Memprioritaskan keluarga, bisa ditunjukkan ayah dari hal-hal kecil di keseharian. Misalnya ayah yang mempunyai makanan, tidak dimakan sendiri. Dibawa pulang, dinikmati bersama istri dan anak-anak. Ayah yang mempunya uang, dibelanjakan untuk keperluan keluarga.
Bagi saya, sikap keayahan tidak berhenti pada teori belaka. Sikap keayahan, tidak sekadar dilontarkan kata-kata. Bahwa sikap keayahan, sangat butuh dilatih secara berkesinambungan.
Dan ayah dengan sikap keayahan, niscaya akan menjadi family man.
Puncak Ke-ayahan adalah Menjadi Family Man
Sebenarnya siapapun -- asal laki-laki--, bisa menjadi seorang ayah. Dengan jalan menikah -- ini yang bener ya--, kemudian istri hamil dan melahirkan. Syah sudah (secara hukum maupun agama) seorang laki-laki, Â menjadi atau dipanggil dengan sebutan ayah.
Masalahnya, tidak semua ayah bersedia  mengilmui diri. Ada ayah yang menampilkan dirinya, jauh dari sosok ayah ideal. Kita tidak bisa menutup mata, ada ayah melakukan kdrt pada istri. Ada ayah yang membiarkan anak istri, lari melepaskan tanggung jawab.
Padahal, kehidupan ini berjalan dengan sangat adilnya. Bahwa hukum tabur tuai itu nyata, bisa kita lihat di lingkungan sekitar.
Saya pernah berkunjung ke Panti Lansia di Tiga Raksa, ada kakek yang semasa mudanya sukses. Menurut cerita pengurus panti, si kakek tinggal di luar negeri. Tetapi setelah renta, anak-anak tidak ada yang mau mengurus. Bahkan rela membayar berapapun ke panti, asal ayahnya tidak tinggal bersamanya.
Kalaupun ada, ayah yang semasa mudanya baik-baik saja. Ternyata di masa tua tetap merana, kemungkinan sangat kasuistis. Wallahu'alam, ada rahasia semesta apa di balik semua ini.
----
Kita semua sepakat, bahwa menjadi ayah tidaklah mudah. Apalagi ayah dengan sikap keayahan, butuh effort yang berlebih. Ayah dengan sikap keayahan, dibutuhkan kesadaran tingkat tinggi. Rela mengorbankan dirinya, untuk kebahagiaan orang dikasihi.