Mohon tunggu...
Agung Kresna Bayu
Agung Kresna Bayu Mohon Tunggu... Konsultan - Alumni Fisipol UGM

Mengolah keseimbangan intelektual antara logika dan spiritual

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menjadi Indonesia bukan Memilikinya

15 Desember 2020   20:24 Diperbarui: 16 Desember 2020   21:42 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia adalah negara yang dapat dimaknai karena keberagamannya, baik keberagaman penduduk, budaya, adat, dll. Namun, dalam keberagaman itulah kita dapat memahami Indonesia. Tidak ada arti tunggal atau pun makna tunggal terkait Indonesia, sebab arti dan makna Indonesia diperoleh melalui proses berhubungan dalam keberagaman. Keberagaman adalah keniscayaan, kita tidak dapat menolaknya, yang dapat kita lakukan adalah mengolahnya. Mengolah keberagaman memang tidak semuda mengolah yang seragam. Namun, tidak mudah itulah yang justru memberikan nilai dan proses yang selalu berjalan tanpa henti serta spirit yang tidak kenal lelah.

Hal tersebut memberikan makna bahwa dalam kehidupan yang beragam, tidak ada satu hal yang menjadi penguasa dan lebih dominan dari yang lain. Karena hakikatnya beragam, kita harus menghormati dan menghargai perbedaan itu. Artinya, semuanya sama. Namun, dalam memgolah Indonesia, kita harus mencari apa yang sama sehingga dapat menjadi rantai pengikat perbedaan dan melampuinya. Tidak ada jawaban tunggal terkait hal ini, sebagian orang akan mengatakan pancasila, namun saat pancasila hanya dijadikan sebagai jargon, kita juga tidak akan mendapatkan nilai yang dikandungnya. Sebagian lain ada yang berupaya menjadikan identitas, baik itu agama, suku, ras, dan antar golongan sebagai rantainya. Namu gagal juga, karena bersifat rentan dan hanya mengingat yang sama, sedangkan yang beda tidak diikat.

Inilah titik mengapa kita harus mencari dan menggali rantai pengikat itu. Pancasila dapat menjadi rujukannya, namun pengikatnya adalah nilai yang ada di dalamnya, bukan pancasilanya. Nilai ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan adalah nilai-nilai dasar yang menjadi awal sekaligus akhir dari mengolah kebergaman di Ibu Pertiwi. Hal selanjutnya yang menjadi permasalahan adalah, nilai itu abstrak dan tidak berwujud, lantas bagaimana membumikan nilai yang bersifat abstrak itu? Kita harus sering mempraktikannya, tidak ada cara lain. Mempraktikan nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuaan, kerakyatan, dan keadilan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini yang dapat proses kita hidup menjadi Indonesia. Praktik tersebut dapat berwujud komunikasi dan kontak yang terus-menerus, baik dengan orang yang seragam maupun beragam. Ini penting agar kita memiliki cara pandang yang luas dan dapat menjadi Indonesia, tapi tidak mengharuskan orang lain menjadi Indonesia seperti kita. Karena kembali lagi, Indonesia adalah ruang yang terbangun dari keberagaman, tidak ada arti tunggal soal Indonesia, yang ada adalah proses perubahan terus-menerus untuk mempraktikan nilai-nilai yang melampaui keberagaman itu sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun