Mohon tunggu...
Agung Julipriohadi
Agung Julipriohadi Mohon Tunggu... -

Dokter Umum, VTP Surgeon, Clinic Medical Manager, Magister Administrasi Rumah Sakit

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Membidik Perilaku di Jaman B P J S

22 Juni 2014   22:27 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:48 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis melihat bahwa Program JKN yang di-Launching di awal tahun 2014 ini masih muda dan rapuh (karena masih banyak lubang yang belum tertutup). Meskipun, gagasan untuk memberlakukan Jaminan Kesehatan telah ada jauh-jauh tahun dengan adanya Undang-Undang RI Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Bisa dimaklumi, (semoga bisa, yaa... )

Macam-macam sistim pembiayaan kesehatan telah dilakukan di berbagai negara. Negara-negara lain yang juga pernah mengalami sistim ini pun berubah-ubah bentuk sistimnya seiring dengan waktu. Bahkan butuh waktu bertahun-tahun untuk menyesuaikan diri dari satu sistim pembayaran kesehatan ke sistim yang lainnya. Baik yang menggunakan pembayaran langsung, iuran berupa pajak sampai premi wajib (seperti yang dilakukan Indonesia sekarang), jaminan kesehatan dengan menyerahkan  sepenuhnya kepada pihak asuransi swasta, dan lain-lain.

Beda negara, beda pula kebijakan jaminan kesehatannya. Karena beda Budaya dan adat istiadat bangsanya, beda tingkat kemakmurannya, serta beda pula cara masyarakatnya berperilaku. Kebijakan ekonomi kesehatan tentunya ada sisi Keunggulan dan Kelemahannya.

Pertanyaannya, apakah negara-negara tersebut dapat mengatasi masalah kesehatan dengan kebijakan kesehatan mereka ? ternyata tidak juga.... ada yang sudah 15 tahun bagi negara  maju seperti Amerika Serikat untuk membangun, mencari cara, dan beradaptasi (karena berganti-ganti sistim pembiayaan kesehatan)... termasuk sistim seperti INA-CBGs yang sedang dipelajari perkembangannya di Indonesia.

Apakah mereka sukses atau tidak ? Beberapa negara gagal dan ganti sistem. Dan untuk Indonesia, sepertinya memang masih belum tepat waktu untuk menilainya. Kantong yang Jebol itu adalah salah satu sinyal untuk melakukan evaluasi dan perubahan.

Jadi, bagaimana ?

Kalau bicara "Sistim"-Jaminan Kesehatan", kita berbicara kepada sesuatu yang sangat kompleks. Sistim itu adalah sebuah rangkaian struktur yang saling berkaitan satu sama lain dalam tujuan-visi-misi yang telah ditentukan.

Penulis mengangkat tentang Sumber Daya Manusia. Karena sistim juga tidak terlepas dari Sumber Daya Manusia yang menjalani rangkaian tersebut. Dari tingkatan atas sampai tingkatan bawah, dari pembuat kebijakan hingga penerima kebijakan.

Beberapa hal yang muncul adalah :

1) apakah sdm tersebut mamahami arti dan arah tujuan JKN?

2) apakah sdm tersebut memliki kemampuan dalam menjalankan perannya ?

3) apakah sdm tersebut komitmen dengan tujuannya ?

4) apakah seluruh masyarakat (sebagai unsur utama) tahu apa arti dan pentingnya sehat ?

5) apakah masyarakat peduli dengan kesehatan ?

6) apakah unsur pembuat kebijakan komitmen dengan kebijakannya (pemantauan dan penegakkan hukuman bagi yang melanggar, kita ambil contoh kecil saja Perda tentang Rokok) ? Serius ?

7) apakah akses pelayanan kesehatan telah tersedia merata dan sesuai ?

