Sesaat setelah ijab, saya sempat gamang. Terbayang besarnya, tanggung jawab, diemban suami yang kemudian menjadi ayah. Tetapi lelaki sederhana, duduk di seberang meja bersebelahan besan barunya. Dalam diam dan harunya, mengalirkan keyakinan pada diri ini.
Adalah ayah saya, yang sebagian besar hidupnya diabdikan sebagai guru sekolah dasar. Gaji yang tak seberapa dengan tenaga kecilnya, ayah -- dan ibu pastinya-- mengantar anak-anaknya sampai dewasa.
Meskipun ayah, harus banyak berkorban mengalahkan egonya. Serupiah dua yang di dompetnya, tidak untuk dinikmati sendiri. Kecuali selalu diberikan untuk keluarga, yang menjadi prioritas.
Ayah gambaran lelaki tidak neko-neko, nyaris setengah abad menghabiskan sisa hidupnya bersama ibu. Setahun setelah saya --ragilnya-- menikah, ayah berpulang. Kesedihan yang tak terbendung, setiap mengilas balik jejak perjalanan ayah. Â
Ibu, sebegitu kehilangannya. Lelaki sederhana penuh tanggung jawab itu, telah menuntaskan tugas di dunia. Menjadi lekaki dengan harga diri, meski dengan luka ditanggung.
Untuk menjadi ayah hebat, tidak selalu dengan kelimpahan harta diberikan. Tidak musti dengan fasilitas mewah, untuk kenyamanan istri dana anak-anak. Cukuplah menjadi ayah, yang sigap rela  berkorban menjadi tameng keluarga.
------
Sebagai lelaki, sebagai suami, sebagai ayah, saya prihatin mendapati ayah sehat jiwa raga lepas tanggung jawab. Enggan menunaikan kewajiban, menafkahi istri dan anak-anak.
Sungguh malang lelaki seperti ini, mengubur potensi melewatkan kesempatan mulia. Energi dan langkah panjangnya, logika pikir, gagah raga tak didaya guna. Sehingga istri terpaksa pontang-panting, demi memenuhi kebutuhan. Saking malas ribut, istri mengambil alih peran.
Keadaan yang tidak sehat ini, jika dibiarkan berlarut-larut sangat bahaya. Perlahan tapi pasti, meruntuhkan wibawa dan harga diri lelaki.