Halo Ibu Presiden Megawati. Perkenalkan, Saya Agung, salah satu representasi generasi milenial yang Ibu bahas dalam pidato peresmian Kantor DPD dan DPC Partai tanggal 28 Oktober 2020. Tulisan ini sekaligus juga ingin merespon beragam pernyataan klarifikasi yang diberikan kader-kader PDIP untuk menafsirkan pernyataan Ibu, agar setidaknya publik semakin jernih menempatkan milenial baik sebagai subyek maupun obyek perdebatan.
Pertama, Bila pertanyaan soal sumbangsih untuk bangsa ditanyakan kepada Saya, (di luar pekerjaan), maka jawabannya, Saya terlibat dalam dunia pendidikan (politik & publik), lewat pelatihan, diskusi, seminar atau sebatas konten-konten di media sosial seperti facebook, twitter, instagram, dan blog. Beberapa karya tulis Saya berupa artikel di media massa atau buku bisa juga Ibu baca.Â
Sementara, soal kontribusi milenial lainnya, Kami mampu menghadirkan rintisan usaha yang menjelma menjadi usaha2 kelas dunia (3 unicorn seperti Traveloka, Bukalapak, Tokopedia dan 1 decacorn, Gojek). Ini belum soal pemain film (Joe Taslim, Iko Uwais, dll), Film (The Raid, Gundala, dll), pemusik (Agnes Monica) dan artis/karya seni lainnya yang mewarnai panggung dunia.Â
Kemudian generasi kami juga terlibat dalam pengambilan kebijakan dengan dipercaya oleh Presiden Jokowi menjadi Menteri hingga Staf Khusus Presiden. Dan rakyat juga mempercayakan mandatnya kepada milenial karena sebagian dari kami menjadi Anggota DPR/D, Anggota DPD, Wakil Gubernur, serta Bupati.
Di level masyarakat sipil, saat ini beberapa organisasi NGO/LSM kredibel dipimpin oleh para milenial. Mereka rutin mengawal jalannya pemerintahan dan memiliki kontribusi besar menjaga marwah Pancasila, demokrasi, dan reformasi yang selama ini mewarnai dinamika kebangsaan kita.Â
Dalam konteks pandemi, banyak milenial yang menjadi tenaga kesehatan bahu-membahu mengatasi COVID19, ada pula yang tetap rutin menggalang gerakan demi pencapaian SDGs bersama lembaga filantropi Tanoto Foundation, Kementerian PPN/Bappenas, Organisasi multilateral UNDP, atau sekedar rutin ikut memilih saat pemiliu digelar demi meningkatkan angka partisipasi politik.
Kedua, jika kemarin sebagian milenial ikut berdemonstrasi, Saya percaya mereka hanya menyuarakan aspirasi karena saluran formal kita tersumbat saat rancangan hingga pengesahan Omnibus Law sebagaimana jamak kita ketahui. Demo akhirnya menjadi alternatif ikhtiar sebagaimana Ibu juga dulu sering melakukannya hingga Orde Baru berganti Reformasi.
Bila ada yang merusak, bagaimana? Berarti ada oknum-oknum yang mengatasnamakan milenial, ibu. Mereka yg tak paham substansi serta aturan berdemo. Dan saat polisi menggelar perkara kemarin, malah lebih banyak oknum Generasi Z yg lahir pada kisaran tahun 1996-2015. Artinya bukan Milenial, karena generasi kami lahir di kisaran tahun 1980-1995. Oh iya Ibu, soal siapa pembakar halte-halte busway atau merusak, ada temuan menarik Narasi TV soal ini yang kemudian viral. Ibu Mega jangan lupa menontonnya yaa..
Saat ini generasi milenial sebagian besar lebih banyak disibukkan dengan urusan-urusan domestik tentang diri dan keluarganya. Keterlibatan dalam panggung politik praktis tidak lain terjadi karena terintegrasinya hidup kami dengan telepon pintar, sehingga beragam informasi dan berbagai aplikasi yang mendukung keseharian kami tinggal dibaca/unduh dalam hitungan detik/menit. Kami hanya ingin, dengan waktu yang tersedia dapat terlibat sehingga politik kita tidak dibajak oleh kepentingan segelintir elit dan suara yang telah kami berikan tidak disalahgunakan.
Laporan Litbang Kompas berjudul "Politik ala Generasi Muda" (Kompas, 28/10/2017), misalnya, pernah mengulas fenomena ini. Disebutkan bahwa generasi milenial lebih suka melakukan partisipasi yang terkait langsung dengan kepentingan masyarakat, seperti keterlibatan mereka dengan cara-cara unik dalam pengambilan kebijakan pemerintah. Sebagai contoh, melalui situs change.org, generasi milenial kerap memobilisasi dukungan dan memengaruhi pengambil keputusan-keputusan penting di negeri ini.
Ketiga, postingan ini Saya niatkan untuk berdiskusi tentang generasi kami. Tak ada maksud lain apalagi untuk membully seperti yang Ibu khawatirkan. Karena, penggunaan beberapa istilah seperti pertanyaan soal sumbangsih milenial, generalisasi milenial dengan perusuh saat demo, dan soal manja yang disematkan kepada generasi milenial mengusik pikiran Saya. Ujungnya ini soal komunikasi publik.Â
Saya pikir argumentasi yang dibangun tanpa didukung basis data, fakta, dan konteks yang memadai. Hal semacam ini bila terus terjadi akan kontraproduktif bagi citra maupun persepsi publik yang ingin dibangun Ibu dan PDIP untuk merangkul milenial. Karena suka atau tidak, lumbung pemilih generasi milenial merupakan satu ceruk strategis pada Pileg/Pilpres 2024.Â
Selain itu, generasi milenial merupakan aktor utama dalam pembangunan Indonesia di masa mendatang. Sebab, Indonesia pada tahun 2020--2030 akan mendapatkan bonus demografi. Yakni, jumlah usia angkatan kerja (15--64 tahun) mencapai sekitar 70 persen, sedangkan 30 persen lainnya berada di usia tidak produktif (14 tahun ke bawah dan di atas 65 tahun).
Di titik inilah, tokoh atau pemimpin pada level manapun dituntut untuk mampu memahami bisa mendengarkan aspirasi serta kebutuhan generasi milenial. Sebab, merekalah sesungguhnya tulang punggung pembangunan bangsa ke depan. Apalagi, diprediksi, pada 2025 sebanyak 75 persen angkatan kerja dunia dikuasai generasi milenial.Â
Begitu dulu respon dari Saya, Ibu. Bila ada hal-hal lain yan perlu didiskusikan Saya dengan senang hati menantinya karena ini bagian penting dalam upaya mengobyektifikasi dan mencerdaskan kita semua. Salam hangat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H