Mohon tunggu...
Agung Dinarjito
Agung Dinarjito Mohon Tunggu... Dosen - Seseorang yang suka menulis saja

Hobi belajar dan nonton film dan olahraga.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pieere-Felix Bourdieu dan Sistem Pengelolaan Sampah Modern

11 Desember 2022   11:40 Diperbarui: 11 Desember 2022   11:45 1211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Pierre-Felix Bourdieu dan Sistem Pengelolaan Sampah Modern

Tugas Akuntansi Manajemen Lanjutan

Nama              : Agung Dinarjito

NIM                : 5121231010

Dosen              : Prof. Dr. Apollo Daito, SE, Al, M.Si, CIFM, CIABV, CIABG

Kampus           : Universitas Pancasila

Jurusan            : Program Doktor Ilmu Ekonomi Konsentrasi Akuntansi

 

ABSTRAK

Permasalaha sampah terjadi di semua negara, termasuk di Indonesia yang terjadi di kota-kota besar. Sebagai bentuk perwujudan SDGs 12 dan 6, pengelolaan sampah yang berkesinambungan dan ramah lingkungan perlu dilakukan. 

Hal ini sesuai dengan tujuan untuk produksi barang dan jasa dapat dilakukan secara berkesinambungan dan penyediaan air bersih dan sanitasi juga dapat terwujud. Tulisan ini ingin menganalisis hubungan teori Pierre-Felix Bourdieu dalam kaitannya dengan perwujudan sistem pengelolaan sampah modern dalam hubungannya dengan Akuntansi Manajemen. 

Dalam kaitannya dengan akuntansi manajemen, perhitungan biaya untuk membuat dan mengoperasikan sistem pengelolaan sampah modern harus dapat ditutupi dari semua stakeholders yang terlibat. 

Selain itu, untuk mewujdukannya perlu adanya modal ekonomi, sosial, kultural, dan simbolik dari semua agen yang ada dalam sistem penngelolaan sampah modern. Fokus tulisan ini pada sistem pengelolaan sampah dengan menggunakan pembiayaan kerjasama Pemerntah dengan Badan Usaha (KPBU) yang dianalisis menggunakan teori Bourdieu.

PENDAHULUAN

Sampah menjadi masalah di semua negara. Bahkan, di Indonesia, tragedy sampah pernah terjadi di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Leuwigajah, Kota Cimahi, Jawa Barat, pada 21 Februari 2005 yang menyebabkan 147 korban (Hanum, 2021). Dengan penduduk dunia yang mencapai 7 miliar jiwa, sampah menjadi masalah utama apabila tidak diolah dengan berkelanjutan.

Menurut Waste Management (2021), pengelolaan sampah merupakan aktivitas untuk mengelola sampah dari awal hingga pembuangan, meliputi pengumpulan, pengangkutan, perawatan, dan pembuangan, diiringi oleh monitoring dan regulasi manajemen sampah. 

Pengelolaan sampah akan berhubungan dengan isu-isu masyarakat lainnya, hal ini dikarenakan pengelolaan sampah akan menjadi penentu keberhasilan pembangunan berkelanjutan. 

Sebagai contoh, isu pengelolaan sampah akan berkaitan dengan isu Kesehatan, perubahan iklim, pengurangan kemiskinan, keamanan pangan, produksi dan konsumsi berkelanjutan, serta isu penyediaan infrastruktur dan pembiayaan berkelanjutan.

Pengelolaan sampah yang berkelanjutan merupakan salah satu bentuk tanggung jawab atas konsumsi dan produksi yang telah dilakukan (SDGs 12). Konsumsi yang berlebih tentunya akan menghasilkan sampah yang berlebih sehingga memengaruhi luasan tempat pembuangan sampah yang ada. 

Menurut Word Commission on Environment and Development (1987) pada Widyastuti (2019) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang.

Permasalahan sampah di Indonesia sangat kompleks, dari jumlah penduduk yang besar, system pengelolaan sampah yang belum berorentasi berkelanjutan dan ramah lingkungan, sampai dengan permasalahan infrastruktur pengolahan sampah. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memiliki tanggung jawab untuk menyediakan infrastruktur pengolahan sampah. Namun, dengan keterbatasan anggaran yang ada, peran swasta dan stakeholders lain menjadi sangat penting untuk ikut serta dalam melakukan pengelolaan sampah.

Pada tulisan kali ini, penulis ingin melihat pentingya sistem pengelolaan sampah yang berkesinambungan menggunakan pendekatan yang dikemukakan oleh Pierre-Felix Bourdieu. Tulisan ini akan melihat dari sisi habitus, arena, modal, strategi dalam melihat bagaimana melaksanakan sistem pengelolaan sampah.

LANDASAN TEORI

Bourdieu merupakan salah satu tokoh filsuf yang dikategorikan dalam tokoh postmodernism. Salah satu konsep petning yang dikenalkan oleh beliau adalah strukturalisme dan eksistensialisme. Konsep pemikirannya berasal dari pertentangan antara dua kubu yaitu strukturalisme dan eksistensialisme. Konsep penting dalam teori praktik Bourdieu yaitu, habitus, arena/ranah/medan (field), kekerasan simbolik (symbolic violence), modal (capital), dan strategi (strategy) (Siregar, 2016).

Bagi Bourdieu, habitus adalah suatu sistem melalui kombinasi struktur objektif dan sejarah personal, disposisi yang berlangsung lama, dan berubah-ubah yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktik-praktik yang terstruktur dan terpadu secara objektif. Pemahaman terhadap konsep habitus merupakan kunci dalam sintesa teoretis Bourdieu. 

Habitus adalah proses pembatinan nilai-nilai sosial budaya yang beragam dan rasa permainan (feel for the game) yang melahirkan bermacam gerakan yang disesuaikan dengan permainan yang sedang dilakukan. Habitus adalah hasil internalisasi struktur dunia sosial, atau struktur sosial yang dibatinkan (Redaksi Sosiologi, 2021).

Habitus merupakan produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu. Habitus bukan bawaan alamiah atau kodrat tetapi merupakan hasil pembelajaran lewat pengasuhan dan bersosialisasi dalam masyarakat. Proses pembelajarannya sangat halus, tak disadari dan tampil sebagai hal yang wajar. Individu bukanlah agen yang sepenuhnya bebas, dan juga bukan produk pasif dari struktur sosial. Habitus berkaitan erat dengan field, karena praktik-praktik atau tindakan agen merupakan habitus yang dibentuk oleh field, sehingga habitus dipahami sebagai aksi budaya (Redaksi Sosiologi, 2021).

Pendekatan teoretis yang dilakukan Bourdieu adalah untuk menggambarkan bahwa apa yang dikatakan dan dilakukan seseorang dalam kehidupannya pada dasarnya adalah sesuatu yang lain dari keinginannya atau hanya sekedar dari struktur sosial dan struktur material. Individu dalam tindakannya dipengaruhi oleh struktur atau yang kolektif/sosial. Struktur-struktur yang ada dalam masyarakat diinternalisasi oleh aktor-aktor sosial sehingga berfungsi secara efektif. Internalisasi berlangsung melalui pengasuhan, aktifitas bermain, dan juga pendidikan dalam masyarakat baik secara sadar maupun tidak sadar (Siregar, 2016).

 

Aktor atau agen dalam bertindak bukanlah seperti boneka atau mesin yang bergerak apabila ada yang memerintah. Agen adalah individu yang bebas bergerak sesuai dengan keinginannya. Di satu sisi agen merupakan individu yang terikat dalam struktur atau kolektif/sosial namun di sisi yang lain agen adalah individu yang bebas bertindak. Sintesis dan dialektika antara struktur objektif dengan fenomena subjektif inilah yang disebut sebagai habitus. Hasil hubungan dialektika antara struktur dan agen terlihat dalam praktik. Praktik tidak ditentukan secara objektif dan juga bukan kemauan bebas. Habitus yang ada pada suatu waktu tertentu merupakan hasil dari kehidupan kolektif yang berlangsung lama. Habitus dapat bertahan lama namun dapat juga berubah dari waktu ke waktu. Habitus menghasilkan dan dihasilkan oleh kehidupan sosial, artinya habitus sebagai struktur yang menstruktur sosial dan juga habitus sebagai struktur yang terstruktur  (Siregar, 2016).

Dengan demikian Bourdieu memberi defenisi habitus sebagai suatu sistem disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah (durable, transposable disposition) yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktik-praktik yang terstruktur dan terpadu secara objektif. (Siregar, 2016).

Habitus berkaitan dengan modal sebab sebagian habitus berperan sebagai pengganda modal secara khusus modal simbolik. Modal dalam pengertian Bourdieu sangatlah luas karena mencakup: modal ekonomi, modal budaya, dan modal simbolik digunakan untuk merebut dan mempertahankan perbedaan dan dominasi (Harker, Richard et. Al., 2009, dalam Siregar, 2016).

Modal harus ada dalam setiap ranah, agar ranah mempunyai arti. Legitimasi aktor dalam tindakan sosial dipengaruhi oleh modal yang dimiliki. Modal dapat dipertukarkan antara modal yang satu dengan modal yang lainnya, modal juga dapat diakumulasi antara modal yang satu dengan yang lain. Akumulasi modal merupakan hal yang sangat penting di dalam ranah (Harker, Richard et. al., 2009, dalam Siregar, 2016).

Bourdieu memaknai modal bukan hanya dimaknai modal semata- mata sebagai modal yang berbentuk materi, melainkan modal merupakan sebuah hasil kerja yang terakumulasi (dalam bentuk yang “terbendakan” atau bersifat “menumbuh”-terjiwai dalam diri seseorang). Bourdieu menyebut istilah modal sosial (social capital), modal budaya (cultural capital), modal simbolik (symbolic capital). Modal sosial menunjuk pada sekumpulan sumberdaya yang aktual atau potensial yang terkait dengan pemilikan jaringan hubungan saling mengenal dan/atau saling mengakui yang memberi anggotanya dukungan modal yang dimiliki bersama (Umanailo, 2018).

Menurut Bourdieu dalam iainkediri.ac.id menyebutkan bahwa modal dapat dibagi menjadi 4 (empat), yaitu:

  • Modal ekonomi, yaitu Hal-hal materil (yang dapat dimiliki nilai simbolik) dan berbagai atribut yang tak tersentuh, namun memiliki signifikasi secara kultur, misalnya prestis, status, dan otoritas (yang dirujuk sebagai modal simbolik)
  • Modal Budaya, yaitu selera bernilai budaya dan pola-pola konsumsi. Modal budaya dapat mencakup tantangan luas properti, seperti seni, pendidikan dan bentuk-bentuk bahasa, termasuk di dalamnya adalah pengetahuan dan intelektual.
  • Modal Simbolik mengacu pada drajat akumulasi prestise, ketersohoran, konsekrasi atau kehormatan, dan di bangun di atas dialektika pengetahuan dan pengenalan modal simbolik tidak terlepas dari kekuasaan simbolik, yaitu kekuasaan yang memungkinkan untuk mendapatkan setara dengan apa yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi, berkat akibat khusus suatu mobilisasi.
  • Modal Sosial termanifestasikan melalui hubungan-hubungan dan jaringan hubungan-hubungan yang merupakan sumber daya yang berguna dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Modal sosial atau jaringan sosial ini dimiliki pelaku dalam hubungannya dengan pihak lain yang memiliki kuasa

Dalam hubungannya dengan berbagai modal yang dapat dipertukarkan, fenomena-fenomena tersebut terjadi diberbagai negara. Sebagai contoh, Presiden Amerika sebelumnya Donald Trump yang merupakan seorang pengusaha mencalonkan menjadi Presiden yang artinya yang bersangkutan terjun ke dunia politik. Untuk maju menjadi Presiden, pasti dibutuhkan modal yang besar, baik modal ekonomi maupun modal sosial. Modal ekonomi yang besar digunakan untuk menggerakkan massa atau pemilih yang artinya modal ekonomi akan ditukar menjadi modal sosial. Hal ini menjadikan seorang pengusaha tersebut memiliki 1 modal baru dan menjadi 2 modal, yaitu modal ekonomi dan modal sosial.

Modal yang diperoleh dapat digunakan untuk mempengaruhi kebijakan yang akan memberikan kepentingan yang bersangkutan. Modal simbolis yang diperoleh pada saat berkuasa dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang akan ditetapkan dan yang pasti akan memberikan kemanfaatn pada dirinya atau kelompoknya.

Hubungan antara habitus dan sumber modal tentunya akan memberikan kekuatan-kekuatan pada seseorang aktor sosial atau agen yang akan siap bertarung pada ranah, arena, medan, atau field/lapangan. Ketika habitus/kebiasaan terbentuk yang sudah berlangsung lama dan sudah berpola, dan dibarengi dengan seorang aktor sosial memiliki sumber-sumber modal, maka seorang aktor juga harus memahami arenanya.

Konsep ranah atau arena atau medan (field) merupakan ruang atau semesta sosial tertentu sebagai tempat para agen/aktor sosial saling bersaing. Di dalam ranah/arena para agen bersaing untuk mendapatkan berbagai sumber maupun kekuatan simbolis. Persaingan bertujuan untuk mendapat sumber yang lebih banyak sehingga terjadi perbedaan antara agen yang satu dengan agen yang lain. Semakin banyak sumber yang dimiliki semakin tinggi struktur yang dimiliki. Perbedaan itu memberi struktur hierarki sosial dan mendapat legitimasi seakan-akan menjadi suatu proses yang alamiah (Lubis, AKhyar Yusuf, 2014 dalam Siregar, 2016).

Ranah merupakan kekuatan yang secara parsial bersifat otonom dan di dalamnya berlangsung perjuangan posisi- posisi. Posisi-posisi itu ditentukan oleh pembagian modal. Di dalam ranah, para agen/aktor bersaing untuk mendapatkan berbagai bentuk sumber daya materiil maupun simbolik. Tujuannya adalah untuk memastikan perbedaan yang akan menjamin status aktor sosial. Dengan adanya perbedaan tersebut si aktor mendapat sumber kekuasaan simbolis dan kekuasaan simbolis akan digunakan untuk mencapai keberhasilan lebih lanjut (Jackson, Peter, 2013 dalam (Siregar, 2016).

PEMBAHASAN

            Dalam kaitannya dengan sistem pengelolaan sampah, pembahasan teori Bourdieu dalam topik tersebut akan menarik dibahas. Sebelum memasukkan teori Bourdieu, berikut informasi mengenai sistem pengelolaan sampah berkelanjutan.

1. Proyek Pengolahan Sampah

Integrated Sustainable Waste Management (ISWM) atau pengelolaan sampah berkelanjutan yang terintegrasi  menurut Van de Klundert dan Anschutz (2001) dalam Wilson et al. (2013) merupakan konsep pengelolaan sampah secara berkelanjutan dengan mengintegrasikan tiga dimensi utama, yaitu (1) stakeholders, (2) elemen sistem limbah, dan (3) aspek strategis. Gambar di bawah merupakan system pengolahan sampah yang berkelanjutan.

screenshot-2022-12-11-at-11-31-42-63955d47eb51ce45f3467fe2.png
screenshot-2022-12-11-at-11-31-42-63955d47eb51ce45f3467fe2.png
Pada gambar diatas dapat dilihat rincian dari masing-masing dimensi yang saling terintegrasi untuk menciptakan keberlanjutan. Setiap stakeholders memiliki peran dan kepentingan yang berbeda-beda dalam pengelolaan sampah. Hal ini menjadi tantangan mengenai bagaimana membuat suatu kesepakatan antar stakeholders untuk bersinergi dalam mencapai tujuan bersama diluar kepentingannya masing-masing. Stakeholders yang terlibat bisa berupa LSM, sektor privat formal dan informal, penduduk lokal, dan lainnya (Aminah & Muliawati, 2021).

Dimensi kedua yaitu elemen sistem limbah atau bisa disebut sebagai serangkaian tahap dalam pengelolaan material sampah. Dalam proses ini, penting untuk dibuat rencana pengelolaan sampah (waste management plan) agar mekanisme pengelolaan dapat lebih terstruktur. Dimensi kedua mencakup pengumpulan sampah, pemilahan, pengangkutan, pengurangan sampah, pemakaian kembali, pendauran ulang, pemulihan dan pembuangan sampah di TPA (Aminah & Muliawati, 2021).

Dimensi ketiga yaitu enam aspek strategis yang berpengaruh dan dipengaruhi oleh ISWM, meliputi:

  • aspek finansial-ekonomi,berkaitan dengan penganggaran biaya dalam sistem pengelolaan sampah, dampak jasa lingkungan terhadap ekonomi, efisiensi sistem pengaturan sampah perkotaan, dimensi makroekonomi dalam penggunaan sumber daya, serta penghasilan yang bisa diperoleh dari ISWM.
  • aspek lingkungan, fokus pada efek dari pengelolaan sampah di tanah, air dan udara.
  • aspek politik, berkaitan dengan ‘batas-batas politis’ dalam pengelolaan sampah, seperti kerangka hukum dan peraturan yang telah ada, proses pengambilan keputusan, serta penentuan peran.
  • aspek institusional atau lembaga, berhubungan dengan struktur sosial dan politik yang mengontrol pengelolaan sampah, seperti pembagian fungsi dan tanggungjawab institusi yang bersangkutan, prosedur dan metode yang diterapkan, serta ketersediaan kapasitas institusional.
  • aspek sosial budaya berkaitan dengan pengaruh budaya terhadap adanya timbulan sampah; perbedaan pengelolaan di setiap rumah tangga, bisnis, dan institusi, serta keterlibatan dari komunitas-komunitas terhadap pengelolaan sampah.
  • aspek teknis berkaitan dengan mekanisme teknis pengelolaan sampah yang dipengaruhi oleh karakteristik sampah, kuantitas sampah, dan kondisi lokal.

2. Konsep Bisnis

Konsep bisnis yang ditawarkan dalam pembahasan ini adalah bentuk Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (PPP). Seperti diketahui, bahwa infrastruktur pengelolaan sampah menjadi tanggung jawab pemerintah sebagai penyedia layanan public. Namun, dalam kenyataannya, Pemerintah memiliki keterbatasan anggaran sehingga membutuhkan pembiayaan atau Kerjasama dengan pihak lain. Badan usaha menjadi salah satunya dalam bentuk KPBU/PPP. Dalam bentuk KPBU, maka nanti Badan Usaha dalam bentuk joint venture atau konsorsium yang menang dalam proses lelang pengolahan sampah akan bertanggung jawab terhadap pengolahan sampah.

Oleh karena infrastrukutr pengolahan sampah sangat mahal, maka sedikit Badan Usaha yang tertarik. Atas permasalahan tersebut, Pemerintah memberikan beberapa fasilitas agar Badan Usaha tertarik untuk ikut ambil bagian, seperti fasilitas PDF, VGF, pejaminan, AP, dan lain sebagainya.

 

screenshot-2022-12-11-at-11-33-31-63955da5eb51ce5940034b32.png
screenshot-2022-12-11-at-11-33-31-63955da5eb51ce5940034b32.png
Dalam bentuk KPBU, Dukungan Pemerintah yang dapat diberikan pada proyek KPBU antara lain Dana Dukungan Kelayakan, penjaminan, dukungan teknis dari kementerian sektor terkait, dan penyediaan lahan. Pemerintah menyediakan PDF untuk Fasilitas Penyiapan Proyek dan Pendampingan yang berupa pendampingan dalam penyusunan kajian studi kelayakan dan pendampingan transaksi (Hasrul, n.d.).

Kemudian, dalam skema KPBU, risiko akan dibagi antara swasta dan Pemerintah. Melalui PT PII dan SMI, Pemerintah menugasakan mereka agar proyek KPBU menjadi layak. Dukungan lain dapat berupa VGF. VGF (Viability Gap Fund) adalahdukungan Pemerintah dalam bentuk kontribusi fiscal yang bersifat financial yang diberikan kepada proyek KPBU.

Badan usaha ikut ke dalam proyek penyediaan infrastruktur pasti mengharapkan keuntungan. Oleh karena itu, Pemerintah memberikan dukungan agar BU tertarik ikut ambil bagian. VGF salah satunya. Selain itu, untuk memberikan return yang sesuai dengan pasar, maka Pemerintah (PJPK) dapat menggunakan skema AP (Availability Payment) yang akan memberikan pembayaran tetap setiap periode atas layanan yang disediakan oleh BU (Kementerian Keuangan, n.d.).

KPBU merupakan salah satu konsep bisnis yang berkelanjutan dalam rangka melakukan pengelolaan sampah. Disamping melakukan penghematan biaya, permasalahan sampah dapat diserahkan kepada BU. Hal ini akan memberikan benefit pada semua pihak, termasmuk masyrakat. Pikah BU akan mendapatkan benefit margin yang kompetitif dan berbagai fasilitas yang diberikan Pemerintah.

3. Supply Chain Management 

Pada perspektif supply chain, rantai pasokan pada pengelolaan persampahan perkotaan dianggap sebagai masalah rantai pasokan strategis karena melibatkan timbulan sampah, pengumpulan, pemisahan, distribusi, pemrosesan, dan pembuangan. Sehingga sangat penting untuk mempertimbangkan seluruh rantai pasokan ketika sistem pengelolaan limbah tersebut diperhitungkan, karena efisiensi pengelolaan persampahan perkotaan dapat ditingkatkan dengan mengadopsi teknik pengelolaan rantai pasokan yang tepat (Wan Ahmad et al., 2016). Menurut Fatimah et al. (2020)  proses bisnis pengelolaan sampah meliputi mixed-collecting, sorting, transporting, varied-treatment, and chained-disposal.

Menurut Carter & Rogers (2008), sustainable supply chain mengintegrasikan dan mencapai tujuan sosial, lingkungan, dan ekonomi organisasi secara sistematis dan terkoordinasi sehingga keputusan bisnis antar organisasi mengarah pada peningkatan kinerja ekonomi jangka panjang organisasi dan rantai pasokannya.

screenshot-2022-12-11-at-11-34-22-63955dd9eb51ce5d93313e02.png
screenshot-2022-12-11-at-11-34-22-63955dd9eb51ce5d93313e02.png
Dalam pengelolan sampah yang berkelanjutan, biaya menjadi salah satu hal yang perlu dipertimbangkan. Collecting, sorting, and transporting menjadi salah satu bagian yang penting karena akan mempengaruhi manusia dan biaya pengelolaan. Berdasarkan Ramos, collecting menjadi salah satu permasalahan karena volume sampah yang diangkut dan biaya transportasi akan terkait. Terlalu sering mengnagkut akan meningkatkan biaya sehingga bisnis yang berkelanjutan akan terganggu. Ramos et al. (2018) berpendapat juga bahwa teknologi menjadi salah satu solusi, seperti penggunaan sensor dan IoT untuk melihat apakah sampah sudah perlu diambil atau belum. Kemapuan manusia menjadi penitng untuk menciptakan teknologi yang membantu pengelolaan sampah.

