[caption id="attachment_267328" align="aligncenter" width="300" caption="POV_Devianart"][/caption] "Sesat?" Mataku tak mampu beralih dari bulatan hitam kornea matamu. Ada binar-binar kemarahan memancar di sana. Tidak biasanya aku melihat hal itu. Silang-kata, biasa menjadi penyedap persahabatan kita. Kamu dengan kacamata plus-mu dan aku dengan kacamata silinderku. "Kamu telah sesat pikir. Sudah jelas kalau hal itu salah, tidak sesuai tuntunan dan ajaran yang sama-sama kita anut, kenapa kamu tidak bersikap tegas untuk menolaknya?" serbuan tanyamu seperti muntahan peluru AK-47, tidak kenal ngadat, meski panas semakin menyengat. "Aku sesat pikir?" tanyaku kebingungan. Telunjuk kananku mengarah ke dada. Kacamata silinderku membuat aku memiliki sudut pandang lain. Sudut pandang yang jelas berbeda darimu. Di satu jarak, pandanganku agak sedikit kabur, tapi di jarak lain, aku bisa lebih terang memandang wujud asli obyek di depanku. "Ya!" "Mungkin aku sesat di matamu. Pun mungkin jalan yang aku lalui ini terlalu curam untukmu. Tapi apa kau tahu apa yang sedang aku lihat di sana, di balik masalah yang sedang kita nikmati saat ini?" Aku menghela nafas dalam-dalam. Perlahan kuhembus kembali udara yang tadi kuhirup. Dinginnya udara pagi, hadirkan embun di kacamataku. "Aku bisa saja bersikap frontal sepertimu saat ini. Tapi kamu tidak pernah tahu kenapa aku bersikap seperti ini. Kamu hanya melihat dari kacamatamu, dari kacamata orang-orang yang tidak pernah terlibat langsung dengan perjuanganku dan teman-teman di sini." sambungku. Baru seminggu kamu menginjakkan kaki disini, tidak tahu bagaimana perjuanganku membersihkan debu-debu yang mengotori kacamata mereka. Dan kini kau mengutukku sesat. "Perjuangan apa? Menumpuk harta? Seperti itu kan yang kamu lakukan saat ini?" potongmu dengan mata yang semakin menyala. "Andai terlibat di sini, kamu akan tahu bagaimana gairah warga saat lambaian tangan penuh persahabatan yang aku sodorkan, berbalas dengan senyum dan sapaan akrab. Aku ingin mengajarkan semua yang aku tahu dengan jalan hikmah, dengan senyum ketulusan, bukan dengan genggaman tangan yang menakutkan. AKu ingin mengikuti langkah damai saat Fathul Makkah, bukan langkah keras seperti saat penyerbuan padang Karbala. Karena itu akan semakin menguatkan telunjuk mereka ke arah kita. Kita bukan bar-bar, bukan pula teroris. Yang bar-bar dan teroris hanya segelintir orang yang salah memaknai suatu ayat dalam kitab suci kita." "Tapi sikapmu itu terkesan lemah, tidak berpendirian." "Tegas tidak harus keras. Apalah arti tegas tapi tidak mendatangkan kedamaian. Bukankan kita dicipta sebagai rahmatan lil alamin, bukan penyemai kebencian?" "Kamu lemah. Aku muak berteman dengan sosok lemah sepertimu." Kamu berdiri. Kasar tanganmu menarik tas yang tergeletak. Panggilanku tiada mampu hentikan langkah. Entah kenapa, setelah ini aku merasa tak akan lagi bertemu denganmu. Aku takut perselisihan ini akan mengakhiri persahabatan kita yang terjalin lama. Mimpi-mimpi untuk hidup bersamamu, sepertinya harus segera kusarikan lagi. Kacamata kita berbeda dan tak mungkin dikompromikan lagi. Denpasar, 17092013.0815 Agung Masopu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H