. Tak tahu lagi apa yang harus diperbuat.
Akhirnya, Pak Tani meminta tolong awan. “Awan, tolonglah kami. Bujuk matahari supaya mau keluar, mau terbit menyinari kami lagi. Kami sudah tidak tahan. Cahaya bulan saja tak cukup bagi kami.”
“ Ya Pak. Akan aku usahakan,” jawab awan.
Kemudian awan bertanya pada matahari, “Matahari, kenapa kamu tidak mau muncul? Apa kamu tidak kasihan melihat mereka. Mereka semua membutuhkanmu.”
Matahari hanya menggeliat malas. “Nantilah Awan, aku masih malas. Aku masih ingin tiduran. Bersantai kan tak ada salahnya.”
“O, jadi karena itu kamu tidak mau keluar? Kamu ingin bersantai? Tapi Matahari, kita memiliki kewajiban sendiri-sendiri. Tak mungkin kita menghindar dari tugas yang sudah digariskan, karena akan mengganggu yang lain. Lihatlah kelelawar, lihatlah burung hantu, lihatlah bulan. Mereka capai. Lalu Pak Tani. Ia membutuhkanmu agar bisa bekerja, matahari,” ujar awan dengan sabar.
Matahari menggeliat malas. “ Benarkah begitu? “
“Ya. Tentu saja. Ayo cepat bangun.”
“Tapi awan, kalau aku terbit, mereka pada akhirnya hanya akan mengeluhkan teriknya sinarku. Mereka selalu berkata, kenapa matahari bersinar terik sekali, atau berkata sungguh panasnya hari ini. Semua menyalahkanku.”
Awan kaget mendengar matahari mengeluh seperti itu. Dia tidak menyangka ternyata matahari merasa demikian.
“Awan, aku tidak mau keluar karena makhluk di bumi selalu menyalahkan terikku. Tapi tahukah kau awan, bahwa sebenarnya terikku yang sungguh terasa menyengat akhir-akhir ini juga akibat perbuatan mereka. Lihatlah di bawah sana, hutan gundul tak ditanami lagi. Gedung pencakar langit banyak berdiri di sana-sini. Mesin-mesin menjulang tinggi mengeluarkan panas yang luar biasa. Awan, kalau mau ditelusuri, panas akhir-akhir ini karena pemanasan global adalah akibat ulah mereka,” protes Matahari
Awan terpekur. “Baiklah Matahari. Aku paham maksudmu. Tapi kalau hanya karena itu kamu tidak mau keluar, bagaimana dengan mereka?”
“Tidak awan, aku akan disini dulu sementara. Biarkan mereka berfikir bila aku tak ada seperti apa rasanya. Sebenarnya kita semua sama, sama-sama hanya menjalankan tugas. Mestinya kita bisa memahami satu sama lain. Karena itu ijinkan aku di sini dulu. Aku yakin lama-kelamaan mereka akan mengerti.” Matahari kembali melanjutkan tidurnya.
Awanpun menyampaikan apa yang ia bicarakan dengan Matahari. Semua penghuni tepi hutan Wana saling berpandangan. Terdengar gumam mereka tak jelas.
“Baiklah kalau begitu, akan kubuat generator besar agar bisa membuat listrik dengan kekuatan besar. Kalian semua tak perlu kuatir. Jago, kamu tak perlu repot-repot berteriak membangunkan matahari,” kata sang insinyur mantap.
“Bagaimana denganku?” tanya burung hantu. Aku hanya bisa tidur bila matahari muncul.”
“Jangan kuatir. Akan kubuat listrik seterang matahari. Kunyalakan saat waktu sudah pagi seperti kebiasaan matahari.” Insinyur memberikan janji yang membuat semua yang mendengar senang dan kembali ke rumah masing-masing.
Waktu berlalu, berhari-hari semenjak sang insinyur membuat alat besarnya yang menyala sepanjang hari. Burung hantu dan kelelawar kembali bisa tidur. Padi pak tani bisa kering. Semua terasa normal tanpa matahari.
Tapi, lihatlah bulan. Ia tak seceria biasanya. Saat ia muncul, adalah saat yang membuat semua terasa indah dan sejuk. Kenapa bulan tersenyum semu?
“Kawan, maafkan aku. Biasanya matahari memberiku sebagian sinarnya agar aku bisa menerangi malam. Tanpa matahari aku tak bisa melakukannya” jelas bulan saat ditanya Pak Tani.
Pak Tani terdiam mendengar jawaban bulan. Rasanya ia memang merindukan matahari. Pagi hari biasanya terasa hangat, dan ketika petang menjelang terasa angin sejuk mengantar matahari terbenam. Tapi sekarang? Hal itu tak dirasakannya. Ia hanya bisa merasakan perbedaan saat insinyur menyalakan dan mematikan generatornya. Tak ada rasa hangat dan sejuk yang berpindah.
“Maafkan aku matahari, jika selama ini kami membuat kesalahan besar mengolah alam ini,” sesal Pak Tani.
“ Maafkan aku juga matahari,” kata Tukang Kayu yang mendengar perkataan Pak tani. “Aku tak sempat menanam kembali hutan yang kutebang. Aku terlalu sibuk menghitung keuntungan yang kudapat dari menjual kayu. Aku tak pernah memikirkan bahwa pohon itu akan habis dan berakibat seperti ini. Maafkan aku matahari.”
Ayam jago yang melintas di dekat merekapun ikut terdiam. Ya, semenjak insinyur memasang generator itu, ia jarang berkokok di pagi hari. Hendak membangunkan siapa? Toh semua orang, hewan-hewan akan bangun sendiri mendengar gemuruh generator itu.
“Akupun merindukanmu, matahari,” kata ayam jago pada dirinya sendiri.
Awan yang mendengar tertegun. Matahari harus tahu akan hal ini. Ia memandang matahari.
“Matahari, kau dengar mereka? Bagaimanapun mereka tetap membutuhkanmu. Keberadaanmu dan manfaatmu tak dapat tergantikan yang lain. Keluarlah matahari. Pikirkan kepentingan makhluk lain.” Nasehat awan. Ia yakin matahari mendengarkan. Dan ia yakin matahari akan bertindak.
Matahari nampak berfikir. Tak lama kemudian, ia mulai tersenyum. “Ya awan, akupun sebenarnya merindukan terbit dan tenggelam. Aku sebenarnya kesepian bila tak melihat makhluk bumi beraktivitas. Baiklahawan,terima kasih atas saranmu.”
Kini semua penduduk bumi bergembira. Matahari terbit dengan hangat. Ayam jago berkotek, burung berkicau. Pak tani berangkat ke sawah dengan telanjang dada, menikmati hangatnya mentari pagi. Tukang kayu membawa bibit-bibit ke hutan, insinyur sibuk di laboratoriumnya mengerjakan proyek hemat energi. Ah, betapa bahagianya bila semua saling mengerti dan saling menjaga.
NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akunFiksiana Community
Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community ( https://www.facebook.com/groups/175201439229892/)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H