Seiraman dengan Ramos et al. (2018), Kang et al. (2020) dan Esmaeilian et al. (2018) juga berpendapat penggunaan teknologi dalam mengelola sampah di pemukiman dan perkotaan menjadi penting. Smart city menjadi salah satu konsep yang terintegrasi dalam system pengelolaan sampah. Geetha et al. (2022) juga berpendapat bahwa Robot juga dapat digunakan untuk membantu pengelolaan sampah. Kolaborasi robot dan manusia akan menjadikan kombinasi yang tepat dalam pengelolaan sampah.

4. Teori Bourdieu pada Sistem Pengelolaan Sampah Berkelanjutan

Dalam kaitannya dengan akuntansi manajemen, teori sosiologi budaya yang dikembangkan Bourdieu menyatakan bahwa individu dan masyarakat adalah jalinan timbal-balik, bahwa struktur objektif kebudayaan dan representasi subjektif individu terjalin secara dialektis, saling mempengaruhi dan berpaut dalam sebuah praktik.

Formula relasi antara individu dan struktur dengan relasi-relasi yang dikonstruksikan antara habitus dan arena yaitu (Habitus x Kapital) + Arena = Praksis, dengan menggunakan strategi tertentu. Atau dapat dikatakan bahwa kondisi yang menjadikan terjadinya praksis kultural, yakni dengan bertemunya habitus dan kapital para agen dalam arena (Syakir, 2016).

Dalam konteks pelestarian lingkungan, terdapat  modal utama di dalam arena pengelohan sampah, yaitu (1) modal ekonomi, (2) modal budaya termasuk di dalamnya modal intelektual. Modal ekonomi merupakan modal yang berupa modal fisik bersifat keuangan seperti uang,  biaya yang digunakan untuk membangun sistem pengolahan sampah dan masuk ke dalam arena. Modal kultural menyoroti kompetensi dan pengetahun yang digunakan untuk melakukan pengolahan sampah.

Dalam sistem pengelolaan sampah, Bourdieu menjelaskan posisi arena kultural berada dalam posisi sub ordinat atau terdominasi dalam arena kekusaan yang prinsip legitimasinya didasarkan pada kepemilikan modal ekonomi atau modal politik. Dengan kata lain arena kultural berada di dalam arena kekuasaan atau politik.

screenshot-2022-12-11-at-11-35-10-63955e08eb51ce679b026d52.png
screenshot-2022-12-11-at-11-35-10-63955e08eb51ce679b026d52.png
Pada gambar di atas, terlihat bahwa untuk membangun sistem pengelolaan sampah, akan melibatkan banyak agen atau stakeholder dan membutuhkan bermacam-macam modal dan perlu menggunakan strategi untuk mewujudkanya.

Dalam kaitannya dengan sistem pengelolaan sampah, terdapat beberapa kubu yang dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu kubu yang mengehendaki pengelolaan sampah melalui pembakaran tanpa menghasilkan produk yang berguna (tradisional), dan kubu yang menghendaki pengolahan sampah yang menghasilkan listrik atau produk yang berguna lainnya dan berkesinambungan (modern).

Arena pengelolaan sampah tradisional dianggap sebagai budaya yang rendah. Hal ini dikarenakan sistem tersebut akan memberikan dampak lingkungan yang besar. Namun, di dalam metode ini, modal ekonomi yang digunakan tidak besar. Budaya ini cenderung dipertahankan karena penggunaan modal pengolahan sampah yang kecil dan mudah dalam pengoperasiannya.

Arena pengelolaan sampah yang berkesinambungan yaitu dengan menghasilkan listrik atau produk berguna lainnya dianggap sebagai budaya yang tinggi. Dalam arena ini, sebagian besar bersifat simbolis seperti adanya prestise yang tinggi, pengetahuan yang tinggi atau penggunan teknologi yang modern. Namun, sistem pengolahan ini membutuhkan biaya modal yang besar.

Dalam konteks persampahan, dianalogikan terdapat dua kutub yang berseberangan yaitu sistem pengolahan tradisional yang dikatakan sebagai kutub negatif dan sistem pengolahan sampah modern yang dianggap sebagai kutup positif. Dalam perspektif Bourdieu, arena persampahan tersebut terbentuk dari struktur arena yang mana terdapat agen-agen yang melaksanakan sistem pengolahan sampah tersebut.

Agen tersebut dapat berupa institusi pemerintah ataupun swasta termasuk di dalamnya ada masyarakat. Dalam pengelolaan sampah yang modern dan berkesinambungan, terdapat beberapa aktor atau agen penting untuk mewujudkan hal tersebut. Berikut ini beberapa yang dapat diidentifikasi terkait dengan modal dari stakeholder yang terkait:

  • Masyarakat untuk menerapkan habitus dilakukan dengan pengetahuan dan pembiasaan untuk memilah sampah baik sampah kering, sampah plastik, sampah kimia, dan sampah lainnya. Pembiasaan ini nantinya akan memudahkan proses sorting yang akan masuk ke proses pengolahan sampah.
  • Pemerintah dan atau swasta yang terlibat menerapkan habitus dengan memberikan sosialisasi terus menerus kepada masyarakat untuk tidak membuang sampak sembarang dan mau melakukan proses sorting sampah berdasar jenisnya.

Kemudian, untuk modal menurut Bourdieu yang dapat diidentifikasi dari stakehoders di atas antara lain:

  • Modal ekonomi, yang berupa modal aset baik teknologi mesin pengolahan, uang/dana dan lain-lain. Pemerintah pusat untuk menarik para investor swasta bisa menyediakan VGF maupun PDF. Kemudian, BUMN dalam hal ini PLN dapat menyediakan dana untuk melakukan pembelian listrik yang dihasilkan oleh sistem pengolhaan sampah (PLTSa). Masyarakat, agar lingkungan bersih dan sampah dapat diangkut dan diolah perlu menyediakan uang sampah yang dibayarkan kepada Pemerintah daerah. Pemerintah daerah akan membayarkan tipping fee dan menyediakan lahan untuk pengolahan sampah.
  • Modal sosial yang dimiliki oleh Pemerintah dan swasta adalah jaringan bisnis untuk menarik para investor dalam mengembangkan sistem pengelolaan sampah modern. Sistem pengelolaan sampah modern tidak bisa hanya mengandalkan Pemeirntah saja, butuh peran dari masyarakat dan swasta untuk mewujudkannya. Sosialisasi kepada masyarakat sangat perlu dilakukan karena sistem tersebut sangat terikat dengan masyarakat.
  • Modal budaya yang dimiliki oleh Pemeirntah adalah memberikan contoh kepada masyaakat dalam mengelola sampah, sehingga lingkungan akan menjadi bersih dan sehat. Untuk swasta, modal budaya dapat berupa intelektual, pengetahuan dan kompetensinya dalam mengembangkan sistem pengelolaan sampah yang modern sehingga budaya bersih dan sehat, serta ramah lingkungan akan tercipta.
  • Modal simbolik menjadi penting dan akan menjaga sistem pengelolaan sampah modern dapat going concern. Pada saat tempat pengelolaan sampah modern terpadu, maka para pihak yang terlibat seperti PJPK dan Badan Usaha akan mendapat prestse, menjadi tersohor, dan simbol-simbol lainnya. Bagi pihak swasta dan PJPK, dengan keberhasilan tersebut akan mendapatkan tambahan modal sosial. Untuk swasta keberhasilan dalam proyek tersebut akan mendapatkan keuntungan ekonomi maupun keuntngan sosial. Bagi PJPK, keberhasilan tersebut akan memberikan modal simbolik dan sosial berikutnya. Modal politik akan menjadi lebih kuat bagi yang ingin terjun ke dunia politik.

Dalam kaitannya dengan Akuntansi Manajemen Lanjutan adalah bahwa untuk dapat menjalankan sistem pengelolaan sampah modern, ada beberapa biaya yang perlu diperhatikan, antara lain:

  • Dibutuhkan lahan yang akan disediakan oleh Pemerintah
  • Initial Outlay untuk membangun sistem pengelolaannya termasuk di dalamnya adalah biaya untuk membeli dan mengembangkan teknolgi pengolahan dan pengelolaanya.
  • Biaya operasi untuk melaksanakan operasi tersebut.
  • Biaya pemeliharaan
  • Biaya terminasi apabila sudah tidak digunakan kembali teknologinya
  • Biaya lainnya

Untuk menutupi biaya tersebut, maka diperlukan bantuan dari berbagai pihak, seperti:

  • Pemerintah pusat untuk menyediakan VGF atau PDF apabila menggunakan skema KPBU.
  • Pemerintah daerah untuk menyediakan lahan dan tipping fee termasuk perijinan.
  • PT PLN untuk membeli listrik yang dihasilkan atau perusahaan lain yang akan membeli produk lainnya yang dihaislkan tergantung teknologi yang digunakan.
  • Masyarakat untuk membayar iuran sampah.

Untuk mewujudkan hal di atas, teori Bourdieu dapat diterapkan. Identifikasi arena, identifikasi habitus, dan identifikasi modal serta strategi harus dilakukan untuk dapat menerapkan sistem pengelolaan sampah yang ramah lingkungan. Dengan terwujudnya sistem pengelolaan sampah yang berkesinambungan, maka semua stakeholders akan mendapatkan berbagai manfaat termasuk tambahan modal, seperti modal sosial maupun modal simbolik.

SIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa para stakeholders harus disinergikan sehingga modal ekonomi, modal sosial, modal budaya dan simbolik dapat bekerjasama dalam memenangkan arena pengelolaan sampah yang berkelanjutan untuk mengurangi dampak lingkungan. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha, dan masyarakat perlu bekerjasama dan bersinergi untuk mewujudkan sistem pengelolaan sampah yang ramah lingkungan dan memberikan manfaat bagi semua stakeholders.

Daftar Pustaka

Aminah, N. Z. N., & Muliawati, A. (2021, August 27). Pengelolaan Sampah dalam Konteks Pembangunan Berkelanjutan (Waste Management in the Context of Waste Management). Himpunan Mahasiswa Geografi Pembangunan, Universitas Gajah Mada. https://hmgp.geo.ugm.ac.id/2021/08/27/pengelolaan-sampah-dalam-konteks-pembangunan-berkelanjutan-waste-management-in-the-context-of-waste-management/

Carter, C. R., & Rogers, D. S. (2008). A framework of sustainable supply chain management: moving toward new theory. International Journal of Physical Distribution & Logistics Management, 38(5), 360–387. https://doi.org/10.1108/09600030810882816

Esmaeilian, B., Wang, B., Lewis, K., Duarte, F., Ratti, C., & Behdad, S. (2018). The future of waste management in smart and sustainable cities: A review and concept paper. In Waste Management (Vol. 81, pp. 177–195). Elsevier Ltd. https://doi.org/10.1016/j.wasman.2018.09.047

Fatimah, Y. A., Govindan, K., Murniningsih, R., & Setiawan, A. (2020). Industry 4.0 based sustainable circular economy approach for smart waste management system to achieve sustainable development goals: A case study of Indonesia. Journal of Cleaner Production, 269. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2020.122263

Geetha, V., Salvi, S., Ghosh, S. K., Ahmed, S. S., & Meshram, R. S. (2022). Fully Automated Waste Management System Using Line Follower Robot. Lecture Notes in Electrical Engineering, 790, 227–235. https://doi.org/10.1007/978-981-16-1342-5_18

Hanum, Z. (2021, February 21). Hari Peduli Sampah Nasional, Mengenang Tragedi TPA Leuwigajah. Mediaindonesia.Com.

Hasrul. (n.d.). Pentingnya Peran PDF dalam Skema KPBU. Kemenkeu.Go.Id. Retrieved March 17, 2022, from https://kpbu.kemenkeu.go.id/read/70-211/umum/kajian-opini-publik/pentingnya-peran-pdf-dalam-skema-kpbu

Kang, K. D., Kang, H., Ilankoon, I. M. S. K., & Chong, C. Y. (2020). Electronic waste collection systems using Internet of Things (IoT): Household electronic waste management in Malaysia. Journal of Cleaner Production, 252. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2019.119801

Kementerian Keuangan. (n.d.). Dukungan Kelayakan. Kemenkeu.Go.Id. Retrieved March 17, 2022, from https://kpbu.kemenkeu.go.id/read/1098-1261/pjpk/dukungan-pemerintah/dukungan-kelayakan

Ramos, T. R. P., de Morais, C. S., & Barbosa-Póvoa, A. P. (2018). The smart waste collection routing problem: Alternative operational management approaches. In Expert Systems with Applications (Vol. 103, pp. 146–158). Elsevier Ltd. https://doi.org/10.1016/j.eswa.2018.03.001

Redaksi Sosiologi. (2021, January 2). Teori Pierre Bourdieu Memahami Sumber Modal dan Field, Beserta Contohnya. Sosiologi.Info.

Siregar, M. (2016). Teori “Gado-Gado” Pierre-Felix Bourdieu. Jurnal Studi Kultural, 1(2), 79–82.

Umanailo, M. C. B. (2018). Mengurai Kekerasan Simbolik Di Sekolah: Sebuah Pemikiran Pierre Bourdiue Tentang Habitus Dalam Pendidikan. Universitasa Iqra Buru.

Wan Ahmad, W. N. K., de Brito, M. P., & Tavasszy, L. A. (2016). Sustainable supply chain management in the oil and gas industry. Benchmarking: An International Journal, 23(6), 1423–1444. https://doi.org/10.1108/BIJ-08-2013-0088

Waste Management. (2021). What Is Waste Management? Https://Www.Wm.Com/Us/En/Support/Faqs/What-Is-Waste-Management.

Widyastuti, S. (2019). Sebuah Sintesisi Pada Literatur: Strategi Intervensi Pemasaran Hijau Menuju Pembangunan Berkelanjutan (A Synthesis of Literature: A Green Marketing Intervention Strategy towards Sustainable Development). JRB-Jurnal Riset Bisnis, 2(2), 83–94. https://doi.org/10.35592/jrb.v2i2.401

Wilson, D. C., Velis, C. A., & Rodic, L. (2013). Integrated sustainable waste management in developing countries. Proceedings of the Institution of Civil Engineers - Waste and Resource Management, 166(2), 52–68. https://doi.org/10.1680/warm.12.00005

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun