Mohon tunggu...
Agung Firstianto
Agung Firstianto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Postgraduate Universitas Mercu Buana

NIM: 55522110022 | Dosen: Prof. Dr. Apollo, M.Si., Ak. | Mata Kuliah: Pajak Internasional | Program Studi: Magister Akuntansi | Jurusan: Akuntansi Pajak | Fakultas: Ekonomi Bisnis | Universitas: Universitas Mercu Buana |

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Diskursus Fenomena Pajak Berganda Internasional dan Rendahnya Tax Ratio Indonesia

9 Oktober 2023   19:40 Diperbarui: 9 Oktober 2023   19:57 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pajak berganda | Sumber gambar: facebook.com/evasivetaxhavenmemes

Diskursus Fenomena Pajak Berganda Internasional dan Rendahnya Tax Ratio Indonesia

Pajak berganda internasional merupakan pemberlakuan pajak penghasilan yang dilakukan oleh dua atau lebih negara pada item penghasilan yang sama (termasuk capital gains) dari orang yang dikenai pajak yang sama untuk periode yang sama (Arnold, 2016). Definisi tersebut memberikan pemahaman secara kontekstual, bahwa pada dasarnya, pajak berganda internasional merupakan pemajakan yang dilakukan di dua yurisdiksi yang berbeda pada satu objek pajak yang sama. Pemajakan tersebut tentu bersifat tidak adil dan kontraproduktif, sehingga memberikan dampak negatif.

Untuk mengakomodasi dan menyelesaikan masalah ini, negara-negara beserta organisasi internasional membuat kerangka hukum dalam peraturan perpajakan internasional. Tujuan dari peraturan perpajakan internasional ini tentu untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum, mengingat pajak berganda memberikan implikasi negatif seperti meningkatkan beban keuangan, menurunkan tingkat investasi, dan menciptakan inefisiensi di dalam sistem perpajakan (Arnold, 2016).

Dalam praktiknya, jika suatu negara mengenakan (mengidentifikasi suatu objek sebagai objek pajak) pajak kepada penduduknya atas pendapatan yang bersumber dari seluruh dunia, sedangkan negara lain juga mengenakan pajak atas sebagian pendapatan tersebut dikarenakan pendapatan tersebut memang berasal dari negara tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pendapatan wajib pajak tersebut dikenakan pajak berganda. 

Diskursus fenomena pajak berganda internasional menjadi penting mengingat pengenaan pajak berganda memberikan implikasi negatif seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Oleh karena itu, diperlukan penyelesaian berupa perbaikan regulasi pajak berganda. Pemerintah Indonesia terus melakukan perbaikan-perbaikan peraturan perpajakan. Perbaikan peraturan perpajakan tersebut mencakup penjajakan kerja sama dengan negara - negara mitra dan memperbaiki regulasi lokal / undang - undang. 

Jika melihat output yang dihasilkan pemerintah dalam usahanya untuk menyelesaikan masalah perpajakan berganda internasional, terlihat bahwa Pemerintah Indonesia sudah memiliki perjanjian perpajakan dengan 71 negara mitra pajak. Perjanjian yang dibuat Pemerintah Indonesia dengan negara - negara mitra ini bersifat lex specialis, artinya, peraturan perpajakan berganda bersifat lebih khusus dengan mengesampingkan peraturan yang lebih umum. Apabila undang - undang Indonesia menyatakan bahwa pajak pada objek pajak "X" adalah 20%, sedangkan perjanjian perpajakan internasional menyatakan bahwa tarif pajak untuk objek pajak "X" adalah 0%, maka dengan asas lex specialis, tarif pajak 0% yang digunakan.

Secara substansi, pembahasan mengenai fenomena pengenaan pajak berganda internasional berhenti atau terselesaikan masalahnya ketika terdapat regulasi yang mengatur mengenai "pihak mana" yang berhak melakukan pemajakan atas objek pajak yang dimaksud. Namun, dengan adanya hal tersebut, menimbulkan fenomena masalah baru yaitu tidak dikenakannya pajak dimanapun atau double non - taxation. Jika diinterpretasikan, double non - taxation merujuk pada transaksi atau aktivitas ekonomi lainnya yang tidak dikenakan pajak di yurisdiksi manapun. Double non - taxation terjadi karena terdapat gap berupa perbedaan regulasi lokal antarnegara dan regulasi lokal tersebut disempurnakan dalam perjanjian perpajakan internasional. Perbedaan tersebut dimanfaatkan oleh wajib pajak untuk secara legal melakukan double non - taxation. Dengan agresivitas pajak serta perencanaan pajak yang "baik", wajib pajak dapat memanfaatkan double non - taxation untuk melakukan penghindaran pajak. Mengingat penghindaran pajak adalah hal yang bersifat destruktif dikarenakan mengurangi potensi penerimaan negara.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa penghindaran pajak bersifat destruktif karena mengurangi potensi penerimaan negara. Hal ini memberikan implikasi pada rendahnya tax ratio Indonesia. Secara kontekstual, tax ratio merupakan ukuran yang digunakan untuk mengukur dan mengevaluasi seberapa baik pemerintah untuk mengontrol sumber daya ekonomi negaranya. Tax ratio dihitung dengan membagi jumlah penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto suatu negara pada periode tertentu. Artinya, semakin tinggi tax ratio, maka semakin optimal penerimaan pajak digunakan untuk kepentingan publik, hal ini juga berlaku sebaliknya.

Dalam fenomenanya di Indonesia, rendahnya kemampuan Indonesia untuk mengoptimalisasi penerimaan pajak tercermin dari rendahnya tax ratio. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh World Bank, nilai tax ratio Indonesia secara rata - rata pada tahun 2014 sampai dengan 2020 hanya 10,01 persen. Adapun tax ratio tersebut tidak pernah menembus angka lebih dari 11 persen, dan bahkan tax ratio dari tahun 2014 hingga tahun 2020 memiliki tendensi atau tren menurun (World Bank, 2020). 

Rendahnya tax ratio di Indonesia tentu menggambarkan bahwa Indonesia memiliki kemampuan yang rendah dalam mengoptimalisasi penerimaaan pajak. Dengan kemampuan yang rendah dalam mengoptimalisasi penerimaan pajak, tentu hal ini berdampak pada berkurangnya kesejahteraan masyarakat secara umum. 

Untuk menanggulangi rendahnya tax ratio, tentu beragam perbaikan perlu dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Adapun hal yang dilakukan untuk meningkatkan tax ratio adalah dengan cara mengoptimalisasi penerimaan pajak yang berupa penyederhanaan administrasi perpajakan, mengevaluasi kebijakan yang menghasilkan biaya yang lebih besar daripada manfaatnya, meningkatkan partisipasi publik mengenai pentingnya pajak, mengevaluasi permasalahan pajak terkini seperti pemajakan digital, dan mengevaluasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap barang dan jasa yang memiliki signifikansi rendah pada penerimaan negara.

Daftar Pustaka

Arnold, Brian J. (2016). International Tax Primer 3rd Edition. Kluwer Law International BV. The Netherlands.

World Bank. (2020). Tax revenue (% of GDP) - Indonesia, OECD members. International Monetary Fund, Government Finance Statistics Yearbook and Data Files, and World Bank and OECD GDP Estimates.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun