Saya merasa sangat beruntung, memiliki ayah kandung seperti -- almarhum-- ayah saya. Â Lelaki yang semasa hidupnya tidak neko-neko, hidup sederhana dalam arti sebenarnya.
Sederhana-nya ayah -- berarti keluarga kami juga--, bukan karena pilihan sikap. Tetapi keadaan, yang menuntut ayah berlaku demikian. Keadaan yang kemudian mempengaruhi, setiap sikap dan keputusan yang ayah ambil.
Kalau ayah makan dengan lauk tahu tempe, sangat jarang jajan di warung. Bukan karena tahu tempe adalah kesukaan, bukan karena jajan di luar diolah dengan tidak sehat.
Kalau ayah memilih jalan kaki, untuk berangkat dan pulang mengajar di sekolah desa tetangga. Bukan karena ingin banyak bergerak membakar kalori, sehingga badan sehat didapatinya. Â Jalan kakinya dan hematnya ayah, semata tuntutan keadaan.
Saya masih ingat, di pertengahan 80-an ayah membeli motor buntut. Â Motor keluaran tahun 70-an itu, dengan cat biru tipis yang nyaris hilang warnanya.
Roda dua besi itu tidak pernah dipakai, dipersembahkan untuk anak tertua yang kuliah di kota besar. Â Sejak hari itu, ayah dan ibu tertatih- tatih, membayar cicilan bulanan selama sekian tahun.
Ayah lelaki yang irit bicara, seperlunya saja dan tidak berlebihan. Tak segan mengerjakan apapun di rumah, sepulang dari mengajar. Suatu siang saya pernah diajak ayah, ke kebun kakek mencari kayu bakar.
Pohon tua yang hampir mati itu, tumbang dengan tiga kali tebas saja. Kemudian kayu kering dipotong ukuran sedang, agar tidak merepotkan saat dibawa. Â Si anak bungsu ini, beberapa kali bolak-balik mengangkut kayu.
Aman sudah, persediaan bahan bakar memasak. Beberapa hari ke depan, ibu tidak perlu mengisi minyak kompor. Lumayan berhemat seratus dua ratus perak, bisa untuk keperluan lain.