Mohon tunggu...
Agung Hariyadi
Agung Hariyadi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

www.agunghariyadi37.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tiga Lelaki, Satu kata, Demonstrasi

30 Juni 2013   01:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:14 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_252029" align="aligncenter" width="320" caption="http://setitimulya.blogspot.com/2012/03/demo-apa-katamu-tentang-demo.html"][/caption] 11 Maret 1966

Barikade mahasiswa semakin merapat. Iringan mobil menteri yang akan ikut rapat kabinet tidak lagi bisa bergerak. Maju ataupun mundur, jalan telah terkunci. Mahasiswa dengan penuh semangat mengepung, meneriakkan tiga tuntutan yang semakin akrab di telinga rakyat. Kibaran bendera di tangan beberapa mahasiswa, seperti tongkat kecil di tangan dirigen orchestra, menyemangati koor menuntut adanya perubahan. Spanduk kain dan kertas ikut menari, semarakkan demonstrasi yang telah berlangsung berhari-hari.

Di dalam mobil, menteri dan ajudannya kebingungan. Wajah pucat mereka semakin memutih, seperti mayat yang tidak lagi teraliri darah. Tarian dan paduan suara yang terdengar dari luar, ciutkan nyali. Tas kerja dan buku catatan tercengkeram erat di tangan, merapat di depan dada. Mereka semakin ketakutan, satu persatu ban mobil dikempesi demonstran. Belum lagi rasa terkejut berlalu, beberapa mahasiswa yang ada di kiri-kanan mulai menggoyang mobil. Seperti sebuah biduk di tengah badai, bergoyang menanti saat tenggelam.

“Hentikan!” bentak sang menteri yang tidak tahan dengan aksi demonstran. Dia berteriak sambil menurunkan kaca mobilnya. “Kami akan menghadiri rapat kabinet di istana!” lanjut lelaki itu dengan muka pucat yang masih terlihat.

“Bapak ingin ikut rapat? Silahkan jalan ke istana” jawab seorang demonstran yang ada di dekat sang menteri. Mahasiswa itu berkata sambil menggerakkan tangan mempersilahkan sang menteri berjalan. Dia membungkukkan badan seperti seorang matador yang memberi salam penghoramatan pada penonton, saat aksinya berhasil mengatasi keganasan banteng.

“Jalan…jalan…jalan…jalan…” teriakandemonstran membahana, menyambung kalimat yang baru saja disampaikan mahasiswa tadi.

Seperti suntikan anabolic-steroid, Chaidar El Usman, mahasiswa tegap berkulit coklat itu melanjutkan kalimat sebelumnya dengan tindakan. Tangan kanannya menekan handle pintu dan membukanya. Dengan suara yang sedikit ditinggikan, dia kembali meminta menteri dan ajudannya untuk turun dan berjalan kaki jika tetap berkeinginan mengikuti rapat kabinet. Dia tahu rapat kabinet sudah berlangsung sedari tadi. Menteri yang saat ini tertahan demonstran telah terlambat.

Sang menteri awalnya menolak perintah itu. Namun desakan dari mahasiswa membuat nyalinya semakin lumer. Setelah memandangi wajah ajudannya yang ketakutan, akhirnya dia keluar dari mobil dan berjalan kaki menuju istana. Setiap langkah yang terentang, siulan dan pekik tuntutan mahasiswa membahana. Jerih semakin menindih, semakin dekat ke istana, barisan mahasiswa semakin merapat, sementara pekik tuntutan semakin kuat mengudara, bersinergi dengan kibasan bendera yang menari.

_ _ _

Sehari setelah rapat kabinet yang berlangsung tidak sebagaimana mestinya, sebuah kabar gembira datang. Surat Perintah Sebelas Maret semalam ditandatangani Presiden Soekarno di Istana Bogor. Surat yang ditandatangani presiden di depan 3 jenderal itu menjadi landasan Soeharto untuk membubarkan PKI dan seluruh organisasi Underbownya. Tidak hanya membubarkan PKI, Soeharto dengan dukungan Angkatan Darat khususnya dari RPKAD segera menangkap sejumlah menteri yang diduga terlibat dengan organisasi itu.

Mahasiswa, rakyat dan tentara yang rindu adanya angin perubahan tersenyum bahagia. Supersemar dan ketegasan yang ditunjukkan Soeharto seperti oase di tengah gurun, menyejukkan dan memantik api harapan baru. Mereka bernyanyi dan menari. Jalan yang berhari-hari menjadi pentas demo berubah menjadi tempat pesta untuk meluapkan kemenangan demonstran atas asa yang terus mereka tebar.

$ $ $

Jakarta, Mei 1998

Dengan diawali kisah tragis terbunuhnya 4 orang rekannya, lelaki kurus berkaca mata minus itu memulai orasinya. Bertumpu pada dua kaki yang berpijak di undakan tertinggi teras gedung DPR-MPR, Syakir Usman berupaya membakar semangat demonstran yang mulai menyemut. Dia terus berorasi sambil menebar pandangan ke segala penjuru. Sesekali senyum sumringah memancar dari bibirnya, melihat banyak tokoh besar yang datang untuk mendukung gerakan mahasiswa melawan hegemoni kekuasan yang telah mengakar 32 tahun.

Tidak jauh dari tempat Syakir berorasi, Guruh Soekarno poetra, Hariman Siregar, Prof.Dr. Sri Soemantri, HJ Princen, Ny.Supeni dan beberapa tokoh lain berdiri satu barisan dengan demosntran. Setiap teriakan yang dilakukan oleh Syakir, disambut dengan yel-yel mahasiswa dan tokoh-tokoh yang hadir. Orasi berapi-api yang diucapkannya diakhiri dengan pekik membahana. Gemuruh masa menirukan pekik syakir membahana, memantulkan gaung yang kembali terdengar di telinga.

Semakin siang, suasana demo semakin ramai. Riuh suara mahasiswa yang menimpali kalimat orator terus membahana, memekakkan telinga yang mendengarkan. Beberapa mahasiswa berhasil memanjat atap gedung rakyat, memancing demonstran lain melakukan hal yang sama. Perlahan atap gedung wakil rakyat dipenuhi demonstran. Orator yang tadinya hanya berorasi dari atap mobil atau bus dan teras gedung dewan pun ikut memanjat. Dari sana, bersenjata megaphone, para orator mengabaikan panas yang membakar kulit, meneriakkan kalimat-kalimat penuh semangat.

Mendadak suasana demo menjadi senyap. Sebuah rilis berita yang disiarkan melaui TVRI dan RRI menghentikan semuanya. Pengumuman tidak terduga itu seperti air surga, menyiramkan kesejukan atas dahaga yang lama mereka nanti. Serentak demonstran saling peluk dengan orang yang ada di sampingnya. Beberapa melakukan sujud syukur. Di sudut lain, sambil berangkulan sekelompok mahasiswa menari dan bernyanyi sambil berputar.

“Hidup reformasi….” Pekik Syakir yang saat itu kembali memegang megaphone dengan tangan kiri. Tangan kanannya mengepalkan tinju ke udara.

“Hidup reformasi…..” gemuruh masa mengudara, menyusul suara Syakir.

“Hidup mahasiswa…….Hidup rakyat….” Kembali Syakir memekik.

Masa larut dalam euphoria. Mereka berjoged, bernyanyi dan berjingkrak-jingkak di atas tanah. Beberapa lainnya, tidak peduli dengan tanah dan rerumputan yang kotor, laksana orang yang baru terbebas dari himpitan jeruji penjara, ada yang tidur telentang ataupun terduduk dengan meraup dedaun yang terjatuh, memainkan dengan jemari.

@ @ @

21 Mei 2013

Setelah beberapa bulan rencana kenaikan harga BBM hanya sebatas wacana, hari ini rencana itu sedikit demi sedikit menunjukkan wujud aslinya. Paripurna DPR mengenai RAPBN-P 2013 telah berakhir semalam. Bunyi palu yang diketukkan 3 kali oleh Marzuki Alie selaku ketua DPR seakan menyambung dagelan baru dari gedung hijau Senayan. Putusan yang dibuat tak ubahnya seperti aksi anak-anak TK yang masih hijau saat memutuskan sesuatu, yang setuju berkumpul dengan yang setuju, yang kontra dengan kenaikan harga BBM berkumpul dengan yang kontra. Hanya segelintir anggota dewan yang memegang komitmen dan janjinya memperjuangkan nasib rakyat kecil, yang lainnya serupa paduan suara, mengiyakan amanat partai, bukan amanat rakyat yang semakin melarat. Vooting selalu jadi akhir sebuah musyawarah yang tidak lagi bermufakat.

Menyadari suara tidak lagi terwakili, jerit jelata tidak lagi mengundang iba, selain senjata menjadi pengumpul suara di masa-masa pemilu dan pemilukada, mahasiswa bergerak untuk bertindak. Serentak nurani terusik, menuntut keadilan yang hanya dogmatik. Walau tidak sebesar demonstrasi mahasiswa di tahun-tahun sebelumnya, nyali tidak pernah terkikis habis. Walau hanya segelintir, mereka bergerak menentang keputusan yang hanya menguntungkan kaum segelintir.

Pengumuman resmi kenaikan BBM baru akan dibaca beberapa jam lagi, tapi eskalasi demo mulai merambat. Setelah seharian hanya berkutat di dalam kampus, mematangkan rencana demo yang akan dilakukan, Abidzar El Usman dan teman-temannya bergerak keluar. Dengan megaphone di tangan kanan, ikat kepala merah melingkar di kepala, dia berjalan keluar gerbang kampus. Bibirnya terus berucap, membakar semangat teman-temannya yang mengikuti di belakang. Meski mentari semakin rebah ke ufuk, meski barikade polisi siaga tak jauh dari kampus, dia tetap bergerak diikuti ratusan teman-temannya. Mata yang berapi-api memantulkan sinar matahari yang semakin memerah. Suara yang semakin serak tak henti berteriak. Memancing mata untuk menoleh ke arahnya.

“Batalkan kenaikan BBM….” Pekik Abidzar. Dia terus berjalan ke kerumunan polisi yang berjaga.

“Batalkan kenaikan BBM….” Megaphone di tangan Abidzar terus meraung. Suara demonstran terus menimpali setiap kalimat yang dia ucapkan.

Polisi yang sedari tadi berjaga merapatkan barisan. Tameng-tameng yang sempat tergeletak di atas jalan, pentungan yang tadi sempat jadi tumpuan berdiri pengganti salah satu kaki yang lelah kini kembali tegak siaga di tangan kanan. Gagangnya tergenggam erat dan semakin erat dengan makin menyempitnya jarak pemisah antara polisi dan demonstran. Komandan yang bertugas segera berdiri di baris depan, mennghampiri Abidzar El Usman, koordinator demonstran untuk mencoba berunding dengan mereka.

“Berhenti!” perintah komandan yang bertugas saat jarak pemisah antara mahasiswa dan polisi tak lagi lebih dari 5 meter. Setiap kali dia hendak berkata, koor “huuuuu” menyambut kecap bibirnya. Berkali-kali dia mencoba menenangkan masa, tapi tidak juga berhasil. Kedua tangan yang terangkat meminta masa tenang, selalu bersambut kata “huuuuu”

Semakin lama suasana semakin memanas. Barikade polisi semakin merapat. Water canon yang sedari tadi berada di kejauhan, mendekat. Moncong-moncong pelontar gas air mata tersembul di antara pentungan kayu yang mengudara. Meski tidak menembakkan mimisnya, posisi seperti itu memancing emosi demonstran. Entah bagaimana bermula, tiba-tiba bongkahan kayu mengudara, menerjangbarikade polisi. Komandan yang masih berada di baris depan segera merunduk. Dia mundur dan bersembunyi di balik tameng-tameng yang semakin kuat digenggaman.

Bersama gelap yang mulai turun, lemparan batu semakin sering melintas, terbang dari kedua kubu yang berlawanan. Asap ban yang dibakar, memanaskan suasana yang tidak lagi kondusif. Awalnya hanya sesekali tembakan peringatan memecah udara, tapi semakin lama semakin sering bersama dengan makin seringnya lemparan batu dari demonstran. “Darr… darr..” pelontar gas air mata mulai menyalak. Memuntahkan isinya. Asap yang tersebar segera mengurai konsentrasi masa yang terpaksa mundur.

Sambil mundur, mahasiswa melemparkan apa saja. Pecahan pot, kayu ataupun batu menjadi balasan gas air mata. Beberapa mahasiswa kembali membakar ban. Asap hitam yang membumbung bersinergi dengan pekat yang merapat, mengganggu jarak pandang. Mereka terus mundur sambil memapah beberapa teman yang terluka kena lembaran ataupun pukulan polisi yang terus memburu.

_ _ _

Lelaki berambut putih itu hanya bisa memandang tubuh pemuda di depannya. Perban yang melilit kepala pemuda itu tebal sekali, nyaris menyembunyikan rambut hitamnya. Hanya sedikit rambut di ubun-ubun yang menyembul, memperlihatkan bentuknya yang ikal bergelombang.

“El….kakek tidak pernah melarangmu menyuarakan jeritan jelata. Kakek tidak melarangmu menantang barikade polisi. Kakek hanya menyayangkan kecerobohanmu.” Suaranya tertahan. Dua titik air mata mengambang dari kelopak matanya yang keriput, perlahan menggenang dan mengalir menuruni kulitnya yang keriput.

“Sejak raibnya pamanmu, Syakir Usman, hanya kamulah harapan kakek yang tersisa. Ayahmu, Judith El Usman pun hilang saat usiamu 5 tahun dan hingga kini tidak pernah ada kabarnya. Hanya kamulah penerus keluarga Usman yang tersisa. Tapi kini, luka ini……” kembali suaranya tertahan. Dia diam sejenak, sesenggukan menahan air mata yang terus berontak ingin dimuntahkan. “Kakek khawatir kamu tidak akan sama seperti dulu.”

“El… jika dulu kakek demo dengan didukung masyarakat, pun dengan yang dilakukan almarhum pamanmu, kini aku tidak melihat hal itu pada yang kamu lakukan. Dulu, saat kakek dikejar aparat, masyarakat sepakat menyembunyikan kakek dan teman-teman sejawat. Saat ada yang sekarat, masyarakat berlomba merawat. Saat pamanmu berdemo dan dikejar polisi, hal yang hampir sama terjadi, Masyarakat korbankan diri, sembunyikan penyambung jerit hati mereka. Tapi kini kamu tidak mendapatka apa yang kami dapat. Kamu demo sampaikan jerit jelata, tapi kamu belum memenangkan hati mereka, hingga mereka enggan menolong saat dirimu terluka.”

“El… ini bukan salahmu. Ada oknum-oknum yang hanya numpang nama. Ikut demo hanya setor wajah, agar dinilai sebagai pahlawan jelata, walau niatnya hanya demi tahta. El…aku yakin hatimu setulus paman dan ayahmu, hatimu pun sejujur almarhumah ibumu, tapi perjuangan tidak hanya bermodal itu. Perjuangan butuh lebih dari itu. Kamu harus jeli menangkap moment, kamu harus jeli menilai teman, agar ‘kesialan’ sepertimu ini tiada terulang. El…apapun keadaanmu, kakek tetap bangga. Darah kakek masih mengalir di nadimu. Teruskan itu, meski mungkin akan membawamu bersua ayah, ibu dan pamanmu.”

Chaidar El Usman berdiri. Berjalan ditemani tongkat tuanya, tertatih menuju ruang praktek dokter. Kalimat-kalimat tentang kemungkinan keadaan Abidzar di masa depan yang tadi disampaikan padanya masih mengganggu pikiran. Dia ingin mengetahui efek dari luka di kepala cucu satu-satunya itu.

_ _ _

Denpasar, 27062013-0358

Masopu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun