Naik pesawat terbang untuk pertama kalinya, baru dapat saya lakukan di saat usia sudah tidak muda lagi. Barangkali bagi teman-teman Kompasianer naik pesawat terbang sudah dilakukan saat usia masih belia, apalagi Kompasianer sekelas Pakde Kartono yang super narsis, super mobile, super ganteng dan super-super lainnya itu. Atau bagi nakmas Gatot Swandito yang jadi sohib Pakde Kartono.
Hari Sabtu, 22 Juni 2013, menorehkan sejarah dalam dunia penerbangan (boleh, kan, ikut-ikutan narsis, Pakde Kartono?), dengan catatan seorang petani ikan yang sudah tidak muda lagi naik pesawat terbang untuk pertama kalinya. Bagaimana tidak, sebagai petani ikan yang hanya memiliki beberapa kolam terpal ukuran 4 m x 8 m, tidak akan mungkin menyisihkan penghasilan yang tidak seberapa itu untuk merencanakan bepergian dengan naik pesawat terbang.
Tetapi, Allah SWT senantiasa punya rencana pada hamba-Nya. Saya diminta untuk mewakili salah satu instansi pemerintah mengikuti diklat di Jakarta, selama 10 hari. Dalam surat yang disampaikan kepada saya, pihak panitia akan menanggung seluruh biaya transportasi dan akomodasi peserta. Saya, oleh pimpinan instansi itu, disarankan untuk naik pesawat terbang. Saya bilang kalau belum pernah naik pesawat terbang, dan tidak tahu harus bagaimana nanti di bandara dan di pesawat. Akhirnya, setelah saya berkali-kali diyakinkan, saya menyetujui -- meski dengan perasaan bingung -- untuk naik pesawat terbang.
Sabtu pagi, masih dengan perasaan was-was, saya naik bis menuju bandara. Melihat begitu ramainya suasana di Bandara Adi Sucipto (mungkin karena sudah memasuki masa liburan sekolah), hati ini makin kebat-kebit tak karuan. Harus pergi ke loket mana ini untuk menukarkan tiket yang sudah dibooking hari Kamis, pikir saya.
Malu bertanya sesat di jalan, ujar pepatah. Saya kemudian bertanya pada tukang parkir soal loket mana yang harus didatangi. "Bapak masuk saja," ujar tukang parkir. Masuk ke sebelah mana, nih, pikir saya, sembari melangkahkan kaki masuk ke bangunan bandara.
Sesampai di dalam saya makin bingung, harus bertanya kepada siapa lagi, sebab tidak terlihat petugas berseragam untuk tempat bertanya. Keramaian orang banyak, agaknya penumpang semua. Mau bertanya kepada mereka, terselip rasa malu dan tidak ingin kelihatan ndeso. Saya lantas mencoba mengamati situasi di sana beberapa saat, sambil mata ini jelalatan memeloti semua tulisan yang ada dan setiap kerumunan orang.
Eureka! Hati saya bersorak ketika melihat antrian orang menyerahkan kertas kepada petugas berseragam. Lantas saya mendekati antrian itu. Untuk meyakinkan bahwa saya harus lewat tempat itu, saya sempatkan bertanya pada petugas berseragam tersebut. Saya kemudian masuk, setelah melalui pemeriksaan barang. Singkat kata, kejadian di halaman bandara terulang di dalam, seperti untuk mendapatkan boarding pass, dan masuk ke ruang tunggu. Mengamati dan bertanya.
Akhirnya, setelah mengalami delay selama 30 menit, saya masuk ke dalam pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan J 559. Di dalam pesawat, saya sempat kebingungan juga saat akan mengenakan sabuk pengaman. Saya memasangnya seperti saat memakai ikat pinggang, ndak tahu itu benar atau salah, yang penting sudah saya kenakan. Untuk menutupi rasa malu seandainya salah dalam memakai sabuk pengaman, apalagi saya diapit oleh 2 perempuan cantik yang duduk di kursi 10 A dan 10 C, kedua tangan ini saya gunakan untuk menutupi sabuk itu.
Rupanya, selesainya urusan sabuk pengaman tersebut, belum menghapus rasa was-was hatiku. Hati dan pikiranku tidak tenang saat melihat banyak penumpang yang menempatkan kopornya di kabin pesawat, bukan di bagasi. Dalam pikiran ini muncul kekhawatiran bagaimana dan dimana, ya, nanti mengambil koporku. Kenapa, ya, tadi koporku juga tidak aku bawa saja, dan masih banyak lagi pertanyaan yang bersumber dari kekhawatiran.
Selama penerbangan yang saya rasakan seperti naik bus saja, bahkan deru suara pesawat juga terdengar di dalam pesawat. Celakanya, selama 1 jam perjalanan tersebut saya betul-betul kedinginan. Saya yang hanya mengenakan kaos, tidak memakai jaket, harus menanggung rasa dingin yang luar biasa. Tidak terlintas sama sekali dalam bayangan saya, saat packing pakaian, bahwa dalam pesawat terbang juga menggunakan AC. Saya juga tidak cukup memiliki keberanian ngotak-atik tombol AC, seperti yang dilakukan 3 anak usia SD yang duduk 2 kursi di depan saya. Akibatnya, kedua tangan yang tadi berfungsi menutupi sabuk pengaman, berubah posisi menjadi bersedekap menahan dingin.
Setiba di Bandara Soekarno Hatta, saya bertanya pada kru pesawat, dimana bisa mengambil barang yang ada di bagasi. Sambil mengikuti penumpang yang menuju lorong keluar bandara, tanda anak panah dengan tulisan bagasi menjadi titik pusat perhatian. Sesampai di tempat bagasi, saya mengamati barang bawaan penumpang yang berjalan di atas "rel" satu persatu. Akhirnya, ketemu juga kopor pakaianku dengan stiker kelompok pembudidaya ikan tersebut.
Tanpa menawar harga taxi, saya meninggalkan bandara menuju lokasi kegiatan. Nota/kwitansi biaya taxi sebesar Rp. 280.000, tiket pesawat dan boarding pass-nya, saat ini sudah saya serahkan kepada panitia untuk diganti saat selesai acara pada tanggal 1 Juli.
Sungguh, inilah pengalaman pertama saya naik pesawat terbang, suatu hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumya. Bagi saya pengalaman ini sangat luar biasa, dan saya semakin yakin bahwa hanya Allah SWT saja lah yang memiliki semua rencana detil bagi hamba-hambaNya. Dan, sampai saat ini saya masih terus memohon kemurahan dan kemanjaanNya untuk diperkenankan melaksanakan ibadah haji, suatu hal yang hampir mustahil bagi saya (sampai saat ini saya masih belum punya biaya untuk mendaftar jadi calon jamaah haji). Semoga kita semua senantiasa dalam naungan kemurahan dan kemanjaan Allah SWT. Allahu a'lam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H