Mohon tunggu...
Agung Dwi
Agung Dwi Mohon Tunggu... Editor - When the night has come

Menulis - Menyunting - Mengunggah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kawanku Seorang Teroris

24 Agustus 2018   22:18 Diperbarui: 24 Agustus 2018   22:25 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kali pertama ia datang, sehabis hujan, tubuhnya kuyup. Badannya menggigil. Ada beberapa luka. Ia tidak bersuara, tapi sepertinya ia kehabisan suara dan air mata---air mata ini pun sudah tersamarkan oleh bekas air hujan, tapi aku tahu, ada bekas lelehan air mata di wajahnya.

Aku ke depan bersama ibuku. Permintaan itu pun meluncur dari mulutnya. Lirih dan berat. "Din, boleh aku menginap di tempatmu?"

Ibu langsung menggandeng tangannya. Memapah memasuki rumah. Jangan bayangkan rumahku besar. Rumahku sama seperti rumah kampung pada umumnya, kecil dan padat dengan perkakas. Tapi, untuk satu orang anak kecil, rumah ini masih punya ruang yang cukup. Disiapkan air hangat untuk mandi. Dan, Ibu menceplok dua telur mata sapi. Satu untukku dan satu untuknya.

Setelah Dul mandi, ibu meminjami bajuku. Beberapa luka pun diolesi obat. Ibu memintaku mengajak Dul makan bersama. Aku menuangkan nasi untuknya dan mengambilkan satu telur.

Kulihat raut mukanya. Kosong. Tak ada nafsu makan. Meski demikian, ia berusaha keras untuk memasukkan nasi demi nasi ke mulutnya. Aku memberinya air putih agar dia tak tersedak. Setelah itu, ia mulai pelan-pelan mengunyah nasi dan telur ceplok.

Ia tak bercerita apa pun. Ia hanya di kamarku. Meringkuk. Tubuhnya sesekali bergetar. Aku tak menanyakan apa yang sedang terjadi. Hening sekali. Hanya suara tik tok jam dan suara jangkrik. Sebelum tertidur, ia akhirnya mengecapkan beberapa patah kata. "Din, terima kasih," ujarnya.

***

SETELAH ITU, hari-harinya di sekolah semakin murung. Ia selalu menyendiri. Berkali-kali dia dirisak oleh kawan-kawannya, ia tak pernah membalas. Ia biarkan teman sekolahnya---yang juga temanku tentunya---memanggilnya dengan bedul, pantat bedul (omong-omong, bedul adalah kata kasar untuk babi), atau panggilan kasar lainnya. Namun, ketika ibunya dihina, ia langsung bereaksi. 

Pernah memukul salah seorang penghina ibunya hingga giginya lepas---maklum tubuhnya lumayan besar untuk anak kelas empat sekolah dasar, tidak seperti diriku yang masih kecil kurus. Orang tua anak itu marah-marah ke Dul, mengadu ke kepala sekolah. Orang tua Dul dipanggil ke sekolah. Dul diskors dua hari. Malamnya, Dul kembali tidur di tempatku dengan luka-luka yang hampir sama dan juga gigi yang tanggal, sama seperti anak yang ia pukul tadi.

Ia semakin pendiam, murung, dan penyendiri. Anehnya, meski kehidupannya semakin suram---aku baru tahu alasan kenapa dia menjadi seperti itu: ayahnya yang sangat kasar itu meninggalkan ibu, dia, dan adik perempuannya lalu menikah lagi dan lenyap begitu saja---nilainya seperti tak terpengaruh.

"Aku pingin pergi dari sini, Din," bisiknya sebelum kami tidur. "Seperti Neraka."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun