Mohon tunggu...
Agung Kuswantoro
Agung Kuswantoro Mohon Tunggu... Administrasi - UNNES

Pengin istiqomah dan ingin menjadikan menulis menjadi kebiasaan

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Puasa ke-26 dan Mudik

1 Juli 2016   11:28 Diperbarui: 1 Juli 2016   11:43 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alhamdulillahirobbil a’alamin, kita harus dan patut bersyukur terhadap Allah SWT atas kelimpahan rizki-Nya. Kita diberi kenikmatan untuk sholat jum’at. Kebetulan hari ini adalah hari ke-26 di bulan Ramadhan. Maknanya, insaalloh empat hari lagi kita akan memasuki bulan baru yaitu bulan Syawal. Namun sebelum kita memasuki bulan syawal, mari kita bermuhasabah terlebih dahulu, posisi kita saat ini, dan persiapan apa yang harus kita lakukan menghadapi bulan Syawal.

Biasanya orang seperti saat ini (puasa ke-26), sibuk dengan persiapan mudik.  Pastinya, kita sebagai orang perantau pun akan melakukan itu, namun perlu kita ketahui apakah mudik itu sendiri.

Dibulan Ramadhan kita yang ke-26 ini, marilah kita merefleksikan diri kita, apa yang akan kita dapat hingga saat ini? Bagaimana dengan perbuatan Nabi Muhammad SAW saat 10 terakhir bulan Ramadhan sendiri? Berdasarkan hadis-hadis yang saya baca bahwa, salah satu kebiasaan Nabi Muhammad SAW yang tak pernah lepas dari 10 malam terakhir Ramadhan adalah itikaf, bahkan Nabi Muhammad SAW memiliki fakta yang unik saat itikafyaitu Nabi mendirikan kemah/tenda, sebagaimana hadis berikut:

………………………………………………………………………………………………………………………………….

Artinya: Nabi beritikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, maka aku membuatkan sebuah tenda. Setelah sholat subuh, beliau masuk ke dalam tenda. (HR. Bukhori No. 2033).

Terlihat jelas bahwa, Nabi Muhammad SAW memasuki tenda. Tenda tersebut dibuatkan oleh Hafsah atas ijin Aisyah. Meskipun rumah Nabi Muhammad SAW bersebelahan dengan masjid (Nabawi), namun Nabi Muhammad SAW beritikaf secara total di masjid dengan mendirikan tenda.

Fakta unik lainnya saat Nabi beritikaf yaitu:

……………………………….

……………………………….

Artinya: Rosulullah sholallohu’alaihi wassalam apabila beliau beritikaf, beliau memasukkan (menyondokkan) kepalanya kepadaku, maka kemudian aku menyisir rambut beliau (HR. Bukhori no. 2031)

Berdasarkan hadis tersebut, Nabi Muhammad SAW  sangat sibuk dengan itikafnya di masjid, sampai-sampai sisiran saja, beliau disisirkan oleh istrinya, Aisyah yang rumahnya bersebelahan dengan masjid. Padahal secara riwayat hadis tersebut Aisyah sedang haid.

Nah, sekarang bagaimana dengan diri kita sendiri, dimana posisi kita sudah berada pada hari ke-26 Ramadhan ini. Apakah sudah melakukan seperti Nabi Muhammad SAW? Ataukah kita disibukkan dengan rutinitas yang keluar dari masjid? Dimana seharusnya, posisi kita lebih dekat dengan masjid, sebagaimana contoh Nabi Muhammad.

Itulah kondisi kita saat ini, sekarang fenomena adalah mudik. Menurut Mustaqim (2015), mudik adalah suatu tradisi yang menyatu dengan lebaran. Karena lebaran merupakan momentum tahunan yang memberikan peluang besar untuk pulang kampung.

Bagi seseorang yang rutinitas dengan pekerjaan seperti kita, lebaran salah satu kesempatan untuk menengok sanak keluarga. Selain itu, mudik menunjukkan rasa kekeluargaan dan rasa sosial yang tinggi.

Ada nilai yang sangat baik dan patut kita junjung yaitu silaturrohim. Silah itu menyambung, Rahim itu adalah kasih sayang, berarti silaturrohim adalah menyambung kasih sayang. Kata Rahim adalah mudhof alaih dari silah, jadi dibaca silaturohim, bukan silaturahmi.

Mudik merupakan simbol pengakuan dosa kepada orang lain, khususnya keluarga. Dosa tidak hanya ditebus dengan taubat saja, namun juga harus ada keikhlasan pemaafan dari orang yang bersangkutan. (Hablum minannas/horizontal). Pemaafan kepada Allah dikenal dengan taubatan nasuha (Hablum minallah/vertikal). Oleh karenanya, melalui momentum mudik harus kita optimalkan pemanfaatan sosial, bukan kesenjangan sosial. Mengapa dikatakan kesenjangan sosial? Karena orang yang mudik memunculkan perilaku atau kebiasaan saat dimana ia merantau. Ia menujukkan baju, jam tangan, mobil, atau segala perhiasan yang melekat pada dirinya. Kemudian orang yang dikampungnya memperhatikan perilakunya yang “maaf” jauh dari budayanya. Hal inilah yang harus kita hindari. Kesenjangan sosial ini akan memunculkan penyakit hati seperti sombong. Sombong atau takabbur yaitu memandang dirinya lebih sempurna dibandingkan dengan siapapun. Dia memandang orang lain hina, rendah, dan lainnya. Rosulullah bersabda:

……………………………

Artinya: kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.

Poin yang perlu digarisbawahi adalah merendahkan manusia. Nah, disinilah, kita harus berhati-hati, saat berkumpul dengan orang banyak. Jangan sampai apa yang kita punya dalam diri kita atau yang melekat pada tubuh kita menjadi modal untuk kesombongan. Merasa mobil kita lebih bagus, dibanding orang lain lalu kita memposting gambarnya mobil ke WA atau facebook. Atau memfoto makanan di suatu restoran besar, kemudian kita bagi ke teman-teman kita. Itu juga sebagai awal kesombongan. Rosul mengajarkan berbagi makanan, bukan foto makanan.

Jadi bekal harta, uang, materi, atau sesuatu yang bernilai untuk mudik tidaklah cukup. Mudik adalah fitrah. Pada dasarnya, semua manusia akan “mudik” kepada hakikat penciptannya. Kita semua akan mudik, kembali kepada Allah, suatu saat nanti. Jika seorang pemudik lebaran menyiapkan bekal yang cukup, maka mudik kita kepada Allah juga harus menyiapkan bekal yang cukup, baik untuk bekal di dunia, maupun bekal ketika menghadap Allah. Lalu, apakah bekalnya? Bekalnya adalah takwa. Allah berfirman:

………………………………………………………………………..

Artinya: Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang berakal.

Ayat tersebut menjelaskan bahwa bekal takwalah yang tepat saat kita mudik kepada Allah, termasuk manusia. Takwa ini pula  tujuan kita saat menjalankan ibadah puasa ini.

Marilah kita luruskan niat kita di penghujung Ramadhan ini dengan memanfaatkan empat hari ini. Nabi Muhammad SAW mengajarkan kita untuk beritikaf di masjid. Cobalah kita lakukan, meskipun hanya setengah jam atau satu jam. Saat kita mudik, jagalah hati ini agar terhindar dari penyakit hati yaitu sombong. Sombong menganggap orang lain rendah, bekal mudik terbaik adalah takwa, bukan harta. Takwa itu pula tujuan kita sebagai orang yang sedang puasa. Wa’allohualam

Semarang, 1 Juli 2016

Agung Kuswantoro

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun