Saat murka padamu, bagai Badai Gita,
Menerjang hati dengan amarah yang membara.
Kata-kata terlontar tajam dan penuh duka,
Mencari keadilan di tengah jiwa yang lara.
Namun, kala hasratmu nyala bagai Gitanjali,
Lembut gita mengalun, merdu dan menawan.
Cinta berkobar, membakar anganku sekali,
Menjadi Agni, sang api yang tak tertahankan.
Dan bila rindu bertamu, syahdu Langen Madu,
Kumandangkan syair cinta, rindu yang berbisik.
Angin lembut Bayu membawa desiran itu,
Membuatmu luluh, terlena dalam kisah klasik.
Tak perlu air mata dan kata penuh sedu,
Hanya Kalpataru kupersembahkan untukmu.
Pohon pengharapan, pemenuh segala hasrat,
Simbol cintaku yang takkan pernah pudar.
Di dalam simfoni cinta dan murka ini,
Ada cerita tentang kita, terjalin tak terperi.
Marah dan rindu, dua sisi yang tak terpisahkan,
Dalam harmoni cinta yang terus berdetak.
Badai Gita murka menghantam hatiku,
Kata-kata pedas menusuk, duka merayap.
Namun, Gitanjali membangkitkan rasa nyala,
Cinta membara, menghangatkan jiwa yang rapuh.
Langit pun syahdu dengan desiran rindu,
Syair cinta bergema, meluluhkan kerasnya.
Bayu lembut mengusap, membelai sepenuh hati,
Kisah klasik memikat, merentangkan asmara.
Tak lagi air mata, tak lagi kata-kata pilu,
Hanya Kalpataru, pohon harapan abadi.
Simbol cinta kita, takkan pernah luntur,
Dalam simfoni cinta dan murka, kita terikat.
Marah dan rindu, dua sisi tak terpisahkan,
Melodi cinta terus berdentum, abadi dan indah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H