Bersyukur dan bahagia, dapatkan di hati, Bukan di ujung lidah yang berbicara kotor. Mengumpat, bukanlah pilihan bijak, Merasa hampa, saat hati terkotor.
Jadi, mengapa harus mengumpat? Pilihlah kata, yang membawa kedamaian. Di dalam hening, ada keindahan, Ketika tak mengumpat, damai menyertai.
Dalam sunyi yang hening, kata-kata mencicit, Rintihan ketidakbijaksanaan terucap tanpa sebab. Kenapa harus mengumpat, tanya hati yang mendalam, Ketika kebaikan takjarak jauh, diujung lidah berduri.
Kata-kata tajam, menusuk keheningan malam, Racun yang terus merayap, meracuni taman damai. Kenapa harus mengumpat, bertanya sang angin lembut, Saat pelukan harap tenggelam dalam kata-kata pedih.
Bisik angin bertanya pada pepohonan sunyi, Mengapa kata-kata menusuk tanpa belas kasihan? Kenapa harus mengumpat, padahal ada kebaikan, Bersahaja dalam keheningan, membawa damai sejahtera.
Ketika kata-kata menjadi belitan ular berbisa, Mengapa lidah menjadi alat untuk menyakiti? Kenapa harus mengumpat, padahal ada kelembutan, Dalam senyum, dalam pelukan, dalam kata-kata indah.
Rintihan ketidakbijaksanaan kata, terdengar jelas, Mengapa, oh mengapa kita terjerumus? Kenapa harus mengumpat, padahal ada kemuliaan, Dalam diam, dalam ketenangan, dalam kebijaksanaan.
Bersama angin, kita memohon pada bintang, Berikan kebijaksanaan, agar lidah tidak terjerat. Kenapa harus mengumpat, padahal ada cinta, Dalam cinta, dalam kasih, dalam kebersamaan.
Rintihan ini terlukis di langit yang biru, Kenapa harus mengumpat, ketika ada pelangi? Bertanya pada langit, bertanya pada bumi, Dalam keheningan, jawabnya terdengar jelas:
"Mengumpat takkan pernah membawa keberkahan, Pilihlah kata-kata yang tumbuh bagai bunga. Kenapa harus mengumpat, padahal ada keindahan, Dalam pilihan kata, tersimpan rahasia damai."
Renungan: