Di Bawah Naungan Ranting-Ranting Raksasa: Elegi Hutan di Era Digital
Simfoni Alam yang Terancam
Di balik gemerlap layar digital, terbentang luka yang menganga,
Hutan, sang paru-paru dunia, perlahan merintih dalam pergolakan.
Pohon-pohon raksasa, saksi bisu peradaban, kini terancam punah,
Terkikis oleh laju modernitas, digerus oleh ambisi manusia yang serakah.
Elegi Persahabatan yang Terputus
Aku, pencinta alam yang berlindung di bawah naungan ranting-ranting raksasa,
Menyaksikan dengan pilu tragedi yang merenggut sahabatku tercinta.
Suara gemerisik daun, kicauan burung merdu, dan semilir angin sepoi-sepoi,
Tergantikan oleh deru mesin dan hiruk pikuk dunia digital yang tak kenal henti.
Majas dan Diksi Menangis dalam Kesedihan
Majas dan diksi, sahabatku setia dalam menari aksara,
Kini tertunduk lesu, meratapi nestapa hutan yang terluka.
Metafora meredup, simile kehilangan sinarnya,
Personifikasi tak mampu lagi menghidupkan jiwa hutan yang mati rasa.
 Seruan untuk Menyelamatkan
Oh, manusia, dengarkanlah jeritan pilu hutan yang terancam punah,
Lihatlah luka yang menganga di balik gemerlap layar digitalmu.
Mari bergandengan tangan, bersatu dalam upaya penyelamatan,
Melestarikan hutan, menjaga paru-paru dunia, demi masa depan yang cerah.
Harapan di Tengah Kegelapan
Meski awan kelam menyelimuti, secercah harapan masih menyala,
Di hati para pecinta alam, di jiwa para aktivis lingkungan yang tak kenal lelah.
Bersama kita perjuangkan, hutan lestari, bumi terjaga,
Demi kelangsungan hidup, demi anak cucu tercinta.
Pesan Penutup
Marilah kita jaga hutan, sahabat sejati manusia,
Sebelum terlambat, sebelum majas dan diksi kehilangan suaranya.
Lestarikan alam, demi masa depan yang lebih hijau,
Demi simfoni alam yang kembali merdu, di bawah naungan ranting-ranting raksasa.