Semasa kuliah nyambi bekerja, saya sudah memasang target usia menikah. Usia saya patok adalah 25, usia istri 2 atau 3 tahun lebih muda. Saat itu pekerjaan lumayan lancar, saya bisa menabung dengan baik.
Ketika di pertengahan kuliah, ada adik kelas cukup menyita perhatian. Ketika saya dekati, memang tidak langsung memberi signal baik. Tetapi berkat ketelatenan saya, lama-lama adik kelas membalas perhatian.
Singkat kata singkat cerita, kami jalan meski ketemu hanya di Kampus saja. Kami sama-sama bekerja, malam hari ambil kelas kuliah. Sesekali saya mengantar, dengan angkot ke rumah gebetan.
Hati saya mengerut, setelah ketemu ibunya. Si ibu bercerita, selain saya ada yang sering mengantar pulang. Adalah kakak tingkat---setingkat di atas saya--, diantar dengan roda dua.
Seketika itu saya langsung tidak bersemangat, memilih mundur tanpa ribut dengan kakak tingkat. Toh, masih ada beberapa tahun, untuk sampai ke target menikah. Pikir saya, masih bisa mencari pengganti yang lain.
Setelah lulus dan ngantor di media, saya naksir anak baru tetapi gagal. Pernah dikenalkan teman kantor, dengan teman yang satu kost. Pernah kenalan dengan yang lebih tua, saya tak menolak bersedia ketemuan.
Gagal dan gagal saya alami, sampai umur ini mendekati kepala tiga.
Hikmah Luar Biasa di Balik Lamanya Ketemu Jodoh
 Sudah menjadi kodrat manusia, mempertahankan apa yang dimiliki. Apalagi sesuatu yang didapatkan susah payah, effort lebih dikerahkan untuk mempertahankan. Kemudian yang telah didapat, niscaya akan dirawat dijaga sepenuh hati.
Pun, pada belahan jiwa pasti dijaga sekuat tenaga. Yang untuk kedatangannya, dibayar dengan kesabaran panjang. Yang untuk menemuinya, tak terhitung seberapa kerap doa dilangitkan.
Belum lagi, omongan dari orang sekitar. Membuat daun telinga panas, akrab dengan cibiran, nyinyiran atau sindiran. Maka belahan jiwa yang telah ada, akan dipertahankan sepenuh jiwa raga. Pasangan yang telah diraih hati, menjadi orang yang diprioritaskan keberadaannya.