Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lelaki Sejati Itu Bukan Janjinya Tapi Komitmennya

20 Januari 2025   14:16 Diperbarui: 21 Januari 2025   07:16 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pekerja angkut barang- dokpri

Kalau ada istilah "lidah tak bertulang", saya sepakat dan begitulah adanya. Berucap sangatlah mudah, bisa dibilang gratis tak usah bayar. Tetapi bahwa setiap ucapan, sesungguhnya membawa  konsekwensi.

Ucapan baik atau buruk, niscaya membawa dampak bagi si pengucap. Entah cepat atau lambat, dampak itu ada tiba. Bagi yang bersedia menanggung risiko ucapan, termasuk orang bertangung jawab. Hanya pengecut yang mangkir, enggan menanggung buah dari ucapannya.

Ikrar di ijab qobul, adalah ucapan yang sakral. Konsekwensi ditanggung, terhitung dari saat ijab ditunaikan. Lelaki yang berani berikrar, musti tegap menjalankan tanggung jawab. Bersetia seumur hidup, hingga tiba waktunya berpulang.

Lelaki yang membuktikan ikrar ijab, akan membentuknya menjadi suami/ ayah penuh tanggung jawab. Dan menjadi suami atau ayah yang amanah, niscaya akan membukakan jalan kemuliaan.

Lelaki penuh komiten, tidak ada hubungan dengan latar belakang. Mau --lelaki-- berpendidikan tinggi, atau tiada bersekolah, mau para sultan atau kaum jelata. Komitmen berdiri sendiri, dan bisa ditempuh siapa saja.

Sedemikian adil kehidupan berlaku, siapapun bisa menjadi apapun. Menjadi pribadi bertanggungjawab atau pengecut, menjadikan diri mulia atau hina. Semua bebas, dan risiko ditanggung masing-masing.

Tetapi bahwa lelaki sejati itu, bukan janjinya tapi komitmennya.

-----

Alhamdulillah, hari ini kita diperkenankan-Nya menghirup udara alam fana. Anugerah yang wajib disyukuri, meski hidup penuh tantangan untuk menjalani.

Setiap kita dengan jalan takdir tertuliskan, pasti terkandung maksud baik kehidupan. Tinggal kita, berusaha menjalani sebaik-baiknya. Meski tatatidak mudah.

bersama keluarga besar- dokpri
bersama keluarga besar- dokpri

Tahun ini, 23 tahun sudah saya merantau di metropolitan. Jalan hidup mempertemukan saya, dengan belahan jiwa dari kota penyangga. Kemudian menikah beranak pinak, membuat saya semakin berat langkah dan pindah.

Dari sekian panjang perjalanan, membukakan saya pada banyak pertemanan. Saya mengenal teman dengan berbagai karakter pembawaan, baik yang kawan dekat atau sekadarnya saja. Pun saya  berkesempatan bergaul, dengan pesohor atau orang biasa---seperti diri sendiri.

Dari sekian pertemanan, saya menyimpulkan satu hal. Bahwa setiap orang, sesungguhnya sama. Punya kesempatan sama, untuk memulia atau menghina.

Tak peduli latar belakang garis keturunan, tak peduli profesi dan kelas strata sosial. Bahwa sikap tanggung jawab atau pengecut, sangat bisa ditunjukan siapapun.

Ada yang pendidikannya tinggi, karirnya bergengsi, tetapi sikap perilaku sangat tidak mewakili. Tetapi saya kenal banyak teman, yang lulusan SMA atau Sarjana S1.  Sangat amanah saat dipercaya, sangat bertanggung jawab pada tugasnya.

Lelaki Sejati Itu Bukan Janjinya Tapi Komitmennya

Lelaki Itu bukan janjinya tapi komitmennya, bukan kata manisnya tapi kepastiannya.

Bukan bertanya tapi bertanggung jawabnya, bukan gayanya tapi kepribadiaannya.

Bukan gelarnya tapi ilmunya , bukan usianya tapi kedewasaannya.

(akun Mukjizat Sholat dan Doa)

 

Sewaktu merantau di Kota pahlawan, kami anak kost kerap nongkrong malam hari. Melepas penat seharian bekerja, menjadi cara menghibur diri. Satu teman pintar bergitar, bergantian kami penyanyi amatir bergiliran.

Saya junior, lumayan bisa menikmati suasana. Sesekali ikut nyanyi, atau ikut menyimak obrolan. Malam itu, ada yang membuat benak ini terhenyak.

saat merantau di Surabaya- dokpri
saat merantau di Surabaya- dokpri

Kawan senior,  lulusan universitas terkenal dan sudah berkeluarga. Mengaku tidak bekerja, setiap hari mengantar jemput istrinya ngantor. Otak saya seperti tidak terima, tapi tidak berani menyampaikannya. Apalagi melihat raut tak bersalah itu, membuat saya semakin gregetan.

Sementara kami kebanyakan lulusan SMA, karena tuntutan keadaan musti menghidupi diri sendiri. Diantara kami ada dari Ngawi sebagai office boy, yang dari Nganjuk bekerja di supermarket. Ada yang menjadi petugas Koperasi, ada yang bagian delivery di restoran cepat saji, dan lain sebagainya.

Pada senior ganteng lulusan kampus ternama, hati saya membrontak keras. Mengingat beliau harusnya menafkahi, bahkan sudah punya anak bayi. Terus apa guna ijazah kampus bergengsi, terus di mana harga dirinya di hadapan kami lulusan SMA.

----

Dan keadaan serupa, saya dapati di tempat dan kenalan lain. Laki-laki yang mustinya, menjaga harga dirinya dengan bekerja. Tetapi mengabaikan kemuliaan itu, menelantarkan istri dan anak yang menjadi tanggung jawabnya.

Wahai para lelaki, bersamai ucapan manis itu dengan manis di sikap perilaku. Bergelar memang baik, tetapi anutlah ilmu padi. Bertambahnya usia, seharusnya alasan untuk membuatmu lebih bijaksana. Bergaya sewajarnya, tepiskan sikap jumawa.

Karena lelaki sejati bukan janjinya, tetapi komitmenya. Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun