Jeritan petani terlukis di langit yang basah,
Bajak dan luku, senjata setia di tanah pertiwi.
Namun, kini mereka duduk di museum senyap,
Sebuah kisah yang hilang, seperti angin yang berlalu.
Jeritan petani, terukir dalam butir-butir keringat,
Merdu dalam irama tanah yang subur.
Bajak dan luku, sahabat setia di ladang,
Kini hanya saksi bisu di dalam dinding-dinding museum.
Bajak yang merobek-robek tanah gersang,
Luku yang menyulam benang rumpun-rumpun padi.
Mereka bukan hanya alat pertanian,
Melainkan saksi bisu perjuangan hidup petani.
Jeritan petani, lantunan rindu dan doa,
Mengalun di sepanjang lorong waktu.
Bajak dan luku, sekuntum bunga kenangan,
Dihiasi di museum, tetapi jiwa petani masih hidup.
Dalam diamnya ruang pameran, terdengar bisikan angin,
Mengusap kenangan yang terpatri dalam kayu dan besi.
Jeritan petani, tetap hadir dalam setiap matahari terbenam,
Meski bajak dan luku hanya seni di museum yang bisu.
Ketika bajak dan luku di museumkan,
Mereka bukan hanya benda mati, tetapi warisan hidup.
Jeritan petani, seakan masih bergema,
Di antara senyap museum, di antara ingatan yang hidup.
"Jeritan Tanah: Nasehat untuk Negeri"
Jeritan tanah terdengar menggema,
Menebarkan kesedihan dan kemarahan,
Mengingatkan negeri yang terlena,
Agar segera sadar dan berbenah.
Tanah yang subur kini gersang,
Air yang jernih kini keruh,
Hutan yang hijau kini gundul,
Bumi yang indah kini rusak.
Semua ini terjadi karena ulah manusia,
Yang serakah dan tak peduli,
Yang mengeksploitasi alam tanpa batas,
Tanpa memikirkan masa depan.
Wahai negeriku yang tercinta,
Bangunlah dari tidurmu,
Lihatlah apa yang telah kau lakukan,
Lihatlah kerusakan yang kau sebabkan.
Ubahlah dirimu, wahai negeriku,
Jadilah lebih baik,
Jagalah alammu dengan baik,
Agar negeri ini dapat lestari.
Nasehat untuk Negeri
Wahai negeriku yang tercinta,
Lihatlah dirimu di mataku,
Lihatlah apa yang telah kau capai,
Lihatlah apa yang telah kau sia-siakan.
Kau adalah negeri yang kaya raya,
Dengan alam yang indah dan subur,
Namun kau juga negeri yang rapuh,
Yang mudah hancur oleh tangan manusia.
Maka, jagalah dirimu, wahai negeriku,
Jagalah alammu dengan baik,
Agar kau dapat bertahan selamanya,
Dan menjadi negeri yang sejahtera.
Sadarlah, wahai negeriku,
Agar kau tidak terlambat,
Untuk memperbaiki diri,
Dan membangun masa depan yang lebih baik.
Di museum diam bajak dan luku,
Senjata tanah yang kini tergantung indah.
Jeritan petani masih hidup dalam hening,
Di sini terkandung pesan dan nasehat yang nyata.
Pesan Moral:
1.Hargai Akar Kebudayaan: Bajak dan luku, bukan sekadar artefak. Mereka adalah akar kebudayaan yang tumbuh di ladang, Hargailah warisan yang terkandung dalam tanah yang kita pijak.
2.Jangan Lupakan Jasa Petani: Jeritan petani mengajarkan tentang pengorbanan. Dalam setiap butir keringat, terukir rasa cinta, Jangan lupakan jasa mereka, penyelamat negeri ini.
3.Museum Bukan Akhir, Melainkan Awal: Ketika bajak dan luku tergantung di dinding, Museum bukanlah akhir, melainkan awal cerita. Bangkitkan semangat petani dalam tindakan, Pertanian bukan hanya pekerjaan, tetapi panggilan.
Nasehat untuk Diri dan Negeri:
1.Jaga Keberlanjutan Tanah Air: Seperti bajak yang merobek tanah, Lakuilah tugas dengan keberlanjutan. Negeri ini adalah tanah subur yang membutuhkan perawatan, Jangan biarkan kekayaan ini pupus terbawa angin.
2.Berkarya untuk Kesejahteraan Bersama: Luku yang menyulam benang padi, Ingatlah arti bekerja bersama. Berkontribusilah untuk kesejahteraan bersama, Negeri ini indah saat kita berbagi.
3.Tumbuhkan Jiwa Petani di Setiap Generasi: Di dalam jeritan petani, letakkan jiwa kebersamaan. Tanamkan nilai-nilai tahan banting dan keuletan, Supaya setiap generasi menjadi penerus yang tangguh.
"Jeritan Tanah" adalah panggilan untuk menjaga dan menghargai akar-akar budaya, serta untuk terus mengembangkan jiwa petani dalam setiap tindakan kita demi kesejahteraan negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H