Adanya perbedaan perspektif soal politik baik secara praksis maupun substantif merupakan fenomena keseharian yang selalu kita alami. Selama ini, pemahaman soal politik di Indonesia dibentuk oleh berbagai sumber dan media yang berusaha membangun pengertian politik sebatas pada kekuasaan dan elit. Pertujukkan perbedaan pendapat dan pertarungan kepentingan merupakan suguhan yang disajikan melalui berbagai media baik cetak maupun digital, sehingga tidak salah saat kebanyakan masyarakat membangun pemahamannya soal politik terkait dengan kebencian, kepentingan, korupsi dan kekuasaan, yang berujung sikap apatis terhadap politik. Namun, apakah itu yang dimaksud dengan politik sesungguhnya?
Pertanyaan ini menjadi refleksi kita bersama untuk kembali mempertanyakan ulang soal pemahaman kita tentang politik, sebab seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa pemahaman kita baik sadar maupun tidak sadar soal politik adalah proses pembentukan yang dilakukan oleh berbagai sumber---individu, kelompok, instutusi---yang berusaha mendefinsikan tentang politik.
Berdasarkan sejarahnya, kata politik berasal dari Bahasa Yunani politika yang berarti urusan masyarakat. Namun, terdapat berbagai sumber lain yang beargumen bahwa kata politik berasal bahasa Yunani polis, yang berarti kota. Hal ini memberikan kita gambaran, bahwa sumber kata politik sendiri memiliki berbagai versi, sehingga tidak ada kata tunggal yang pasti untuk mengurai akar politik itu sendiri. Selain itu, arti kata politik dari berbagai bahasa dunia juga memiliki beragam penafsiran. Dalam Bahasa Inggris, politics berarti aktivistas pemerintahan, sedangkan dalam Bahasa Arab---siyasah---yang berarti siasat, dam KBBI sendiri mengartikan politik sebagai pengetahuan tentang ketatanegaraan atau kenegaraan.
Uraian arti kata politik dari berbagai bahasa dunia di atas memberikan kita pemahaman adanya perbedaan perspektif dalam mengartikan kata politik yang bersumber dari berbagai pengalaman dan sejarah yang membentuknya. Pemahaman ini juga menjadi kesadaran kita bahwa dibalik setiap kata terdapat kekuasaan yang beroperasi untuk membangun arti dan definisinya. Oleh karenanya sering kita jumpai ungkapan bahwa "kata adalah senjata". Hal ini membuat refleksi bagi kita untuk berhati-hati dengan kata serta memaknai setiap perjuangan sejak dari kata, sebab arena pertarungan tersebut dekat dengan kehidupan kita dan selalu berhubungan dalam realitas keseharian.
Dalam kehidupan sehari-hari, media kita juga selalu mewartakan kolom tentang politik, yang berisi soal "operasi tangkap tangan pejabat publik", "dinasati politik lokal", dll. Pada sisi lain, juga memberitakan tentang keberhasilan politisi dan partai politik tertentu dalam pilkada, dsb. Namun, berbagai catatan tersebut memberikan gambaran kepada masyarakat soal politik yang selalu berkelindan dengan kekuasaan dan kepentingan. Sehingga nalar masyarakat sering bermuara pada pernyataan "dari kawan menjadi lawan atau dari lawan menjadi kawan". Sedangkan, pada beberapa institusi pendidikan berusaha menggambarkan politik lekat dengan kehidupan masyarakat demokrasi sebagai gambaran ideal kondisi masyarakat "baik". Namun, permasalahaanya demokrasi sendiri juga masih mengalami perdebatan makna yang dibentuk oleh teknologi kekuasaan tertentu.
Berpijak pada hal tersebut, adanya upaya pelekatan arti kata politik pada aktor atau institusi tertentu, dimana pada akhirnya terdapat gambaran pemahaman politik yang selalu melekat dengan aktor dan institusi tersebut. Hal ini juga berlaku pada konsep kekuasaan, dimana selalu diidentikan dan dilekatkan pada pemimpin serta lembaga negara. Padahal, kekuasaan sendiri juga lekat pada setiap relasi keseharian kita saat berhubungan orang lain. Perlu kita sadari bersama, bahwa pemahaman demikian telah merasuk pada pikiran dan akal kita yang telah lama dibentuk dan selalu didoktrinkan melalui berbagai media dan institusi pembentuk.
Kata politik sendiri seringkali juga menjadi imbuhan berbagai kata lainnya, seperti politik agama, politik pendidikan, politik ekonomi, yang berusaha memberikan pemahaman politik secara agama, pendidikan, dan ekonomi. Tetapi, saat kata imbuhan tersebut diletakan dibelakang seperti, agama politik, pendidikan politik, dan ekonomi politik memberikan perbedaan rasa dan subtansi yang ada pada masing-masing aspek tersebut. Poin ini kembali menegaskan pada kita bersama, bahwa kata itu sendiri sejatihnya adalah simbol paling dekat untuk melihat beroperasi relasi kuasa yang selalu berkontestasi dalam setiap relasi kehidupan.
Harapan akan adanya partisipasi aktif politik warga negara, aktivasi politik kewargaan, dan pendidikan politik kaum muda merupakan ihktiar yang sering kita jumpai pada berbagai kegiatan dan program di Indonesia. Namun, perlu kita menyadari bersama bahwa terkadang makna politik itu sendiri telah diringkus oleh berbagai kekuasaan dominan dan hanya sebatas sampiran atau klaim, sehingga kekayaan arti kata politik sendiri berujung pada pemahaman tunggal seperti yang digambarkan selama ini.
Sebagain dari kita mungkin telah jengah dengan fenomena ini semua, harapan yang telah terbangun demi cita-cita kemuliaan manusia dan kemaslahatan bersama seringkali mengalami hambatan oleh berbagai kepentingan dan dominasi tertentu. Namun, kita dapat menumbuhkan spirit untuk tidak kenal lelah mengawal nilai-nilai kemanusiaan melalui berbagai negosiasi, relasi, dan lobi. Disinilah sejatihnya esensi dari politik itu hadir. Bahwa politik bukanlah definsisi tunggal atau klaim tertentu melainkan setiap relasi dan dinamika keseharian yang kita alami untuk mewujdukan landasan nilai-nilai kemanusiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H