Merebaknya wabah COVID-19 di tanah air memberi dampak signifikan terhadap kehidupan perekonomian masyarakat. Efek tersebut semakin besar ketika dihadapkan kepada pekerja sektor informal khususnya mereka yang menggantungkan nasibnya dari mencari nafkah harian. Misalnya pedagang kaki lima, kelompok Usaha Kecil Mikro/Menengah, ojek online/offline, buruh bangunan harian, dan lain-lain.Â
Realitas sosial tersebut sesungguhnya sudah direspon dengan baik oleh Pemerintah baik pusat dengan menguncurkan paket bantuan langsung tunai lewat Kementrian Sosial (Kemensos) dan Kementrian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendes PDT) sebesar 600 ribu maupun lewat Pemerintah Daerah melalui bantuan sosial (Bansos) yang bersumber langsung dari APBD dengan beragam bentuk bantuan mulai sembako dan uang tunai yang disesuaikan dengan kemampuan anggaran masing-masing daerah.
Bantuan-bantuan yang dikucurkan ini, sayangnya membutuhkan waktu untuk sampai ke masyarakat sehingga, mereka kadang harus mencari cara atau peluang lain untuk bisa bertahan hidup. Di titik inilah mekanisme gotong-royong warga bekerja secara otomatis hadir sebagai kearifan lokal maupun semangat kolektif bangsa yang membuat negeri ini terus berdiri. Tanpa komando atau instruksi, seluruh elemen masyarakat kini bahu-membahu menunjukkan kepeduliannya.Â
Beragam bentuk bantuan mengalir secara resmi mulai uang tunai, alat pelindung diri bagi tenaga medis, kit rapid/swab test, tenaga sukarelawan, sebagaimana Tanoto Foundation juga turun tangan dengan menyumbangkan 1 juta masker, 1 juta sarung tangan, 100 ribu baju pelindung, dan 3 ribu kacamata untuk tenaga medis Indonesia.Â
Sumbangan dari organisasi filantropi independen yang didirikan oleh Sukanto Tanoto dan Tinah Bingei Tanoto tersebut  diserahkan kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai koordinator gugus tugas nasional penanggulangan COVID-19 yang ditunjuk oleh Presiden Jokowi. Â
Di saat yang sama, secara pararel muncul inisiatif-inisiatif dari individu maupun kelompok masyarakat yang langsung menyalurkan kebutuhan pokok secara rutin kepada mereka yang terdampak.Â
Di lingkungan masyarakat, menguat kerja-kerja yang nyata dari RT/RW/Kepala Kampung untuk mendata warganya baik yang terdampak maupun sekadar mendata aktivitas pulang kampung/mudik (tracing) yang dilakukan oleh warganya.Â
Apakah ini sudah cukup menjawab tantangan pandemi dan puncaknya diprediksi pada Juni 2020 oleh Pemerintah? Justru ini fase awal kita bergerak, karena efek-efek lain dari wabah ini hadir setelah ia mencapai titik tertinggi. Masalah yang muncul bukan lagi hanya kesehatan, tapi juga merembet ke ekonomi, sosial, maupun bidang lainnya.
Pada bagian lain, saat melihat animo publik hari ini yang besar dalam menggalang solidaritas mengatasi COVID-19, muncul pertanyaan mendasar, siapa dan apa yang menggerakkannya mereka? Mengapa nafas gerakan ini bergelora di tengah hegemoniknya individualisme kaum perkotaan?
Pertama, secara yuridis, dasar negara Ketuhanan yang Maha Esa yang termaktub dalam Pancasila menjadi sebuah wujud nyata bahwa bangsa kita atau manusia Indonesia adalah makhluk religius.Â