Judul di atas tercipta karena hal sederhana, yakni karena setiap hari Saya dan istri harus bertugas mendampingi anak sulung kami membaca, sebagai bagian dari keinginannya untuk segera bisa membaca (home reading). Kegiatan ini diinisiasi oleh Sekolah dengan menyediakan buku setiap harinya, kemudian si anak membaca didampingi orangtua agar dapat mengenal huruf dan benar cara membacanya.Â
Saat melaksanakan hal ini, kami sebagai orangtua juga belajar, yakni mengajarkan bagaimana mengucapkan teks dengan benar karena dalam Bahasa Inggris, karena di rumahkami menggunakan Bahasa Indonesia sebagaimana anjuran gurunya agar ia terbiasa dengan banyak bahasa, dan kedua, mengingatkan si kecil agar tidak lupa menunaikan niatnya untuk selalu membaca buku.Â
Dari periode 18 Oktober 2019 hingga 20 Februari 2020, anak kami telah menamatkan 80 buku. Tapi, jangan bayangkan bukunya tebal, karena masing-masing buku hanya tediri dari 10-30 halaman dengan gambar di dalamnya untuk mendeskripsikan utuh cerita. Oh iya sekedar informasi, agar pembaca tak ahistoris dengan kisah ini, anak kami saat ini duduk di kelas 1 sebuah sekolah negeri di Kota Waterloo, Provinsi Ontario, Kanada.
Mengapa Saya harus menulis tentang hal ini? Tidak lain, tidak bukan karena menemukan sebuah fakta bahwa tradisi membaca belum menjadi budaya masyarakat Indonesia. Hal ini semakin terkonfirmasi bila merujuk fakta-fakta yang dirilis berbagai lembaga kredibel dunia dan Indonesia, mulai The Program for International Student Assessment (PISA) 2018, World Most Literate Nations dari Central Connecticut State University (CCSU) 2016, dan yang terbaru Indeks Aktivitas Literasi Membaca di 34 Provinsi tahun 2019 oleh Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan Balitbang Kemendikbud, yang ke semuanya berujung pada temuan masih rendahnya minat baca generasi kita.Â
Apalagi bila dihubungkan dengan sejarah, bahwa di masyarakat kita, tradisi menyimak atau mendengarkan lebih kuat dibanding membaca. Hal ini ditemukan pada kegiatan masyarakat Jawa yang bisa bertahan semalam suntuk menyaksikan pergelaran wayang. Kemudian tradisi macapat di Jawa, di mana sebuah buku dibaca seseorang dalam situasi tertentu, berikutnya tradisi di Jawa saat kelahiran bayi dibacakan serat yusuf dan disimak banyak orang (Kasiyun, 2015). Bahkan sebagian karya-karya penulis kenamaan tanah air menjadi fenomenal di masa sekarang saat difilmkan.
Pada bagian lain, efek dari membaca belum menjadi tradisi memberi peluang besar secara langsung bagi tersebarnya hoaks, radikalisme, hingga separatisme secara masif. Sebagaimana sering kita alami saat terjadi peristiwa khusus dalam perhelatan politik, bencana alam/kejadian luar biasa, atau informasi terkait seorang tokoh/artis.Â
Oleh karenanya diperlukan upaya langkah-langkah khusus agar secara perlahan budaya mendengar ini bisa beralih menjadi budaya membaca. Inspirasi dari Kanada soal budaya membaca bisa dijadikan referensi dan Saya pilih, karena selain tinggal di sini, Kanada menjadi salah satu negara yang baik budaya baca dan literasinya dari Indonesia. Jadi, Apa Saja yang bisa kita praktekkan?
Pertama, sekolah memiliki peranan penting untuk menciptakan budaya membaca. Selain membaca di rumah (home reading), sejak TK anak diberikan flash card untuk mengenalkan huruf dan kata. Kemudian di kelas ada waktu membaca (reading time) dan hari membaca (library day). Sekolah kemudian memiliki aplikasi (app) khusus secara digital yang menghubungkan guru - siswa - orangtua sehingga mengetahui perkembangan membaca si anak dan bagaimana ia belajar membaca.
Untuk fasilitas perpustakaan di sekolah, sama seperti halnya di Indonesia. Namun, peranan aktif guru dalam mengoptimalkan kurikulum memegang peranan penting. Oh iya, kelas dipegang oleh 1 guru utama dan dibantu oleh 2 guru pendamping dengan jumlah siswa 16 orang. Selama di sekolah, anak kami sering arahkan untuk menceritakan ulang apa yang ia baca di kelas, bermain mini drama setelah sebelumnya di beri naskah, dan kemudian proyek-proyek kecil mulai soal sejarah dirinya dan keluarganya.Â
Semua hal tadi dilaksanakan tanpa ada generalisasi lewat penilaian yang membandingkan anak yang satu dengan yang lain sebagaimana kami sebagai orang tua menerima rapor setiap tahunnya. Hanya sebatas penilaian kualitatif dan tugas apa yang perlu kami lakukan untuk mendukung usaha sekolah meningkatkan kemampuan si anak.
Dalam konteks inilah Saya jadi teringat dengan Program Pengembangan Inovasi Kualitas Pembelajaran (PINTAR), program inisiatif Tanoto Foundation dalam meningkatkan kualitas pendidikan dasar secara berkelanjutan. Program PINTAR berfokus pada tiga pendekatan, yaitu membangun praktik-praktik baik pembelajaran, manajemen, dan kepemimpinan sekolah, mendukung pemerintah menyebarluaskan praktik-praktik baik tersebut dan mendukung Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dalam pendidikan calon guru.Â