Kehidupan pernikahan, sarat dengan uji dan coba. Setiap fase pernikahan, dengan ujiannya sendiri- sendiri. Demikianlah kehidupan berlaku, pasti ada maksud dan tujuan baiknya.
Cobaan di satu atau dua tahun pernikahan, lazimnya tak sepelik setelah lewat lima tahun pernikahan. Pun yang puluhan tahun menikah, cobaan suami istri tentu tidaklah sama. Ujian demi ujian pernikahan, luar biasa dahsyatnya.
Sejatinya di setiap ujian, menjanjikan kenaikan kelas bagi yang diuji. Para ayah dan bunda, bersama-samalah belajar dan mengilmui diri. Agar setelah melewati ujian, kan mendapati diri sebagai pribadi lebih baru.
Dan khusus ayah -- termasuk saya sendiri--, kalian adalah laki-laki yang dihebatkan kehidupan. Mari ayah, menikmati segala proses kehidupan dengan sebaik-baiknya. Dibarengi luas dada dan lapang jiwa, agar qowamah itu terjaga.
Takdir ayah adalah pemimpin keluarga, itu yang harus terus dipegang kuat. Di pundak ayah, istri dan anak-anak menggantungkan asa. Ayah musti kuat, apapun alasannya jangan gentar.
Jadilah ayah dengan harga diri, meski --Â untuk itu harus-- menjadi laki-laki dengan luka.
----
Suami istri, adalah dua kepala dengan isi berbeda. Sepasang manusia, yang dituntut selalu menyesuaikan diri. Berusaha berjalan seiring, menghabiskan sisa waktu hingga ujung usia. Saya sangat meyakini, apa yang terjadi di alam semesta tidak tiba-tiba.
Nabiyullah Adam AS dipersuakan bunda Siti Hawa, adalah sunatullah yang ditetapkanNya. Bahwa kemudian turun ke bumi, bekerja keras menghadapi kenyataan pahit. Pasti tidak terjadi begitu saja, terkandung hikmah yang dalam.
Ketentuan semesta, sesungguhnya membawa kebaikan untuk manusia. Tinggal manusianya, mau menjalani atau mengingkari.Â
Dan di setiap tantangan, membutuhkan stamina dan energi yang tidak sedikit.Sejatinya setiap manusia, membutuhkan ujian hidup yang menguatkan dan membijakkan.
Pun ujian suami istri, pasti menyimpan selaksa kebaikan. Meski sangat menyesakkan dada, meski menguras air mata. Bahkan ujian yang berlangsung, sama sekali diluar bayangan.
Maka  bersabar dan bersabar adalah keputusan terbaik. Menyerahkan ending segala kejadian, pada pemilik skenario kehidupan.
Suami istri musti saling support, berproses bersama. Dan biarkan ikatan batin itu, semakin terkukuh dan terkokohkan.Â
Sehingga tumbuh sikap saling peduli, saling menghargai, saling membutuhkan.
Sependek pengalaman saya, pernikahan ideal adalah yang menempatkan seseorang pada fungsinya. Â Jangan dibolak balik, selama tidak ada faktor force majour---keterpaksaan yang sangat.
Ayah dengan jiwa kepemimpinan, semestinya menjalankan fungsi. Berperan sebagai pencari nafkah, mencukupi sandang pangan papan keluarga. Istri dengan tugasnya menjaga rumah, musti menunaikan fungsi sebaik-baiknya.
Suami istri punya tugas yang sama-sama penting, sesuai porsi dan perannya. Bahwa di pernikahan penuh liku dan juang, demikianlah kenyataannya.Â
Yang kita bisa, adalah mempersembahkan upaya terbaik. Agar rumah tangga, mengantar pelakunya pada kemuliaan.
Menikah adalah ibadah terpanjang, disetarakan separuh ibadah kehidupan. Sedemikian dahsyat menikah, janganlah disia-siakan.
Ayah adalah Laki-Laki dengan LukaÂ
Sesaat setelah ijab, saya sempat gamang. Terbayang besarnya, tanggung jawab, diemban suami yang kemudian menjadi ayah. Tetapi lelaki sederhana, duduk di seberang meja bersebelahan besan barunya. Dalam diam dan harunya, mengalirkan keyakinan pada diri ini.
Adalah ayah saya, yang sebagian besar hidupnya diabdikan sebagai guru sekolah dasar. Gaji yang tak seberapa dengan tenaga kecilnya, ayah -- dan ibu pastinya-- mengantar anak-anaknya sampai dewasa.
Meskipun ayah, harus banyak berkorban mengalahkan egonya. Serupiah dua yang di dompetnya, tidak untuk dinikmati sendiri. Kecuali selalu diberikan untuk keluarga, yang menjadi prioritas.
Ayah gambaran lelaki tidak neko-neko, nyaris setengah abad menghabiskan sisa hidupnya bersama ibu. Setahun setelah saya --ragilnya-- menikah, ayah berpulang. Kesedihan yang tak terbendung, setiap mengilas balik jejak perjalanan ayah. Â
Ibu, sebegitu kehilangannya. Lelaki sederhana penuh tanggung jawab itu, telah menuntaskan tugas di dunia. Menjadi lekaki dengan harga diri, meski dengan luka ditanggung.
Untuk menjadi ayah hebat, tidak selalu dengan kelimpahan harta diberikan. Tidak musti dengan fasilitas mewah, untuk kenyamanan istri dana anak-anak. Cukuplah menjadi ayah, yang sigap rela  berkorban menjadi tameng keluarga.
------
Sebagai lelaki, sebagai suami, sebagai ayah, saya prihatin mendapati ayah sehat jiwa raga lepas tanggung jawab. Enggan menunaikan kewajiban, menafkahi istri dan anak-anak.
Sungguh malang lelaki seperti ini, mengubur potensi melewatkan kesempatan mulia. Energi dan langkah panjangnya, logika pikir, gagah raga tak didaya guna. Sehingga istri terpaksa pontang-panting, demi memenuhi kebutuhan. Saking malas ribut, istri mengambil alih peran.
Keadaan yang tidak sehat ini, jika dibiarkan berlarut-larut sangat bahaya. Perlahan tapi pasti, meruntuhkan wibawa dan harga diri lelaki.
Para ayah, jangan pernah abaikan fitrah, jangan tak pedulikan sunatullah. Bangkit dan bergeraklah, agar harga diri ayah terjaga. Karena alam semesta kan mendukung, bagi orang yang berproses menggapai kemuliaan.
Para ayah seharusnya merasa sangat beruntung, telah dibukakan pintu menjadi hebat. Memikul tanggung jawab pada istri dan anak-anak, yang tak didapati para bujang. Kesempatan emas ini, musti dijaga dan dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Menunaikan tugas mulia sepenuh hati, tidak lekas mengeluh, tidak mudah menyerah, dibarengi usaha yang tak berputus. Besaran perolehan dari bekerja, adalah otoritas Sang Pemilik Kehidupan. Pada dasarnya setiap manusia, telah ditakar dan dicukupkan rejekinya.Â
Wahai para ayah, kalian pahlawan sejati untuk istri dan anak-anak. Namamu kan selalu dikenang, melekat di lubuk sanubari. Meski untuk tugas berat dan mulia itu, ayah musti menjadi laki-laki dengan luka.Â
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H