Ketegangan ini mendorong negara-negara lain seperti India, Pakistan, Rusia, dan China untuk merespons dengan uji coba rudal balistik dan latihan perang bersama, yang meningkatkan kekhawatiran akan persaingan persenjataan nuklir di kawasan Asia. Pengamat politik internasional Aleksius Jemadu menyoroti fenomena "Dilema Keamanan" di Asia, di mana negara-negara saling merespons tindakan negara lain, terutama karena banyak dari mereka memiliki senjata nuklir dan tidak terikat perjanjian non-proliferasi, seperti Korea Utara. Penggunaan senjata nuklir sebagai alat politik dan kekuatan militer menambah kompleksitas situasi. Ketegangan di Semenanjung Korea, ditambah dengan postur militer kedua belah pihak, menempatkan kawasan ini pada risiko eskalasi konflik bersenjata yang berbahaya.
Doktrin Strategis dan Kapabilitas Militer
Menurut Pollack, J., & Kim, M. (2020), Korea Selatan terus mengembangkan kemampuan serangan presisi konvensional dan otonomi militer untuk menyesuaikan diri dengan dinamika stabilitas strategis yang berubah, baik dengan Amerika Serikat sebagai sekutu bersenjata nuklir maupun dengan Korea Utara sebagai musuhnya yang bersenjata nuklir. Strategi nuklir Korea Utara yang berfokus pada pencegahan mengandalkan senjata nuklir untuk mencegah intervensi militer oleh Amerika Serikat atau sekutunya, sementara dukungan militer AS terhadap Korea Selatan, termasuk kehadiran pasukan dan sistem pertahanan rudal canggih, meskipun memberikan jaminan keamanan, juga meningkatkan ketegangan regional. Dengan kemajuan rudal serangan presisi di kedua Korea dan ancaman serangan pendahuluan terhadap para pemimpin, risiko krisis yang dapat meningkat menjadi perang, termasuk penggunaan senjata nuklir, semakin besar. Oleh karena itu, pemahaman baru mengenai dinamika stabilitas segitiga ini penting untuk mempertahankan perdamaian di Semenanjung Korea.
Upaya Diplomatik dan Inisiatif Perdamaian
Choi, J. (2018) menjelaskan sejak awal konflik di Semenanjung Korea, berbagai upaya diplomatik telah dilakukan untuk meredakan ketegangan dan mencegah eskalasi lebih lanjut. Namun, upaya ini sering kali menemui jalan buntu, PBB dan ASEAN berusaha memediasi konflik, meski hasilnya terbatas. Salah satu tujuan utama dari upaya diplomatik ini adalah mencapai denuklirisasi Korea Utara dan menegosiasikan perjanjian damai yang permanen, meskipun prospeknya masih jauh dari kenyataan (Itumo et al., 2020).
Skenario Terburuk
Shashank S. Patel, seorang ahli geopolitik, mengungkapkan bahwa sejak Perang Dunia II, Semenanjung Korea telah menjadi pusat potensi konflik nuklir antara kekuatan besar dan masih relevan hingga kini. Kepemimpinan Korea Utara terus mendorong pengembangan senjata nuklir. Patel menyoroti bahwa skenario terburuk melibatkan pecahnya perang nuklir, yang bisa dipicu oleh serangan pre-emptive Korea Utara atau kesalahan komunikasi. Jika terjadi, konflik ini dapat menyebabkan kehancuran besar di Seoul, pangkalan militer AS, dan bahkan meluas ke negara-negara tetangga seperti China, Jepang, dan Rusia melalui pencemaran radioaktif.
Skenario terburuk juga mencakup kemungkinan keterlibatan China dan Rusia, yang dapat memperkeruh situasi dengan intervensi militer. Hal ini akan meningkatkan risiko pecahnya perang global, yang dapat melibatkan kekuatan nuklir lain dan mengancam stabilitas internasional secara keseluruhan. Di sisi lain, kemungkinan peluncuran nuklir yang tidak disengaja, baik karena kesalahan teknis maupun misinterpretasi sinyal dari pihak lawan, juga menambah kompleksitas situasi, di mana setiap tindakan salah dapat memicu kehancuran yang tak terbayangkan.
Dampak jangka panjang dari skenario ini akan sangat merugikan, tidak hanya bagi Semenanjung Korea tetapi juga bagi seluruh dunia. Perang nuklir di Semenanjung Korea akan menyebabkan bencana kemanusiaan yang meluas, dengan jutaan orang kehilangan nyawa, rumah, dan sumber penghidupan. Selain itu, dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh perang nuklir akan merusak ekosistem regional, menyebabkan krisis pangan dan kesehatan yang berkepanjangan. Secara geopolitik, konflik ini bisa mengubah peta kekuatan global, memicu pergeseran aliansi dan menimbulkan ketidakstabilan di berbagai wilayah lain di dunia.
Konflik di Semenanjung Korea tetap menjadi ancaman signifikan bagi stabilitas global, terutama dengan potensi penggunaan senjata nuklir yang dapat menyebabkan bencana kemanusiaan dan lingkungan. Untuk mencegah eskalasi, diperlukan upaya diplomasi intensif, penguatan dialog internasional, serta penerapan sanksi yang efektif untuk menekan Korea Utara menuju denuklirisasi. Kerja sama internasional harus ditingkatkan guna menghindari kesalahan kalkulasi dan memastikan transparansi di kawasan ini.