Penulis sangat setuju sekali dengan tema mengenai Preventif dan Promotif sebagai solusi yang akan sangat strategis. Sampai saat ini seluruh dunia pun masih berproses. Dan sampai kapan pun, di manapun, kunci tujuan dari seluruh kebijakan ekonomi kesehatan antara lain keadilan mendapatkan pelayanan kesehatan, pemerataan fasilitas kesehatan, dan PERUBAHAN PERILAKU.

Ya Perilaku Pemerintahnya, ya perilaku pejabat pemerintahannya, ya perilaku badan penyelenggaranya, ya perilaku fasilitas kesehatannya, ya perilaku tenaga kesehatanya, ya perilaku masyarakatnya.

Okey, kenapa perilaku ?

Karena perilaku itu sama halnya budaya yang terbentuk karena ada rangsangan atau stimulus berulang dan menetap. Seperti warna yang melekat di setiap individu atau kelompok dengan keyakinan masing-masing akan kebenaran tindakan dan pola pikirnya. Perilaku ini lah yang menurut penulis menjadi fenomena menarik yang bermunculan secara masif ketika per tanggal 1 Januari 2014 ditetapkanlah sistim jaminan kesehatan nasional berlaku secara nasional (bahkan pergerakan perilaku terjadi jauh hari sebelum ketok palu pengesahan dilakukan).

WHO menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan seseorang berperilaku menjadi 4 alasan pokok: 1) Pengetahuan (terwujud dalam pemikiran dan perasaan), 2) persepsi, 3) sikap, 4) kepercayaan dan  penilaian terhadap objek. Faktor-faktor ini dapat dipengaruhi oleh pengalaman sendiri atau pun berasal dari pengalaman orang lain, dipengaruhi oleh resources yang ada, dan adat kebudayaan.

Menghubungkan dengan kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional, sesungguhnya perilaku bangsa Indonesia terkait kesehatan menjadi target utamanya. Berlandaskan aturan bahwa Kesehatan adalah hak seluruh rakyat Indonesia, maka kebijakan ini merupakan salah satu manuver pemerintah untuk memberikan hak yang sama kepada rakyat yang tidak mampu dan rakyat yang mampu. Sampai di sini tidak ada masalah. Tujuan mulia ya mesti didukung dengan sebaik-baiknya.

Dalam menjalankan kebijakan JKN, dibentuklah BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) melalui Undang-Undang RI No.24 tahun 2011 tentang BPJS, untuk mengelola uang urunan rakyat sekaligus melakukan kontrak kepada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat primer dan tingkat lanjutan. BPJS mengatur supaya kantong uang yang dipegangnya teralokasi dengan baik dan sesuai dengan ketentuan. Isu yang dikhawatirkan saat ini potensi kantong uang BPJS untuk mengalami kebocoran bahkan jebol menjadi trending topic masyarakat kesehatan dan ekonomi sekaligus fenomena yang penulis sendiri bisa memperkirakan.

Memotong isu kantong BPJS jebol, BPJS membagi penyaluran uangnya menjadi 2 macam yakni pembayaran fasilitas kesehatan primer dengan pembayaran kapitasi dan pembayaran fasilitas kesehatan lanjutan dengan pembayaran berdasarkan kelompok kasus (INA-CBGs). Pemerintah melalui BPJS “memaksa” masyarakat untuk wajib ikut serta menjadi peserta JKN dengan ketentuan iuran wajib bagi karyawan/pegawai/karyawan, pemilik usaha, TNI, POLRI, dan bantuan bagi rakyat miskin. Iuran inilah yang disalurkan kembali oleh BPJS ke fasilitas-fasilitas kesehatan dalam bentuk pelayanan kesehatan kepada para peserta JKN.

Perilaku menarik pun timbul di fasilitas kesehatan ketika uang tersebut disalurkan.

Perilaku yang timbul ketika tarif yang ditetapkan oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI No.69 tahun 2013 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan, lebih rendah dari tarif rumah sakit-rumah sakit swasta yang bekerja sama dengan BPJS dengan menggunakan INA-CBGs (stimulus 1) dan besaran kapitasi yang diterima oleh fasilitas kesehatan tingkat primer dinilai tidak sepadan dengan tarif yang berlaku di fasilitas tingkat primer (stimulus 2).

Stimulus 1 di rumah sakit bertujuan untuk meningkatkan efisiensi sehingga tidak perlu menggunakan obat-obatan, barang habis pakai, pemeriksaan yang memakan biaya, dan waktu rawat inap yang lama. Stimulus 1 ini ditangkap oleh rumah sakit yang kemudian memancing kreatifitas rumah sakit untuk berinovasi penghematan. Dampaknya untuk beberapa kasus kronis yang membutuhkan perawatan lama, di beberapa rumah sakit, pasien dipulangkan setelah 3 hari keluar dari ruang perawatan  karena biayanya tidak sepadan dengan biaya yang dibayarkan oleh BPJS dan masih banyak peserta JKN lain yang juga membutuhkan ruang perawatan.

Dengan berbekal obat efisiensi dan waktu pemulihan efisiensi, akhirnya 3 hari kemudian peserta tersebut harus antri kembali di rumah sakit untuk melanjutkan perawatannya. Dari perilaku cepat memulangkan pasien ini menyumbang lubang bocor di kantong BPJS. Belum lagi peserta JKN yang datang hanya untuk berobat yang seharusnya bisa ditangani di fasilitas kesehatan primer.

Rumah sakit mengatakan bahwa, untuk tindakan A dan B tidak boleh dijadikan dalam satu pengajuan klaim. Sehingga untuk kasus penyakit A, maka rumah sakit akan membuat beberapa kelompok tindakan / diagnosis supaya tarif riil yang dibuat oleh rumah sakit terpenuhi oleh jumlah akumulasi biaya klaim ke BPJS. Akan tetapi, pasienlah yang disuruh mondar-mandir keluar masuk rumah sakit. Perilaku seperti ini sudah terjadi di beberapa rumah sakit. Padahal, PASIEN SEHARUSNYA MENJADI UNSUR UTAMA YANG HARUS TERLINDUNGI.

Stimulus 2 (berdasarkan PMK NO.69 tahun 2013) di fasilitas kesehatan primer merangsang puskesmas dan klinik swasta membentuk perilaku “penghematan”. Uang yang disalurkan oleh bpjs kepada klinik-klinik swasta yang bekerja sama dengan bpjs dibayarkan setiap awal bulan sesuai jumlah peserta yang mendaftarkan dirinya untuk dilayani di klinik swasta tersebut.

Klinik yang “biasa-biasa” saja ditentukan besaran kapitasinya sebesar Rp.8.000 per kepala per bulan, sedangkan klinik yang “bagus” ditentukan besaran kapitasinya sebesar Rp.10.000 per kepala per bulan. Klinik yang bekerja sama dengan bpjs harus memutar otak bagaimana caranya agar uang yang dibayarkan di awal bulan tidak habis di tengah jalan untuk biaya obat, barang habis pakai, upah dokter jaga, gaji pegawai administrasi, gaji petugas farmasi, listrik, air, dan sewa tempat.

Perilaku yang timbul karena stimulus 2 di klinik adalah membatasi penggunaan obat yang harganya tidak murah, membatasi memberikan pelayanan yang sifatnya banyak menggunakan barang habis pakai, membatasi membuat janji kontrol dalam waktu dekat, menghindari kasus-kasus sulit, merujuk pasien-pasien yang membutuhkan obat jangka panjang, mengirim pasien-pasien untuk periksa laboratorium dan radiologi ke rumah sakit, membayar rendah tenaga dokter dan karyawan. Karena prinsip pembiayaan kapitasi di klinik adalah semakin besar dan sering pasien diberikan pelayanan, maka pendapatan klinik akan semakin berkurang.

Prinsip efisiensi kapitasi berlawanan dengan prinsip produktifitas pelayanan. Sementara, klinik dituntut untuk juga melakukan kegiatan yang promosi kesehatan dan pencegahan penyakit. Dalam perhitungan penulis, Klinik seperti ini hanya dapat “bertahan” apabila minimal ada 5000 kepala yang mendaftar kepesertaan di klinik tersebut (penulis mengasumsikan apabila klinik berada di Ibukota/kota-kota besar), sedangkan aturannya sekarang BPJS tidak boleh menentukan jumlah peserta ke klinik tertentu ( memberikan 0 pasien ).

Stimulus ke 2 ini mendidik dan menumbuhkan perilaku para dokter untuk membatasi kreatifitas dan keilmuan medisnya. Karena ketentuan klinik yang mengefisiensikan segala sesuatu, maka dokter yang berkompeten dan berilmu yang seharusnya mampu menangani dan merawat pasien dengan penyakit tertentu, justru rajin membuat surat rujukan ke rumah sakit.

Kemampuan para dokter klinik dan puskesmas dipagari oleh ketentuan tak tertulis, sehingga dalam jangka panjang akan menjadi budaya pengobatan di pelayanan tingkat primer. Rp.8.000 per kepala membuat klinik tidak mau merugi. Dengan demikian, kemampuan para dokter untuk mengobati penyakit hanya untuk kasus-kasus “murah”. Perilaku seperti ini sudah terjadi di beberapa tempat. Untuk tempat yang memiliki fasilitas Radiologi pun, pemeriksaan ini "tidak akan laku" karena efisiensi pihak fasilitas kesehatan otomatis utilitas radiologi menurun. Lebih baik mengirimkan pasien ke rumah sakit untuk pemeriksaan tersebut. LAGI-LAGI PASIEN HARUS MONDAR-MANDIR.

Karena aturan BPJS yang tidak boleh memberikan peserta, maka para pesertalah yang memilih di mana mereka ingin dilayani Stimulus ke 2 ini juga punya dampak perilaku lain, yakni para pemilik klinik akan saling bersaing memperebutkan jumlah peserta yang mendaftar di klinik mereka. Klinik akan dibuat berkilau, menarik perhatian, dan meyakinkan. Klinik yang berani dan menarik bagi para peserta, maka peserta akan menjadi lebih banyak memilih ke klinik tersebut. Sedangkan bagi klinik yang biasa-biasa saja, peserta yang terdaftar di klinik tersebut akan semakin merosot drastis apalagi letak kliniknya tidak strategis. Dampak ini terjadi pada klinik Jamsostek yang sebelum diberlakukan aturan BPJS jumlah pesertanya 5000-an kepala, sekarang tinggal 1000-an. Ibaratnya seperti menjaga lilin supaya angin tidak memadamkan api yang bergoyang.

Secara tidak sadar, sementara semua orang sibuk membicarakan sisi kuratif dan rehabilitatif, sisi promotif dan preventif jauh terlupakan. Dari semua aspek, sasaran kebijakan kesehatan tidak lain adalah mengubah perilaku masyakarat agar tidak sakit. Sehingga, motivasi kunjungan ke klinik, dan puskesmas karena ingin menjaga kesehatannya dan ingin mendapatkan informasi yang profesional mengenai penyakit dan menjaga kesehatan, mengelola gizi, imunisasi, kesegaran dan kebugaran jasmani, dan motivasi-motivasi lain, tidak ada. Kalau pun ada, masyarakat malas mengantri di antara pasien yang berobat dan dokter tidak punya waktu untuk menjelaskan dengan lengkap.

Akan tetapi, pembuat kebijakan pun secara tidak sadar lemah komitmen atas kebijakan yang dibuatnya sendiri. Peraturan tentang rokok dan hukumannya, seberapa sering kita mendengar masyarakat didenda karena merokok di area bebas rokok?

Seberapa sering kita mendengar seorang perokok didenda cukup besar karena dituntut orang lain yang tersakiti oleh asap rokoknya ?

Lebih sering muncul Iklan Produk Rokok atau Iklan untuk berhenti Merokok / menjauhi Rokok ?

Artinya, perilaku di pembuat kebijakan sendiri belum sepakat untuk serius menjaga kesehatan. (“menjaga” adalah usaha untuk mencegah, bukan mengobati).

Sekarang calon presiden banyak mengumbar janji dan mengajukan hutang kepada masyarakat tentang kesehatan dan berobat gratis.

Apakah mereka berjanji akan melindungi kesehatan masyarakat dengan mengedepankan program promotif dan preventif di segala bidang ?

Apakah calon presiden yang dibilang dapat diandalkan karena ketegasannya dalam melindungi harta negara dari korupsi juga bisa tegas dalam melindungi kesehatan masyarakat dari perilaku tidak sehat ?

Kita lihat saja... Apakah Jaman Berobat Gratis merupakan Politisasi Kesehatan atau Indonesia memang sedang serius membangkitkan Kualitas Manusia Indonesia yang Produktif, Berkualitas, Mapan, dan Sejahtera ?

Semoga Pemerintah serius dalam perbaikan kualitas manusia karena tahun depan ( 2015 ), Indonesia akan menghadapi pembukaan gerbang bagi luar negeri untuk masuk ke Indonesia. Fenomena SDM yang ada sekarang, Manusia Indonesia di-downgrade oleh Negara Lain. Lulusan S1 Keperawatan menjadi D3 Keperawatan, dan lulusan D3 menjadi babysitter. Jangan-jangan, tahun depan dengan diberlakukannya  Era Free Trade Sumber Daya Manusia, justru Indonesia di-downgrade di Negaranya sendiri.

Di tahun pertama pemberlakuan Jaminan Kesehatan ini semua masih dalam evaluasi dan proses adaptasi. INA-CBGs yang dibilang tidak sesuai dengan tarif rumah sakit swasta ternyata memang para pembuat tarif INA-CBGs tidak memperoleh masukan dari para Rumah Sakit Swasta dalam penyusunannya.

Di akhir tulisan ini Penulis berharap :

-Rumah Sakit

melalui Perhimpunan Rumah Sakit (PERSI) secara transparan dapat memberikan hitungan tarif mereka agar INA-CBGs dapat dihitung kembali sehingga tarif nasional tidak merugikan para Rumah Sakit Swasta sendiri. Meskipun penulis tahu sulitnya untuk memaparkan dapur rumah tangga kepada instansi lain.

-Klinik-klinik swasta

selaku pintu pertama pelayanan kesehatan masyarakat juga memberikan layanan terbaiknya terutama dalam upaya pencegahan (promotif dan preventif). Karena SELURUH PESERTA MEMBAYAR PREMI DAN BUKAN GRATISAN, maka layanilah dengan baik. Perkembangan dan evaluasi mengenai, keberhasilan, keterbatasan dan hambatan juga harus disampaikan kepada pembuat kebijakan melalui organisasi-organisasi terkait sesuai Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor HK/MENKES/31/I/2014 seperti Asosiasi Klinik Indonesia (ASKLIN) dan Perhimpunan Klinik dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Indonesia (PKFI)

-Pembuat Kebijakan

komitmen dengan kebijakan Kesehatan dan memperhatikan kualitas fasilitas kesehatan primernya. Banyak tempat yang tidak mendukung kebijakan JKN bukan karena mereka menolak, akan tetapi tempat mereka yang tidak mendukung pelayanan. Regulasinya jelas, Peraturan Menteri Kesehatan RI No.71 tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional. Bisa Komitmen ??

-Masyarakat

lebih cerdas dan pintar dalam merawat kesehatan. Karena Sakit itu Mahal dan Repot. Bangun pola pikir untuk Mencegah Lebih baik daripada Mengobati.

Semoga di awal Jaman Berobat Gratis ini, menjadi awal Perubahan Perilaku Kesehatan Indonesia menjadi lebih baik.

Salam, :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun