Mohon tunggu...
Agung Han
Agung Han Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger Biasa

Part of #Commate'22- Now - KCI | Kompasianer of The Year 2019 | Fruitaholic oTY'18 | Wings Journalys Award' 16 | agungatv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Menjadi Lelaki Dewasa Mesti Siap di Posisi Ngenes

6 Januari 2025   20:23 Diperbarui: 8 Januari 2025   08:42 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sewaktu merantau di Surabaya --medio 90-an--, saya suka mudik (pulang pergi) dalam sehari. Dengan bus menempuh waktu lima jam, tidak terlalu capek untuk anak muda duapuluh-an tahun awal.

Biasanya setengah sebelas malam, sudah standby di terminal Bungurasih. Badan gesit ini sat set, sangat piawai berburu kursi kosong. Naik Jurusan Solo- Jogja, merem sepanjang perjalanan. 

Menjelang subuh turun terminal Maospati, menunggu beberapa waktu sampai terdengar adzan. 

Untuk balik ke Surabaya, tinggal dibalik rutenya. Lebih fleksibel, karena transportasi umum nyaris 24 jam beroperasi.

----

Suasana terminal Maospati belum terlalu ramai, angkot dan bus kecil pertama belum beroperasi. Masa itu belum ada transportasi online, jadi musti sabar menunggu.

Sementara di pasar sebelah terminal, pedagang sayur dan warung kopi buka terlebih dahulu. Saya menuruti kata hati, mau nongkrong atau tiduran di serambi masjid terminal. Bebas sebebasnya, toh pergi sendirian dan bujangan ini.

Pagi itu maunya rebahan, di kursi tunggu penumpang. Kursi kayu panjang dengan sandaran, cukup diduduki tiga atau empat orang. Kaki kursi dipaku dengan lantai, tidak bisa digeser sesuka hati.

Jarak antar kursi tidak jauh, terdengar nyaring dengkuran orang tidur di sebelah. Atau kalau ada yang ngobrol, mau tidak mau telinga ikut mendengar. Kalau masih ngantuk tak peduli gangguan, mata dimerem- meremkan sebisanya.

Tetapi pagi itu ada yang beda, terdengar obrolan menyentuh. Dua bapak duduk di depan saya, jeda satu kursi dari tempat rebahan. Apa yang diobrolkan, saya bisa mencuri dengar.

Dua lelaki paruh baya, curhat tentang keadaan dialaminya. Nada suaranya datar, tidak bisa menyembunyikan kepiluan. Dua bapak sejenak melepas beban, tidak ada semacam adu nasib.

Dan yang nguping di belakangnya, jauh di kemudian hari merasakan hal serupa. Saya sekarang lelaki paruh baya, menjadi seperti bapak-bapak di terminal Maospati itu.

Benar, bahwa menjadi lelaki dewasa musti siap di posisi ngenes.

Menjadi Lelaki Dewasa Musti Siap di Posisi Ngenes

bapak tukang pulung barang bekas- dokumentasi pribadi
bapak tukang pulung barang bekas- dokumentasi pribadi

"Hari ini, hari terakhir bayaran sekolah anak. Dari semalam tarikan sepi, piye iki nasibku," suara satu bapak terdengar kelu.

"Podo wae, besok anakku lomba gerak jalan, sepatune wis jebol. iki mau pulang nggak mungkin, cuma dapat duit sepuluh ribu," timpal bapak yang lain.

Rupanya kedua bapak adalah tukang ojek, mengais rejeki hari itu untuk keperluan sekolah anak. Sampai berganti hari dan sepagi iu, uang di kantong belum mencukupi dibawa pulang.

Saya masih bujang, merasakan ngenes-nya cerita kedua bapak. Sebenarnya rasa iba hinggap di benak, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa apa. Jadi serba salah, sekaligus merasa bersalah juga.

Saat itu saya kuliah nyambi kerja, uang dipunya sangat pas-pasan. Dibela-belain pulang selesai subuhan, agar hemat ongkos sampai rumah. 

Dari Maospati saya naik bus kecil ke Magetan, janjian dengan kakak di terminal. Lumayan banget, ngirit puluhan ribu.

Tetapi saya menaruh kagum, kepada dua lelaki perkasa itu. Mereka sedang berjuang keras, mengemban tanggung jawab dipikul. Mengusahakan membawa pulang uang, memenuhi kebutuhan anak disayangi.

Sedemikian amanah-nya, mereka rela berlelah-lelah menunggu pengguna jasa-nya sampai hari berganti. Keduanya tidak tahu, apakah bisa mengejar tengat waktu berangkat sekolah.

Duh, dua lelaki dewasa. Mengingatkan saya pada ayah, guru SD yang hidupnya sangat sederhana. Perjuangan setiap ayah luar biasa, sesuai versinya masing-masing.  

Sayapun demikian, telah dan sedang mengalaminya sendiri.

Ngenes memang, tapi begitulah kodrat seorang laki-laki. Dan saya yakin, di balik semua ini ada maksud baik disiapkan kehidupan.

------

bersama anak wedok- dokumentasi pribadi
bersama anak wedok- dokumentasi pribadi

Ya, saya adalah lelaki dewasa siap di posisi ngenes. Saya sekarang, mungkin di usia dua bapak di terminal Maospati dulu. 

Masih diperkenankan semesta, mencecap asam garam-nya kehidupan. Merasakan pontang- panting, memenuhi kebutuhan keluarga. Tak mudah, tapi musti dijalani 

Terkhusus soal sepatu -- seperti kisah bapak kedua--, saya pernah mengalami. Ketika anak mbarep sepatunya jebol, keesokan hari ada lomba musti diikuti. 

Saya berpikir keras, sementara dompet sedang melompong. Ah, sayup-sayup obrolan lama itu terngiang.

Saya di posisi dua lelaki dewasa yang dulu, merasakan galaunya, merasakan gundahnya. Sekaligus pasrah berserahnya, mengerahkan usaha hingga tenggat waktu tiba. 

Benar sekali, skenario semesta tak merugikan manusia. Asal ada keyakinan yang kuat, dibarengi usaha tak berputus.

Dalam kondisi terdesak, pintu pertolongan terbuka dari arah tak diduga. Tetangga depan rumah, punya sepatu belum pernah dipakai yang kekecilan satu angka. 

Ditawarkan melalui istri, agar dipakai mbarep kami dan ternyata pas di kaki. Padahal, saya dan istri tidak cerita pada siapapun. Perihal kebutuhan sepatu anak, sedang kami usahakan dengan sungguh. 

"Dari pertama beli, belum pernah dipakai. Om-nya yang beliin, salah ukuran,"terangnya 

Saya heran seheran-herannya, bagaimana ide sepatu sampai di pikiran ibu tetangga. Terus kalau niat memberi, kenapa kami yang dituju -- padahal ada tetangga lain .

Dalam kekagetan yang belum tuntas, hati ini berteriak keras dalam diam. Di hati ini tumbuh keyakinan kuat, bahwa keajaiban ada buktinya.

Para ayah siaplah di posisi ngenes, jalani dan hadapi saja, tentu dibarengi ikhtiar sebisanya. Sampai mentok di ujung keadaan, biarkan mendapati diri sebagai sosok berbeda. 

Yang tidak gampang meluapkan amarah, menyikapi sesuatu secara wajar tak berlebihan. Tidak lagi egois -- menang sendiri--, cenderung banyak diam dan mengalah. Menjadi lelaki dewasa musti siap di posisi ngenes. 

Karena dari ke-ngenes-an itu, ayah akan dihadiahi sikap bijaksana. Asalkan sabar berproses, asalkan setia di jalan semestinya. Dan saya, masih harus banyak belajar tentang episode ngenes itu.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun