Kompasianer yang menjadi ayah, saya yakin sudah atau pernah merasakan. Betapa menjadi ayah, butuh perjuangan hebat. Bahwa predikat ayah, bukanlah predikat sembarangan. Musti dibayar dengan kesungguhan, dijalani dengan stamina dan energi tak bertepi.
Ayah musti siap, mengalah semengalahnya. Karena ada istri dan anak diprioritaskan, meski di saat bersamaan ayah mengingini hal sama. Ayah musti tidak ragu merendah semerendahnya, bersedia menomor sekiankan kepentingan sendiri.
Ada fase-nya ayah, merasa diri bukan siapa-siapa. Semua pencapaian di luar rumah, musti diletakkan mengutamakan keluarga di tanggungnya. Tidak gengsi bekerja apapun, demi asap dapur tetap mengebul.
Begitulah kehidupan mengatur, guna menguatkan pundak dan kuda-kuda ayah. Memang tidak mudah dan penuh challanging, tetapi menyimpan hikmah luar biasa.
-----
Sebagai ayah, saya sadar harus banyak belajar. Kadang ada kejadian, yang tidak sanggup dicerna logika. Mengalami kondisi sempit, disaat kebutuhan sedang banyak- banyaknya. Saya seperti tidak punya pilihan, kecuali menghadapi setiap ujian dengan kesabaran.
Sebagai ayah, saya tak henti berdoa dan berusaha. Melangitkan pengharapan yang besar, untuk datangnya keajaiban.
Jangan ditanya, soal peperangan di dalam diri. Ego seperti begejolak kencang, membisiki agar mengambil jalan pintas. Sehingga segala kesulitan, bisa selekasnya diselesaikan.
Ayah musti berpikir panjang, karena setiap tindakan berdampak pada istri dan anak. Ayah musti pandai memilih memilah, agar dampak baik terjadi di hari depan.
Predikat ayah, bisa disematkan pada siapa saja. Tetapi pengemban amanah keayahan, adalah perkara lain. Bagi ayah dengan ketetapan hati, sangat bisa menempuh mulia melalui jalan keayahan.