Mohon tunggu...
Agung Bachtiar
Agung Bachtiar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Pertahanan RI

Mahasiswa Magister Keamanan Maritim

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Semenanjung Korea di Ambang Perang Nuklir: Titik Nyala yang Mematikan

27 Agustus 2024   12:12 Diperbarui: 29 Agustus 2024   12:12 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Konflik di Semenanjung Korea dimulai setelah Korea bebas dari penjajahan Jepang pada 1945, segera disusul oleh ketegangan antara blok kapitalis-liberalis dan sosialis-komunis. Perang Korea dimulai pada 25 Juni 1950 ketika Korea Utara, dengan dukungan Uni Soviet, menyerang Korea Selatan melintasi garis paralel ke-38. PBB merespons cepat dengan mengeluarkan Resolusi 82 dan 83 untuk menghentikan permusuhan dan mendukung Korea Selatan.

PBB kemudian mengeluarkan Resolusi 84 pada 7 Juli 1950, memberikan mandat kepada Amerika Serikat untuk memimpin komando pasukan multinasional. Operasi militer mempertahankan Busan dan melakukan pendaratan di Incheon pada September 1950. Pada November 1950, China memasuki konflik dan memaksa pasukan PBB mundur. PBB juga memberikan bantuan kemanusiaan dan melakukan evakuasi di Hungnam. Pada awal 1951, Tentara Relawan Rakyat China berhasil merebut kembali Seoul, namun pasukan PBB berhasil melancarkan serangan balik pada Mei 1951, yang menyebabkan stagnasi pertempuran di sekitar garis paralel ke-38.

Sumber: United Nations Command
Sumber: United Nations Command

Negosiasi perdamaian dimulai pada 10 Juli 1951 di Kaesong, kemudian berlanjut di Panmunjom. Setelah dua tahun negosiasi yang sulit, Perjanjian Gencatan Senjata akhirnya ditandatangani pada 27 Juli 1953 di Panmunjom, yang mengakhiri pertempuran sementara di Semenanjung Korea. Meski demikian, perjanjian damai permanen belum tercapai hingga saat ini, dan ketegangan di wilayah tersebut tetap menjadi salah satu konflik geopolitik paling berbahaya di dunia.

Konteks Geopolitik Saat Ini

Kapabilitas nuklir Korea Utara kini menjadi ancaman stabilitas di Asia Timur. Dengan kemajuan dalam program senjata nuklir, Korea Utara telah meningkatkan daya ancamnya, menciptakan ketidakpastian di kawasan dan kekhawatiran di antara negara-negara tetangga. Sanksi internasional yang dijatuhkan oleh PBB dan negara-negara lain terhadap Korea Utara juga berdampak signifikan, tidak hanya pada perekonomian negara tersebut tetapi juga pada stabilitas politiknya. Tekanan internasional dapat memicu reaksi provokatif dari Pyongyang (UK Parliement, 2023). 

Potensi Titik Nyala Konflik

Potensi konflik di Semenanjung Korea terus meningkat akibat provokasi dan pamer kekuatan militer oleh Korea Utara, disertai latihan militer skala besar oleh Korea Selatan dan Amerika Serikat.

Sumber: CBNBC Indonesia 
Sumber: CBNBC Indonesia 

Sumber: Detik News
Sumber: Detik News

Ketegangan ini mendorong negara-negara lain seperti India, Pakistan, Rusia, dan China untuk merespons dengan uji coba rudal balistik dan latihan perang bersama, yang meningkatkan kekhawatiran akan persaingan persenjataan nuklir di kawasan Asia. Pengamat politik internasional Aleksius Jemadu menyoroti fenomena "Dilema Keamanan" di Asia, di mana negara-negara saling merespons tindakan negara lain, terutama karena banyak dari mereka memiliki senjata nuklir dan tidak terikat perjanjian non-proliferasi, seperti Korea Utara. Penggunaan senjata nuklir sebagai alat politik dan kekuatan militer menambah kompleksitas situasi. Ketegangan di Semenanjung Korea, ditambah dengan postur militer kedua belah pihak, menempatkan kawasan ini pada risiko eskalasi konflik bersenjata yang berbahaya.

Doktrin Strategis dan Kapabilitas Militer

Menurut Pollack, J., & Kim, M. (2020), Korea Selatan terus mengembangkan kemampuan serangan presisi konvensional dan otonomi militer untuk menyesuaikan diri dengan dinamika stabilitas strategis yang berubah, baik dengan Amerika Serikat sebagai sekutu bersenjata nuklir maupun dengan Korea Utara sebagai musuhnya yang bersenjata nuklir. Strategi nuklir Korea Utara yang berfokus pada pencegahan mengandalkan senjata nuklir untuk mencegah intervensi militer oleh Amerika Serikat atau sekutunya, sementara dukungan militer AS terhadap Korea Selatan, termasuk kehadiran pasukan dan sistem pertahanan rudal canggih, meskipun memberikan jaminan keamanan, juga meningkatkan ketegangan regional. Dengan kemajuan rudal serangan presisi di kedua Korea dan ancaman serangan pendahuluan terhadap para pemimpin, risiko krisis yang dapat meningkat menjadi perang, termasuk penggunaan senjata nuklir, semakin besar. Oleh karena itu, pemahaman baru mengenai dinamika stabilitas segitiga ini penting untuk mempertahankan perdamaian di Semenanjung Korea.

Upaya Diplomatik dan Inisiatif Perdamaian

Choi, J. (2018) menjelaskan sejak awal konflik di Semenanjung Korea, berbagai upaya diplomatik telah dilakukan untuk meredakan ketegangan dan mencegah eskalasi lebih lanjut. Namun, upaya ini sering kali menemui jalan buntu, PBB dan ASEAN berusaha memediasi konflik, meski hasilnya terbatas. Salah satu tujuan utama dari upaya diplomatik ini adalah mencapai denuklirisasi Korea Utara dan menegosiasikan perjanjian damai yang permanen, meskipun prospeknya masih jauh dari kenyataan (Itumo et al., 2020).

Skenario Terburuk

Shashank S. Patel, seorang ahli geopolitik, mengungkapkan bahwa sejak Perang Dunia II, Semenanjung Korea telah menjadi pusat potensi konflik nuklir antara kekuatan besar dan masih relevan hingga kini. Kepemimpinan Korea Utara terus mendorong pengembangan senjata nuklir. Patel menyoroti bahwa skenario terburuk melibatkan pecahnya perang nuklir, yang bisa dipicu oleh serangan pre-emptive Korea Utara atau kesalahan komunikasi. Jika terjadi, konflik ini dapat menyebabkan kehancuran besar di Seoul, pangkalan militer AS, dan bahkan meluas ke negara-negara tetangga seperti China, Jepang, dan Rusia melalui pencemaran radioaktif.

Sumber: Diolah oleh Penulis
Sumber: Diolah oleh Penulis

Skenario terburuk juga mencakup kemungkinan keterlibatan China dan Rusia, yang dapat memperkeruh situasi dengan intervensi militer. Hal ini akan meningkatkan risiko pecahnya perang global, yang dapat melibatkan kekuatan nuklir lain dan mengancam stabilitas internasional secara keseluruhan. Di sisi lain, kemungkinan peluncuran nuklir yang tidak disengaja, baik karena kesalahan teknis maupun misinterpretasi sinyal dari pihak lawan, juga menambah kompleksitas situasi, di mana setiap tindakan salah dapat memicu kehancuran yang tak terbayangkan.

Dampak jangka panjang dari skenario ini akan sangat merugikan, tidak hanya bagi Semenanjung Korea tetapi juga bagi seluruh dunia. Perang nuklir di Semenanjung Korea akan menyebabkan bencana kemanusiaan yang meluas, dengan jutaan orang kehilangan nyawa, rumah, dan sumber penghidupan. Selain itu, dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh perang nuklir akan merusak ekosistem regional, menyebabkan krisis pangan dan kesehatan yang berkepanjangan. Secara geopolitik, konflik ini bisa mengubah peta kekuatan global, memicu pergeseran aliansi dan menimbulkan ketidakstabilan di berbagai wilayah lain di dunia.

Konflik di Semenanjung Korea tetap menjadi ancaman signifikan bagi stabilitas global, terutama dengan potensi penggunaan senjata nuklir yang dapat menyebabkan bencana kemanusiaan dan lingkungan. Untuk mencegah eskalasi, diperlukan upaya diplomasi intensif, penguatan dialog internasional, serta penerapan sanksi yang efektif untuk menekan Korea Utara menuju denuklirisasi. Kerja sama internasional harus ditingkatkan guna menghindari kesalahan kalkulasi dan memastikan transparansi di kawasan ini.

Sumber: Wikipedia
Sumber: Wikipedia

Gambar tersebut memperlihatkan seorang anak laki-laki dari Nagasaki, yang sedang menggendong adiknya yang teleh meninggal akibat bom atom. Ia berdiri dengan tegar, meskipun kesedihan mendalam terlihat jelas dari cara ia menggigit bibir bawahnya, seolah menahan tangis yang tak terucapkan. Ekspresi wajahnya yang dingin namun penuh kepedihan mencerminkan beban yang tak tertanggungkan, baik secara fisik maupun emosional. Gambar tersebut menjadi simbol nyata dari kehancuran yang dibawa oleh senjata nuklir, di mana sebuah ledakan tidak hanya menghancurkan kota, tetapi juga menghancurkan jiwa-jiwa yang tak bersalah. 

Kita harus melihat kembali gambar tersebut sebagai pengingat akan kengerian perang nuklir, terutama ketika dunia saat ini kembali menghadapi ancaman yang serupa. Penderitaan yang ditunjukkan oleh anak tersebut bukan hanya miliknya saja, tetapi merupakan cerminan dari penderitaan ribuan orang lainnya yang juga kehilangan segalanya. Oleh karena itu, kita harus belajar dari sejarah tersebut dan berkomitmen untuk mencegah tragedi semacam itu terjadi lagi. Menolak perang dan memelihara perdamaian adalah satu-satunya cara untuk menghindari kehancuran kemanusiaan.

Sebagai pengingat akan dahsyatnya kehancuran yang dapat ditimbulkan oleh senjata nuklir, kita dapat mengambil pelajaran dari kata-kata penyintas bom atom Hiroshima, Setsuko Thurlow: "Humanity and nuclear weapons cannot coexist. Our very survival depends on their total abolition." Kutipan ini menegaskan bahwa keberadaan senjata nuklir dan keberlanjutan umat manusia tidak dapat berjalan bersamaan. Senjata nuklir, dengan daya hancurnya yang luar biasa, mengancam tidak hanya negara atau wilayah tertentu, tetapi juga seluruh umat manusia. Setiap detik senjata nuklir tetap ada, kita hidup dalam bayang-bayang kehancuran total.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun