Perhelatan hajat demokrasi 5 (lima) tahunan, khususnya sejak era reformasi menyisakan beberapa fenomena menarik untuk dicermati. Para pengamat politik menyajikan data dan fakta hasil pengamatannya mengenai hal tersebut, mulai dari maraknya politik dinasti, kanibalisasi antarcaleg, tidak munculnya regenerasi kepemimpinan yang diistilahkan 4 L (lu lagi lu lagi), money politics yang semakin massif, hingga tingginya angka golput dan munculnya sikap apatisme masyarakat dalam proses demokrasi tersebut.
Munculnya sikap apatisme masyarakat dalam proses demokrasi tidak terlepas dari faktor perilaku partai politik, pejabat pemerintah dan anggota legislatif yang tidak bisa amanah dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Kepentingan pragmatis kekuasaan lebih mengemuka dibandingkan dengan kepentingan untuk meningkatkan harkat dan martabat rakyat. Dominannya kepentingan pragmatis kekuasaan ini mengakibatkan tumbuh suburnya krisis kepercayaan masyarakat terhadap institusi politik dan para pelaku politik, bahkan dengan demokrasi itu sendiri.
Posisi rakyat dalam setiap proses demokrasi (baca: pemilu) seringkali menjadi subordinat partai politik dan pelaku politik. Rakyat tidak memiliki daya tawar yang cukup ketika berhadapan dengan partai politik dan pelaku politik. Janji-janji manis kampanye bagi kehidupan rakyat selama lima tahun ke depan, justru semakin membuat rakyat tidak berdaya. Ketidakberdayaan rakyat ini terjadi karena rakyat tidak dapat menagih janji-janji manis saat kampanye kepada partai politik dan pelaku politik tersebut. Akhirnya, rakyat juga bersikap pragmatis dalam setiap hajatan demokrasi lima tahunan itu, yakni (1) sangat menikmati money politics, (2) bersikap apatis, masa bodoh, tidak mau tahu atau mbuh ra weruh, ra melu-melu.
Barangkali kekecewaan pada proses demokrasi itu merata di seluruh bagian negeri ini. Tidak terkecuali di tempatku, Kabupaten Kulon Progo, kabupaten paling barat DIY. Di Kulon Progo, yang beribukota Wates/kota kecil yang sudah sepi saat malam menunjukkan jam 20.00 WIB, kekecewaan tersebut juga terjadi. Menariknya, sebagian masyarakat yang kecewa ini melampiaskan kekecewaannya dengan membentuk sebuah komunitas untuk saling berbagi dan ngobrol-ngobrol. Mereka menyebut dirinya sebagai BARISAN RAKYAT KULINO (terbiasa) DIAPUSI (dibohongi), atau yang beken dengan nama BARAKUDA.
Pasukan BARAKUDA ini memang bukan sebuah organisasi yang ada struktur maupun perangkat-perangkat organisasi lainnya. Komunitas ini sifatnya cair, tidak ada ikatan dan siapapun boleh dan bisa menjadi anggota maupun keluar dari komunitas. Meski tidak ada ikatan dan cair, pasukan BARAKUDA ini memiliki jaringan yang luar biasa kuatnya di 12 kecamatan yang ada di Kulon Progo. Dalam bincang-bincang dengan orang yang dianggap tokoh oleh komunitas itu mengklaim di setiap daerah pemilihan untuk DPRD II, pasukan BARAKUDA mempunyai kekuatan yang cukup untuk mendudukkan calon anggota legislatif menjadi anggota legislatif. Padahal untuk DPRD II di lima daerah pemilihan yang ada di Kulon Progo, BPP rata-rata harga satu kursi (pada Pemilu 2009) berkisar antara 6 ribu sampai 7 ribu suara. Dengan modal suara ini maka juga dapat mendudukkan caleg untuk duduk di DPRD I.
Jika yang diklaim tersebut benar, maka betapa luarbiasanya kekuatan pasukan BARAKUDA ini. Bisa jadi lebih hebat dibandingkan dengan kekuatan partai politik yang ada. Perlu diketahui di DPRD Kulon Progo yang memperoleh kursi di setiap daerah pemilihan hanya PAN (pemenang pemilu di Kulon Progo), PDIP, Golkar, PKB, dan Demokrat. Sedangkan partai yang lain, seperti PKS (4 kursi), Gerindra, PKPB, PDK, PPP, Â hanya 1 kursi.
Saya membayangkan jika di seluruh wilayah Indonesia muncul pasukan-pasukan BARAKUDA ini maka posisi rakyat yang selalu lemah dan tidak berdaya saat berhadapan dengan kekuatan politik, akan menemukan momentum titik baliknya. Kekuatan-kekuatan politik yang selama ini mengangkangi kekuasaan dengan obral janji akan berbalik menjadi tidak berdaya. Dan, pada akhirnya, mau tidak mau kekuatan-kekuatan politik tersebut akan memenuhi janji-janji kampanyenya sekaligus selalu mementingkan kepentingan rakyat, diatas kepentingan pribagi dan partai politik.
Sebagai penduduk (asli) Kulon Progo saya tentu akan sangat bangga jika ide pasukan BARAKUDA ini diadopsi oleh masyarakat di seluruh Indonesia. Sebab seperti kampanye Bupati Kulon Progo, dr Hasto Wardoyo, Sp.Og (k), dengan gerakan untuk "bela dan beli produk Kulon Progo" Â sudah dilakukan. Allahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H