Mohon tunggu...
Agung Kresna Bayu
Agung Kresna Bayu Mohon Tunggu... Konsultan - Alumni Fisipol UGM

Mengolah keseimbangan intelektual antara logika dan spiritual

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pandemi dan Pendidikan

30 Mei 2020   04:46 Diperbarui: 30 Mei 2020   04:49 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Media Indonesia 

Satu hal lagi, bahwa semua ilmu pengetahuan itu penting tetapi terdapat dua ilmu pengetahuan yang seharusnya bisa mengantarkan kita untuk kembali pondasi dan dasar pendidikan, yaitu ilmu pengetahuan tentang sejarah dan bahasa.

Uraian tentang pengertian pendidikan di atas adalah renungan untuk kita kembali mengingat bahwa terdapat akar dalam pendidikan yang telah ditanam dan disemai oleh para penggali pendidikan nasional.

Hal ini penting untuk kita renungkan kembali sebelum membahas peran pendidikan di tengah wabah Covid 19, sebab akan menjadi pengantar untuk memahami hakikat pendidikan serta tidak sebatas melihat pendidikan dari fenomena sekolah dari rumah atau kegaduan tenaga pendidik dan orang tua dalam menyesuaikan diri dengan teknologi informasi.

Saat kita menggunakan nalar pendidikan dari UU Sisdiknas, maka terlihat jelas bahwa dasar mengartikan pendidikan adalah institusional, maka tidak heran akan banyak kita jumpai ungkapan selama pandemi ini seperti "sekolah libur tapi tetap bayar", "sekolah online yang sekolah orang tuanya", "sekolah online tugasnya banyak", dll. 

Hal tersebut terjadi karena nalar publik menekankan arti pendidikan dari institusinya, sehingga kurang afdol rasanya jika menempuh pendidikan tapi tidak pergi ke sekolah/institusi pendidikan lainnya. Padahal, saat kita kembali mengingat sejarah maka kita mendapatkan arti pendidikan sebagai pembudayaan budi manusia, yang menekankan pendidikan sebagai sebuah ekosistem menyeluruh untuk memberikan nilai perjuangan pada manusia.

Saat pandemi, kita menyadari bahwa akses pendidikan bukan sebatas bangunan sekolah melainkan gawai. Namun, kepemlikian gawai pun tidak akan berguna dalam proses pendidikan tanpa adanya akses internet. Hal ini patut kita catat bersama, bahwa selama ini wacana kesenjangan akses pendidikan sebatas dilihat dari jarak menuju institusi pendidikan.

Saat seperti ini, bagaimana dengan pendidikan anak-anak bangsa yang berada di wilayah dengan minim akses internet?, atau lebih dasar lagi tentang listrik?,

Telah lama bangsa ini menekankan pendidikan sebatas pada penilaian secara standar dan spesifik dengan aturan rigid dan sistematis sebagai penentu kualitas anak didiknya. Adanya wabah ini ,sejatihnya merupakan momentum bagi kita untuk berkaca kembali tentang kehidupan pendidikan kita sebelum adanya wabah ini, apakah kita mengingkan kembali tatanan pendidikan yang seperti itu?

Oleh karenanya, saat ini bukan waktunya untuk romantis dan merindukan kondisi "normal" sebelum adanya wabah, tetapi bagaimana kita berkaca dan menyusun ulang tatatan pendidikan setalah wabah ini berlalu. Ingat bahwa wabah ini juga mengajarkan kita bahwa hidup itu penuh dengan ketidpastian dan ketidak prekdisian, semua bersifat rentan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun