Salah satu perencanaan pajak yang dapat dilakukan guna menikmati "fitur" double non - taxation adalah transfer pricing. Pembahasan mengenai transfer pricing akan dielaborasi lebih lanjut pada tema fenomena rendahnya tax ratio Indonesia di bawah. Kerugian dari lahirnya double non - taxation ini tentu terletak pada berkurangnya penerimaan pajak negara. Adapun implikasi praktis yang terjadi karena berkurangnya penerimaan pajak negara adalah berkurangnya nilai untuk membiayai penyediaan barang dan jasa publik  dan pembangunan - pembangunan kesejahteraan umum lainnya. Hal tersebut tentu bersifat destruktif terhadap pembangunan ekonomi nasional.
B. Fenomena Rendahnya Tax Ratio Indonesia
Pendapatan pajak didefinisikan sebagai pendapatan yang dipungut dari pajak atas penghasilan dan laba, iuran jaminan sosial, pajak yang dipungut atas barang dan jasa, pajak gaji, pajak atas kepemilikan dan pengalihan properti, dan pajak lainnya (OECD, 2023). Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (2022), diketahui bahwa jumlah realisasi penerimaan negara dari penerimaan pajak sebesar 78,99 persen. Adapun realisasi penerimaan negara dari penerimaan bukan pajak dan hibah adalah 20,97 persen dan 0,04 persen (Badan Pusat Statistik, 2022).Â
Dengan melihat besarnya persentase serta signifikansinya penerimaan pajak sebagai sumber utama penerimaan negara, tentu kualitas penerimaan pajak harus lebih ditingkatkan. Salah satu instrumen untuk mengukur seberapa efektif penerimaan pajak adalah dengan menghitung perbandingan antara penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB). Produk Domestik Bruto adalah jumlah nilai tambah yang didapatkan dari seluruh unit ekonomi akhir (barang dan jasa akhir) dalam suatu negara. Perhitungan matematis perbandingan antara penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto diistilahkan sebagai tax ratio.Â
Dalam konteks makroekonomi, tax ratio berperan penting sebagai indikator kondisi ekonomi, arah ekonomi, dan dampak kebijakan pemerintah dari waktu ke waktu (Zamani, 2020). Kondisi ekonomi menggambarkan bagaimana status ekonomi yang terjadi saat ini, sedangkan arah ekonomi menggambarkan proyeksi status ekonomi ke depannya.Â
Adapun dampak kebijakan pemerintah dari waktu ke waktu memberikan gambaran konvergens mengenai tinjauan secara historis dan proyeksi ke depan terhadap implikasi ekonomi yang dihasilkan. Berdasarkan kalkulasi matematis dari definisi tax ratio, terlihat bahwa tax ratio yang tinggi merepresentasikan dependensi yang tinggi pula pada aspek perpajakan dan keterlibatan lebih besar pemerintah dalam urusan publik.Â
Dengan demikian, tingginya tax ratio memberikan gambaran informasi bahwa penerimaan perpajakan bersifat optimal dan pemerintah menggunakan pajak secara baik demi kepentingan publik. Hal tersebut juga berlaku sebaliknya.Â
Apabila tax ratio rendah, maka hal ini merepresentasikan dependensi yang rendah pada aspek perpajakan dan keterlibatan pemerintah yang kecil dalam urusan publik. Implikasi dari rendahnya tax ratio adalah dapat memberikan alarm bahwa negara memiliki kekuatan struktur perpajakan yang rendah, kapasitas yang rendah untuk mengumpulkan pajak, dan masalah ekonomi lainnya yang mungkin timbul karena kedua poin sebelumnya. Ketika suatu negara memiliki rasio pajak yang stabil, pendapatan pajak meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi.Â
Penurunan tax ratio mengindikasikan bahwa pengumpulan pendapatan penerimaan pajak telah tertinggal di belakang pertumbuhan ekonomi (yang diukur menggunakan Produk Domestik Bruto). Tax ratio juga dapat digunakan untuk mengukur dan mengevaluasi seberapa baik pemerintah untuk mengontrol sumber daya ekonomi negaranya.Â
Dalam kasus atau fenomena di Indonesia, rendahnya kemampuan Indonesia untuk memaksimalkan pengumpulan penerimaan pajak tercermin dari rendahnya tax ratio Indonesia (World Bank, 2020). Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh World Bank pada tahun 2014 sampai dengan tahun 2020, diketahui tax ratio Indonesia selalu di bawah 11 persen, bahkan secara rata - rata hanya 10,01 persen.Â
Rendahnya nilai tersebut ditambah parah dengan tendensi yang terus menurun. Berdasarkan gambar, terlihat jelas bahwa tendensi dari tax ratio Indonesia justru memiliki tren yang cenderung menurun. Pada tahun 2014 hingga tahun 2017, diketahui tax ratio Indonesia turun sebesar -8,3 persen dari 10,8 menjadi hanya 9,9. Meskipun pada tahun 2018 nilai tax ratio Indonesia naik sebesar 3 persen  menjadi 10,2 pada tahun 2019, namun terus terjadi penurunan hingga tahun 2020. Berdasarkan kalkulasinya secara historis sejak tahun 2014 hingga tahun 2020, tax ratio Indonesia sudah turun sebesar -23,1 persen.Â
Rendahnya tax ratio dan penurunan yang signifikan pada tax ratio ini semakin terlihat buruk apabila dibandingkan dengan negara - negara OECD yang memiliki tax ratio selalu di atas 15 persen dalam rentang tahun tersebut. Berdasarkan data World Bank, terlihat bahwa tax ratio negara - negara anggota OECD berada dalam posisi yang sangat stabil. Kenaikan basis point hanya berkisar pada kurang lebih 0,5 saja. Hal ini menunjukan bahwa penerimaan perpajakan negara - negara OECD sudah mencapai titik optimalnya.